Isak Semuel Kijne lahir 1 Mei 1899 di Vlaardigen, Belanda. Ketika remaja ia bersekolah bersama seorang temannya yang bercerita tentang suatu negeri yang jauh di Timur Negeri Orang Hitam. Cerita ini datang dari kakek dan ayah temannya. Artinya bukan karangan belaka. [wondama.go.id]
Ia sangat berminat untuk pergi ke negeri Orang Hitam itu. Ia memutuskan untuk bersekolah di sekolah guru dan belajar bahasa orang orang disana, bahasa Melayu.
Pada tahun 1923 tanggal 23 Juni ia tiba di Manokwari. Tinggal di Kwawi. Ia pulang pergi ke Pulau Mansinam untuk mengajar pada sekolah berasrama disana.
Seputaran 1925 ia menjajagi kemungkinan sekolah berasrama itu pindah ke bukit Aitumieri di Teluk Wondama. Di sana airnya mengalir jernih dari bukit kehijauan itu sepanjang tahun. Pulau Ron dan jajarannya membentengi ganasnya gelombang Pasifik. Teluk Wondama nan permai membuatnya terlena dalam pekerjaan yang berat. Mendidik orang orang Hitam ini dengan syukur dan setia. “…..tak ku tahu ujung jalan….hampir atau masih jauh…ku dibimbing tangan Tuhan ke negeri yang tak ku tahu…”
Seputaran awal tahun 1950an setelah perang dunia ke2 yang kejam itu, ia pindah ke Yoka Sentani dan memimpin sekolah JVVS- Jongens Vervolg School -. Seputaran 1954 ia pindah ke Serui mengajar di Sekolah Pendeta RAZ. Pada 1956 bulan Oktober deklarasi berdirinya Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea atau Papua
Pada masa ini gerakan orang Papua berinteraksi dengan orang Indonesia semakin intens. Kata orang Indonesia itu bagus. Jauh sebelum waktu ini Silas Papare yang perawat itu dikirim sekolah ke Yogya oleh dokter Sam Ratulangie sebagai Kepala Rumah Sakit Serui. Pengaruh kisah Indonesia semakin bergulir merambah sudut sudut kehidupan orang Serui khususnya dan wilayah Gelvink Bay pada umumnya.
Diam – diam Kijne yang telah mengabadikan dirinya untuk membawa orang orang Hitam ini keluar dari kegelapan budaya, kini berbalik seolah tak sedikitpun menghargai hasil jerih payahnya. Ia telah meninggalkan semua kebahagiaannya jauh di negerinya datang kesini. Dan ternyata ini hasil yang harus ia terima, penghianatan.
Jelang kepulangannya ke Belanda 1958 dari Serui, ia sungguh resah, “Saya pulang dengan keyakinan bahwa Tanah dan Bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang memiliki kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah ini. Tetapi mereka tidak akan membangun manusia Papua dengan kasih sayang. Sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikan, sebab banyak hal baru yang membuat orang Papua akan menyesal. Tetapi itu bukan maksud Tuhan karena itu keinginan manusia”
Pada bulan Juli dan Agustus 1969, rakyat Irian barat atau Papua diwakili Dewan PEPERA – Penentuan Pendapat Rakyat – yang dipenuhi kecurangan itu (baca The Darkened Valley oleh Alex Runggeary, 2016. You get these from a first hand eye witness), memutuskan Papua bergabung dengan Indonesia. Pemilihan paling culas mungkin sepanjang sejarah Indonesia.
Pada tanggal 11 Maret 1970 Isak Semuel Kijne menghembuskan nafas terakhirnya dengan beban berat
——————
Malam itu 10 Desember 2022, Malam Natal Keluarga Sentani di Timika, setelah sekitar 24 tahun tak pernah bertemu, saya duduk semeja makan dengan pak Barnabas Suebu, mantan gubernur Papua dua periode yang terpisah. Beliau teman lama saya sewaktu di JDF, satu lembaga internasional yang bergerak dibidang pembangunan ekonomi rakyat Irian Jaya dibawah naungan PBB/UNDP. Beliau sebagai Ketua Dewan Komisaris dan saya sebagai staf di sana seputaran1996-98. Kami sedang makan malam.
