Menjelang Natal 2023, pemandangan di beberapa kota di Tanah Air mulai tampak berhiaskan pernak-pernik Natal. Jalan-jalan dihiasi, lorong hingga rumah dicat dan dihias indah. Sebut saja pemandangan itu terlihat di Manado, Ambon, Jayapura, Biak, Merauke, Tobelo hingga Saumlaki.
Di Jayapura, pada beberapa jalan utama, pohon Natal dengan lampu berkedap-kedip berdiri tegak membuat pemandangan kota makin semarak, seperti pemandangan tahun-tahun sebelumnya. Melewati jalan-jalan utama Kota Jayapura pada malam hari kita disuguhi pemandangan yang indah. “Jayapura Di Waktu Malam” seperti terlukis dalam lagu Black Brothers. Mall dan pertokoan berhiaskan nuansa Natal. Di sudut-sudut kampung dan kompleks perumahan pun terpajang hiasan Natal, di sana-sini.
Sementara itu, ibadah-ibadah Natal dari pelbagai kelompok kerukunan sudah digelar. Kotbah-kotbah tentang sukacita Natal berkumandang dan mendorong kesadaran jemaat tentang Tuhan yang mahakuasa. Santerklaas yang dimainkan anak muda pun berlangsung dengan memberi hadiah.
Sukacita Natal makin terasa, tatkala lagu-lagu Natal berkumandang syahdu, membuat perasaan hati ingin segera berkumpul dengan keluarga dan sahabat sambil menikmati menu Natal serta ibadah Natal.
Di sebuah sudut Kota Jayapura, Papua, sebuah lagu Natal terdengar indah dan menggugah hati, keluar dari sebuah rumah warga Kristiani. Seorang ibu dan anaknya sedang menikmatinya dalam format karaoke. Suara sang vokalis mampu menyusupi pesan damai dan kesederhaan hidup dalam keluarga.
“Terbayang Kembali/Kenangan Indah Bertahun yang Lalu/Ayah Bunda dan Saudara/Teman-teman Semua//Gereja Kecil/Lonceng yang Berdentang di Malam yang Suci/Pohon Terang, Kandang Natal/Kita Sujud di Sana//Semua Gembira/Rayakan Natal Bersama-sama/Tiada Rasa Duka, Tiada Rasa Benci/Yang Ada Hanya Kedamaian//Walau Takkan Terulang/Namun Abadi dalam Hati/Takkan Terlupakan/Kenangan Natal Masa Kecil”.
Lagu ciptaan Harry Letsoin dari grup band legendaris Black Sweet itu memang termasuk lagu yang disukai publik Kristiani menjelang Natal. Terbukti, lagu “Kenangan Natal Masa Kecil” itu banyak beredar di medsos dan dinyanyikan orang versi karaoke. Suara Ian Ulukyanan yang amat pas melantunkan lagu itu membawa pendengar mengenang kembali perayaan Natal di masa kecilnya, di tengah keluarga.
Herry Letsoin mengatakan, lagu-lagu Natal ciptaannya banyak terinspirasi dari pengalaman masa kecil dalam keluarga di Merauke. Dia menggambarkan betapa pesta Natal telah menjadi kesempatan berkumpul kaum keluarga, yang selama setahun terpisah-pisah karena tuntutan pekerjaan.
Pada dua album Natal Black Sweet itu, Herry menciptakan beberapa lagu yang dibawakan oleh vokalis utama Ian Ulukyanan dengan “suara emasnya”. Suara Ian memang pas dengan musik Black Sweet yang berdiri pada 31 Desember 1981 di Jakarta Pusat.
Black Sweet memiliki satu Album Rohani Kristen dan dua album Natal, yakni Album “Lagu Natal Terbaik” dan Album “Damai”. Lagu-lagu pada kedua album disumbangkan oleh para personil: Steven Letsoin, Amri M. Kahar, John Keff Kadtabal, Harry Letsoin, Ian Ulukyanan, dan Gerald Tethool.
Pengamat musik Bens Leo pernah mengatakan suka dengan Album “Lagu Natal Terbaik” Black Sweet. Di situ, kata Leo, mereka bermain dengan tenaga penuh. Brass section terdengar tajam dan menyentuh, sementara bas, melodi, dan drum bermain bebas dan pasti.
