Swari Utami (kedua dari kanan) Chappy Hakim mantan Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia Duta Besar Irlandia untuk Indonesia

Oleh: Swary Utami Dewi

Bumi makin terpuruk. Perubahan iklim, kemiskinan, penindasan, keserakahan. Sebut saja semua itu. Dan hampir pasti di situ ada satu makhluk yang kerap merasa paling digdaya terhadap sesama penghuni bumi, yakni manusia.

Sebagian manusia berusaha menyelamatkan bumi dari kehancuran karena kesombongan dan kesewenang-wenangan kaumnya. Mereka juga melakukan berbagai kritik, terhadap manusia yang memangsa manusia lain, yang selalu ingin menundukkan alam dengan berbagai cara dan justifikasi. Sementara itu, segelintir lainnya merasa bumi tetap “baik-baik”. Mereka masih menunjukkan kepongahan. Segelintir itu, dengan kuku dan taring tajam, juga terus mengunyah dan menginjak kaumnya, atau pun melakukan penundukan bumi berbekal kerling mata palsu dan pembodohan. Keji, bengis tak berhati!

Melalui lukisan-lukisannya, seorang perempuan pelukis ternama Indonesia terkini, Arahmaiani, menunjukkan kondisi sekaligus memberikan kritik-kritik cerdas terhadap apa yang terjadi. Misalnya kondisi keserakahan, yang di Indonesia kini dibalut jargon kapitalisme atau bahkan dilindungi kesan “suci” dari para pemuka agama. Dalam hal ini, yang mudarat bisa jadi maslahat, yang hitam bisa jadi putih.

Jika kita masuk ke lokasi pameran ISA Galery di Wisma BNI, Jakarta, dari pintu di bagian kiri ditemui beberapa lukisan, yang menggambarkan chaos dan kepedihan karena Peristiwa Mei 98; Peristiwa yang kemudian menjadi milestone bagi reformasi Indonesia untuk kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih baik. Tapi apakah harapan itu kini terwujud?

Berpuluh tahun kemudian, harapan itu rasanya terhempas bahkan menghilang. Banyak sisi kehidupan, yang situasinya makin memburuk. Sebagai contoh, bumi makin dilahap oleh berbagai aktivitas ekstraktif dan kegiatan yang mengancam keberlangsungan semua mahkluk. Terkait hal ini, Yani — panggilan akrab Arahmaiani — melukiskan kegelisahannya secara hitam putih. Lihatlah satu lukisan ini. Ada gambaran bumi, utamanya Indonesia di bagian depan, sedang dipegang oleh mahkluk serupa setan bercakar, yang sedang berupaya memasukkan bulatan bumi ke mulutnya untuk dikunyah. Warna hitam, putih dan juga abu-abu, bisa jadi merupakan isyarat agar kita mampu bersikap tegas pada yang batil (hitam), dan tidak bersikap abu-abu pada setiap tindakan merusak bumi.

Ada pula sindiran menohok terhadap arus utama “free market”, yang digambarkan Yani sedang diikuti oleh sekelompok makhluk yang kebanyakan bermoncong bebek, dengan membawa bendera negara masing-masing. Di belakang, ada seekor makhluk bermoncong bebek lainya, yang sedang mengejar rombongan itu. Ia membawa bendera “mirip” bendera Merah-Putih. Apakah ini sindiran tajam Yani terhadap arus ekonomi Indonesia yang “membebek” ke pasar bebas, dan enggan memberikan proteksi pada negeri sendiri? Ada beberapa lukisan, yang menurut saya berkaitan erat dengan kritik ini, misalnya lukisan padi merunduk. Ini menimbulkan pertanyaan pada diri saya: bagaimana upaya kita untuk melindungi petani dan masyarakat Indonesia dari serbuan pasar bebas tadi?

Yani dengan gemilang mampu menggambarkan kegelisahan banyak orang tentang kondisi negeri ini. Jelas, kepedulian Yani yang besar pada isu ketidakadilan dan penindasan membuatnya mampu memasukkan kritik-kritik sosial politik yang tepat dalam lukisan. Pada gilirannya, semua lukisan Yani tersebut berhasil membawa kita pada perenungan yang mendalam.

Namun, perempuan kelahiran Bandung tahun 1961 ini tidak hanya piawai memberikan kritik cerdas. Ia juga mampu menampilkan kekuatan dan kebesaran Indonesia. Ada beberapa lukisan Borobudur di alam asri yang menunjukkan penghormatan tinggi bagi keluhuran dan keluhungan budaya Indonesia. Ada lukisan pohon, bunga dan gunung api, untuk menunjukan indahnya alam Nusantara.

Bisa jadi melalui banyak lukisannya itu, Yani juga ingin menunjukkan harapan untuk perubahan, karena bagaimana pun, Indonesia punya kekuatan untuk maju ke arah yang lebih baik. Mimpi untuk Indonesia, serta dunia, yang lebih baik adalah mimpi yang terbaca pada beberapa lukisan Yani. Ini misalnya terlihat pada lukisan-lukisan Micky dan Minnie (representasi keceriaan anak untuk masa depan yang cerah), pasangan lukisan lingga dan yoni (menggambarkan kesetaraan dan keadilan gender) dan sebagainya.

Semua lukisan apik Yani, yang dibuat secara telaten dan mendalam dengan tangan-tangan terampilnya, dikurasi oleh penulis dan wartawan senior Indonesia, Nasir Tamara. Hadir dalam pembukaan pameran bertemakan “The Wrath of Earth” atau “Angkara Bumi”, pada 3 Agustus 2024 itu, beberapa tokoh penting seperti Chappy Hakim (mantan Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia), Duta Besar Irlandia untuk Indonesia, dan Carla Bianpoen (penulis dan kritikus seni budaya).

Pada akhirnya, ada tirai, berlukis simbol cinta berukuran kecil berwarna merah di atas kain putih, yang ditempatkan di pojok lokasi pameran. Bagi saya, tirai itu jelas menunjukkan cinta Yani yang tak habis-habisnya pada Indonesia. Maka, melalui pameran ini, Yani, yang telah banyak berkeliling dunia untuk berbagai aktivitas, tidak hanya mampu menunjukkan murka bumi, tapi juga harapan dan mimpi untuk Indonesia yang lebih baik.

4 Agustus 2024