Diskusi publik yang digagas Analisis Papua Stategis (SPS dan APS Center for Development ang Global Studies pada Sabtu 8 Juli 2023 menampil salah satu pembicara yang melihat dunia Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah di Tanah Papua.

Ben M. Ratuatakurei, alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cendrawasih memberikan visi baru terkait bagaimana kandidat/ Calon Rektor Universitas Cendrawasih periode 2023-2027 membawa Uncen memasuki pergeseran baru di Indo-Pasifik dari perspektif sejarah pemerintahan masa lalu untuk menangkap fenomena yang berkembang saat itu dan implikasi pada perkembangan Uncen kini dan ke depan.

Sejarah Masa Lalu Sampai Berdirinya Universitas Cendrawasih

Ben Ruatakurei mulai memaparkan  imperialisme mulai abad 7 sebagai bagian dari Sejarah Pendidikan masa lalu Papua, seperti ditulis oleh Drooglever. P.J (210:32) menyebutkan bahwa periode 1663 sampai 1855 merupakan periode pencarian daerah imperium untuk memperoleh rempah-rempah dan bulu burung di Mauku dan Papua sambil ada usaha untuk memberitakan injil.

Tujuan utama lebih kepentingan dagang, penelitian sehingga alat utama yang digunakan adalah Mistar dan Kompas. Mistar digunakan oleh etnolog untuk mengukur tinggi badan dan volume otak, Kompas digunakan oleh kartograf untuk memetakan wilayah.

Ben menegaskan,  Papua di era 1914 bahwa “sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah seperti sekolah guru di Miei ditutup. Di masa ini gedung gedung sekolah ditututp, bahkan gedung gereja dihancurkan dan dibuka Kembali pada tahun 1948. Dan baru pada tahun 1950-an pemerintah Belanda memberikan beasiswa pertama bagi seorang Putera Papua Bernama Frits Kirihio untuk belajar di Universitas Leiden”.

Ketika itu, baru  ada yang disebut Sekolah Teknik Desa (Dropschool), Sekolah sambung (Vervolgschool) Sekolah Teknik Rendah (Lagerre Techische School), Sekolah Kerumahtanggaan (Huis Shoudscool), Sekola Guru (Kweekschool) dan sekolah tingkat menengah (Hobore Burger School).

Ben merujuk referensi Maniagasi, dalam bukunya berjudul Save Our Papua (2012 :128-129) menulis, “Robert Francis Bob Kennedy, seorang Jaksa Agung Amerika berkunjung ke Jakarta dan sempat mengajukan pertanyaan, berapa universitas yang Belanda sudah bangun di Niew Guniea? Berapa dokster yang  sudah disiapkan?”

Atas dasar pertanyaan itu, setelah penandatanganan New York Agreement 15 Agustus 1962, dikirim guru-guru dan dosen sukarelawan ke Irian Barat  antara lain Prof. Dr. Soegarda Purbakawatja, Prof. Tarmidja Kartawijaja, Prof.  Soedardo Bersama Musa Maniagasi, Kaleb hamadi, Ely Uyo berupaya mendirikan satu universitas di Irian Barat (Poerbakawatja.S, (1982 :10).

Menurut Ben, “saat itu belum ada  SMA, maka dikumpulkan murid murid tamatan SLTP yang bekerja sebagai pegawai, guru diberikan kursus selama enam bulan (Collegium Doctum), dan selanjutnya diterima sebagai mahasiswa pertama  Uncen yang didirikan pada tanggal 10 November 1962 berdasarkan Keputusan  Prisiden RI No. 389 tanggal 31 Desember 1962 dan Keputusan Bersama Wampa (Wakil Perdana Menteri)/ Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan No. 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 di saat pemerintahan UNTEA”.

 

Paulus Laratmase

 

Bersambung…