Bens Leo menggariskan “keunggulan” album ini dari segi teknis dan performa. Dia melihat konsistensi warna musik Black Sweet dengan kekuatan alat tiup, permainan bas, drum, dan melodi, sebagaimana terlihat pada album perdana mereka pada 1982 “Rintihan Sebuah Hati”.
Warna musik Black Sweet itu memang disukai banyak orang. Dengan tiga peniup (brass) terompet, saksofon, dan trombon, musik Black Sweet memiliki warna tersendiri dalam belantika musik Indonesia.
Bagi masyarakat Kristiani di Indonesia, menikmati lagu Natal di rumah akan terasa indah bila semua anggota keluarga berkumpul. Bagi Ibu Vani Mambrasar, warga Jayapura, Natal identik dengan acara kumpul anak-anak. Saat ini ia sedang menunggu kedatanngan anak sulungnya yang sedang bertugas di Manado.
“Masyarakat di sini, kalau sudah dekat Natal, mereka paling suka karaoke lagu-lagu Natal. Natal bikin hati kembali sejuk, tenang, damai, dan memanggil kami untuk peduli pada sesama kami. Sekarang mau pemilu, otak kita pusing,” ujar Vani Mambrasar.
Anggota PDI-P Silverius Lasan Bataona, juga mengaku, sangat terhibur mendengar lagu-lagu Natal. “Lagu-lagu itu sangat menggugah perasaan dan iman saya padaYesus Kristus,” ujar pria asal Lembata yang tinggal di Tidore, Halmahera, Maluku Utara.
Verry, begitu ia disapa, mengaku menyukai lagu “Kenangan Natal Masa Kecil” ciptaan Harry Letsoin, dan lagu-lagu Natal milik Black Sweet. “Musik dan liriknya sangat mewakili perasaan banyak orang termasuk saya. Saya senang sekali dengan lagu itu,” tutur mantan Wartawan Majalah Hati Baru itu.
Perayaan Natal memang menggemakan rasa rindu pada keluarga, tetangga, dan teman-teman. Tak heran, para perantau selalu mempersiapkan diri pulang kampung dan merayakan Natal bersama keluarga.
Dalam iman Kristiani, Natal adalah peristiwa kelahiran Yesus Kristus di kandang Betlehem. Kandang Natal adalah lambang kesederhanaan. Tuhan datang dan hidup dalam kesederhanaan manusia. Pesan ini terus digemakan kepada dunia, agar hidup manusia semakin dipeluk rasa damai dan penuh persaudaraan yang sejati.
Selain pohon Natal dan kandang Natal serta ornamen Natal lainnya, lagu-lagu Natal memiliki peran penting, mencoba merekam makna Natal yang dihayati umat Kristiani setiap tahun.
Dalam sejarah perkembangan musik Indonesia, tak sedikit album Natal dirilis setiap tahun. Band legendaris seperti Koes Bersaudara dan Koes Plus juga meluncurkan album Natal, selain The Mercys, Panbers, Black Brothers, Black Papas, Black Sweet. Ini belum terhitung album Natal dari penyanyi solo.
Menjelang Natal, publik Indonesia akrab dengan suara Charles Hutagalung dan The Mercy’s pada lagu “Si Penebus Dosa”, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru”, “Bintang Cemerlang”. Atau, Koes Plus dengan “Bisikan di Hari Natal”, “Halleluyah Natal”.
Rata-rata penyanyi Kristen di Indonesia pernah merilis album Natal, seperti Broery Pesulima, Bob Tutupoli, Ade Manuhutu, Melky Goeslaw, Patty Sister, Frans Daromes, Masnait Grup, Eddy Silitonga, Lex Trio, Torsina, Grace Simon, Victor Hutabarat, Gloria Trio, Tielman Sister, sampai generasi yang paling muda seperti Mitha Talahatu dan Putri Siagian.