Kami berdua berkisah kembali tentang tata-cara kerja JDF yang seharusnya itu yang dilakukan pemerintah untuk membangun ekonomi rakyat. ” Ingat kehadiran JDF karena alasan politis”, tegas beliau, ” Seharusnya tetap dipertahankan. Kehadiran JDF bukan untuk mencari keuntungan dari rakyat. Tetapi memperkenalkan pasar kepada rakyat. Mana mungkin JDF disejajarkan dengan badan pemerintah dan diukur dengan Laba/Rugi semata”
Setelah berdiskusi panjang lebar, ” Pak Bas, saya rencana mau menghadap Wakil Presiden bapak Mahruf Amin untuk memberikan masukan kepada beliau sebagai Ketua BP3OKP, bagaimana cara kerja JDF dulu. Saya mohon bantuan pak Bas bersama saya menghadap beliau”
Dengan senyum khasnya, ” Adoh Lex, saya malas bertemu orang- orang itu. Dorang su bikin saya menderita”
Malam itu sebelum makan, pak Bas, memberikan pidato atau paling tepat, berkisah tentang masa ditahanan karena dituduh korupsi. Selama ditahanan itu beliau merendahkan diri sedemikian rupa secara sukarela menjadi tukang cuci piring bekas makan sesama tahanan
Beliau berdoa dengan tekun agar Tuhan memberikan kekuatan menjalani hukuman. Beliau dituduh merugikan negara. Tetapi tidak sekalipun terbukti berapa besar. Bahkan ketika bersalaman dengan jaksa penuntut umum, jaksa itu mencium tangan pak Bas. Apa artinya? Tak ada yang tahu.
“Saya masuk penjara karena persengkongkolan politik”. Beberapa ahli hukum sedang secara bersama menyusun buku tentang kasus hukum saya yang ganjil itu. Saya terus bertanya apa pelanggaran saya. Dan itu menarik untuk dibahas secara hukum diruang kuliah”
Apa yang sesungguhnya terjadi dengan kasus beliau. Tak ada penjelasan hukum yang terbuka dalam kasus beliau. Kalau orang tak disenangi dengan mudah dijerat hukum. Dan tak ada jalan kembali.
” Kalau saya tahu begini, Papua seharusnya tidak masuk Indonesia” (rephrase), Bas ketika proses awal kasus hukumnya didepan media
———-
Perang Papua, atau apapun namanya kini telah berlangsung selama 62 tahun. Sebentar lagi akan memasuki – perang satu abad. Perang terlama dalam sejarah Indonesia moderen.
Bukanlah sesuatu yang mengherankan bila kita telusuri jalan sejarah. “Tetapi secara etnografi mereka bukanlah bangsa Indonesia. (Mana mungkin kita memasukan wilayah dan bangsa ini kedalam negara baru yang sedang kita rumuskan)”, Muhamad Hatta dalam sidang BPUPKI Juni 1945 [ Yudi Latif – Negara Paripurna -]
Terjadi beda pendapat yang tajam antara kubu Muhamad Yamin dan Sukarno disatu pihak dan pihak lainnya Muhamad Hatta dan beberapa temannya. Debat panas itu diakhiri dengan pemungutan suara. Tentu saja kelompok Yamin dengan suara terbanyak. Bung Hatta dan teman- temannya yang sedikit orang itu menerima keputusan, Papua dimasukan kedalam wilayah negara baru yang akan didirikan, Indonesia
Ternyata dikemudian hari, ” Papua hanya menjadi luka busuk ” Frans Magnis Suseno
Hari ini diam-diam Papua menyimpan bara
———
Hari hari ini kita menyaksikan panggung politik di Indonesia dari Keputusan MK No.90, keputusan DKPP, himbauan perguruan tinggi, analisis ahli hukum dan tata negara, dapat disimpulkan bahwa kita sedang tidak baik baik saja.
Dalam salah satu grup wa yang saya ikuti, seorang kepala lembaga survey menyatakan bahwa tingkat pengenalan dan kesukaan total pemilih menentukan kemenangan Prabowo-Gibran, terlepas dari curang ataupun tidak. Pada kesempatan lain politikus PPP menjelaskan, Bansos dan Rapel gaji PNS tepat waktu telah sangat membantu – pengenalan dan kesukaan – tersebut, mau ataupun tidak.
Namun apapun itu, Pilpres telah kita lalui dengan aman tanpa gejolak. Pemenangnya sudah ketahuan lewat Quick Count, yaitu Prabowo Gibran, maka tidak ada jalan lain kita harus menerima karena kita negara demokrasi.
Namun kita tidak boleh hanyut begitu saja dalam eforia. Kita masing masing harus tetap sadar kalau kita sedang tidak baik baik saja. Agar mampu memberikan keseimbangan pikiran dalam situasi – autocratic legalism –
Semoga kegelisahan I.S. Kijne, pak Bas dan keraguan Bung Hatta serta para profesor perguruan tinggi itu kita pakai sebagai suluh memasuki periode baru demokrasi dan hukum di Indonesia. Papua, biar bagaimanapun sebagai NKRI, ikut terjerat dalam jeritan kalbu ini. Dan saya pikir Titik Bola Salju Gaung NURANI itu mulai bergulir apapun tantangannya dimusim dingin yang akan panjang ini ! Akankah luluh ataukah semakin membesar? Wallahualam !
———————-
Yogyakarta, 27 February 2024
Alex Runggeary