Oleh: Swary Utami Dewi
(Climate Reality Indonesia/ Board KBCF)

 

Comfort Food. Apa itu? Penjelasan sederhananya adalah makanan yang memberikan kenyamanan saat dikonsumsi. Tapi ini bukan hanya tentang makanan yang memberikan rasa nyaman. Comfort food ini harus pula diolah secara tradisional. Seiring dengan itu, saat menyantap berbagai penganan ini akan muncul kembali ingatan lama, berbalut kehangatan dan kerinduan.

Adalah Amanda Katili yang menelurkan ide untuk membukukan kumpulan tulisan tentang makanan pembawa kenyamanan ini. Lahirlah sebuah buku menarik penuh memori dari puluhan penulis. Amanda, yang merupakan Ketua Omar Niode Foundation sekaligus penggerak Climate Leader Indonesia, tergerak untuk mengumpulkan lebih dari 60 tulisan – 20 di antaranya dari para Climate Leader di Tanah Air. Ia mengedit sendiri buku ini. Versi elektronik buku keluar pada tahun 2023 dengan sampul warna biru muda pastel yang menarik. Pada Januari 2024 terbitlah buku tersebut dalam bentuk cetak.

Buku itu sendiri diberi judul Comfort Food Memoirs: Kisah Makanan yang Menenangkan Beserta Resepnya. Beberapa tulisan yang menarik, antara lain tentang gulai lezat yang diberi racikan daun taya dan tempoyak oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong; kentang gepuk penuh kasih oleh Tante Cotje; bretang kenari penawar rindu Banda Neira oleh pelaku usaha wisata bahari, Rani Hernanda; serta tiga menu favorit oleh budayawan Erros Djarot. Aku ikut menulis tentang kudapan tradisional khas Dayak Ngaju dari pulut (ketan), yakni kenta.

Buku kenangan makanan ini beberapa kali telah diulas. Salah satunya di acara “Bincang Buku Comfort Food Memoirs: Kisah Makanan yang Menenangkan Beserta Resepnya”, pada Kamis, 23 Mei 2024. Penyelenggara acara adalah Gerakan Bhinneka Nasionalis, yang dimotori Erros Djarot, dan Climate Reality Indonesia. Beberapa kawan membagi memorinya tentang makanan yang mereka tulis di buku ini. Mas Erros bercerita kembali tentang makanan favoritnya, termasuk menu sederhana telur ceplok, yang membuat sang istri begitu sumringah menyajikannya. Alasannya, mudah dan menyenangkan.

Lalu ada Nabiha Shahab, akrab dipanggil Abby, yang berkisah tentang ingatannya pada sang nenek, yang membuat pempek dari nasi yang tidak termakan. Pempek nenek menjadi berbeda. Biasanya pempek dibuat dari tepung dan ikan. Tradisi nenek sekaligus mengajarkan kepada Abby untuk tidak membuang makanan sisa dan mengolahnya kembali.

Juga kembali bertutur Rani Hernanda tentang bretang kenari dan rempah dari Kepulauan Banda, yakni pala, yang serasa membawanya kembali pada masa lampau. Jejak kolonial yang membawa dinamika kenangan bangsa serasa hadir lewat rempah andalan ini.

Aku juga turut berbagi cerita tentang keunikan kudapan tradisional Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, yakni kenta. Makanan tradisional tersebut berbahan dasar padi ketan, yang disangrai, lalu ditumbuk agak halus hingga berbentuk pipih. Lalu diberikan parutan kelapa dan gula merah. Kenta sendiri terhitung jarang disuguhkan. Biasanya ia hanya hadir pada waktu-waktu tertentu, khususnya saat panen padi baru selesai. Kudapan ini, karenanya, bernilai tradisional sekaligus sakral.

Kisah rempah, telur ceplok, getuk, sup ayam kampung, pempek, kenta dan lain-lain membuat buku tentang makanan tradisional Indonesia ini menjadi sangat berbeda. Fungsi buku tidak hanya menjadi sumber informasi, tapi juga sarana untuk menghidupkan memori dan merayakan keberagaman kuliner Indonesia. Maka tidak heran, buku setebal lebih dari 300 halaman ini memperoleh penghargaan Gourmand World Cookbook Award 2024.

Jelas, Ananda dan bukunya patut mendapat acungan jempol. Ah, bangganya.

31 Mei 2024