Bahkan di tahun 1970-an dan 1980-an, kita masih bisa mendengar album Natal dari beberapa penyanyi cilik seperti Chicha Koeswyo, Adi Bing Slamet, Diana Papilaya, Ira Maya Sopha, yang tidak semuanya beragama Kristiani. Chicha misalnya terkenal dengan Album “Hari Natal Kini Telah Tiba” garapan sang ayah, Nomo Koeswoyo.
Album-album Natal dari penyanyi Indonesia, baik penyanyi solo maupun grup band, termasuk bertaburan di pasar dan mendapatkan respon positif pembeli. Hampir setiap tahun para penyanyi Kristiani di Indonesia merilis lagu-lagu Natal terbaru.
Perkembangan lagu-lagu Natal di daerah-daerah juga terlihat subur. Terutama ketika Jakarta dan TVRI tidak lagi menjadi barometer dan referensi perkembangan musik nasional. Seiring dengan munculnya pelbagai album pop daerah, ikut terlahir produksi album Natal versi daerah. Lagu-lagu ditulis dalam bahasa daerah, namun distribusinya bisa meluas dari Sabang sampai Merauke. Paling tidak, kita merasakan hal itu pada para penyanyi dari Indonesia bagian timur. Rindu berkumpul dan merayakan Natal di tengah keluarga, selalu menjadi tema dasar lagu ciptaan mereka.
Sebuah lagu terbukti cukup kuat mempengaruhi suasana batin orang Indonesia. Lewat lagu pula mereka mengekspresi rasa rindu pada keluarga dan iman kepada Yang Kuasa. Tak terkecuali lagu Natal. Lagu Natal sendiri memiliki sejarah yang panjang.
Dalam sejarah lagu-lagu Natal, kita tak pernah lupa pada lagu “Silent Night”, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi “Malam Kudus”. Lagu yang lahir pada 1818 di Austria itu, sampai kini menjadi “lagu wajib” yang dinyanyikan umat Kristiani sedunia.
Lagu yang berjudul asli “Stille Nacht” itu diciptakan Pastor Joseph Mohr pada usia 24 tahun dan digubah oleh Franz Xaver Gruber pada 1818. Ceritanya, usai mengunjungi sebuah keluarga yang baru saja mendapat kelahiran bayi mereka pada 1816, Pastor Joseph Mohr mencoba menuliskan pengalaman itu dalam sepotong puisi yang menjadi lirik lagu “Stille Nacht”.
Pada Misa Malam Natal 24 Desember 1818, Franz Xaver Gruber bersama paduan suaranya untuk pertama kali membawakan lagu tersebut di Gereja Santo Nicholas (Nikolaus Kirche), Oberndorfbei, Salburg, Austria.
Sejak itu, lagu ini mulai tersebar luas. Raja Prusia Friedrich Wilhelm IV sangat menyukai lagu ini. “Stille Nach” baru diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh John Freeman pada 1863. Kini lagu “Silent Night” sudah berusia 205 tahun, dan terus dinyanyikan orang.
Lagu Kristen yang khusus digubah untuk menyambut Natal pertama kali muncul pada abad ke-4 di Roma. Kidung “Veni Redemptor Gentium” ditulis oleh Ambrosius, Uskup Agung Milan. Baru pada abad ke-13, di bawah pengaruh Santo Fransiskus dari Asisi, lahir lagu-lagu Natal populer dalam bahasa daerah. Pada 1426 muncul pertama kali kidung Natal dalam bahasa Inggris ciptaan John Audelay. Di masa Reformasi Protestan, lebih banyak lagi lahir lagu-lagu Natal yang dibutuhkan dalam peribadatan.
Bila kita menyelusuri kembali perjalanan sejarah lagu-lagu Natal, kita menemukan jejak-jejak sejarah yang menggambarkan iman manusia pada Tuhan. Manusia bukan sekadar makhluk yang ber-tubuh dan ber-jiwa seperti diterangkan para filosof, tapi dia juga makhluk rohani atau homo religiosus, yang terus berziarah untuk menemukan dirinya dalam kesatuan dengan Tuhan yang diimani. Pada sebuah lagu Natal, kita sedang mendengar iman yang berziarah, pulang ke peraduannya. Jiwa itu baru tenang bila tinggal dalam damai Tuhan.
Stef Tokan,
Pengamat Masalah Sosial