Oleh: Paulus Laratmase

Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia

Keterangan Kepala Dinas Penerangn TNI AD (Kadispenad) Brigadir Jenderal TNI Kristomei Sianturi yang disiarkan langsung  di kanal You Tube resmi Pusat Penerangan TNI, Senin 25 Maret 2024 terkait penyiksaan warga Papua bernama Defianus Kogoya, merupakan sebuah langkah tegas TNI AD mengakui pelanggaran terhadap standar operasional procedure (SOP) dan hukum humaniter dalam operasi di lapangan.

Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan mengatakan, “Operasi di Papua selalu menghindari kekerasan sesuai harapan Masyarakat dan standar internasional. Pada tahun 2023, korban yang meninggal akibat aksi KKB 61 orang terdiri dari TNI 26 orang, Polri 3 orang dan masyarakat sipil berjumlah 32 orang.”

“Begitu banyak korban berjatuhan, padahal mereka datang  ke Papua memabangun rumah, puskesmas hingga sekolah. Ada 4 unit sekolah dibakar, guru diperkosa sehingga guru di pedalaman tak ada yang mau mengajar. Justeru kondisi sekarang TNI-Polri yang bertugas di pedalaman berfungsi ganda termasuk menjadi guru,” tegas Pangdam Izak Pangemanan.

“Kita usut tuntas permasalahan ini, apa pun yang terjadi di sana akan menjadi bahan untuk proses hukum nanti. Tidak ada satu pun yang boleh lolos dari kasus ini, semua yang terlibat akan dihukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” ungkapnya.

Deprivasi Relatif

Jumlah korban TNI dan POLRI bahkan Masyarakat Sipil merupakan sebuah tindakan KKB terhadap perilaku menyimpang atas hak hidup manusia. Sebuah peristiwa antagonis antara tuntutan hak terhadap penguasaan sepenuhnya atas kekayaan alam bagi sebesar-besarnya  kesejahteraan Masyarakat Papua dan fakta oligargi penguasaan oleh sejumlah orang yang dinilai “Tidak Adil” mendorong pelampiasan kebengisan dan kekejaman kemanusiaan terhadap manusia tak berdosa.

Aspirasi bawah sadar menghasilkan perasaan kecewa, namun ekpektasi tak sadar menimbulkan perasaan deprivasi. Kekecewaan bisa ditoleransi, namun deprivasi sering tidak bisa ditoleransi. Individu yang mengalami deprivasi merasa dihalangi untuk menyembuhkan dengan segala macam cara, entah frustrasi material dan fisik yang dialami. Demikian deprivasi berfungsi sebagai katalis bagi tindakan refolusioner tak berperi-kemanusiaan.

Kehadiran TNI/ POLRI meninggalkan isteri, anak, ibu dan ayah, saudara dan sebagainya  dalam upaya menjaga “Rasa Aman” masyarakat sipil dilihat oleh KKB sebagai sebuah ancaman yang berdampak korban kemanusiaan. Promosi Peace building pada tataran deprivasi relative KKB dan kondisi deprivasi relative yang dihadapi oleh TNI/ POLRI antara ekspektasi dan realitas faktual  tidak mengalami perubahan signifikan.

Analogi Deprivasi Relatif

Sejujurnya harus diakui bahwa kemiskinan ekstrem di tengah-tengah kekayaan alam melimpah, ketidak-berpihakan UU Otsus jilid I dan II yang juga tidak menyentuh subtansi keinginan Masyarakat Papua adalah wujud deprivasi relative yang menjadi katalisator tindakan agresif KKB terhadap pelanggaran HAM bagi TNI/POlRI dan Masyarakat sipil.

Demikian halnya Tindakan penyiksaan Defianus Kogoya, merupakan ekspresi tak terbendung akibat kekecewaan yang sulit  dirumuskan dalam bahasa yang tepat, Ketika TNI/POLRI frustrasi melihat perkembangan sebuah kehidupan damai jauh dari harapan.

Setiap saat masyarakat sipil menjadi objek kebengisan KKB. Berbagai saluran yang dirumuskan oleh Pangdam Izak Pangemanan sebagai SOP yang wajib hukumnya ditaati. Namun itulah aspek kemanusiaan mereka para parajurit yang juga mengalami frutrasi melihat kondisi yang tak mau berubah.

Berbulan-bulan bahkan tahun jauh dari keluarga, hidup serba aturan militer di Tengah masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan semaunya, melihat masyarakat tak berdosa harus mati dibunuh dan ditindas, fasilitas umum dibakar, dihanguskan diinternalisasi sebagai fenomena tak biasa berhadapan dengan tugas yang diwajibkan baginya.

Untuk itu publik tidak serta-merta menjustisfikasi tindakan para prajurit TNI AD sebagai pelanggar HAM  tanpa menelisik secara cermat sebab-sebab tindakan itu  terjadi. Hal yang sama juga perlu diteliti mengapa KKB melakukan tindakan yang sema terhadap TNI/POLRI yang berujung kematian, termasuk masyarakat sipil.

Penelitian-penelitian ilmiah dari para akademisi bisa memberi sumbangan mendapatkan alasan subtatif terhadap peristiwa-peristiwa yang bisa saja diberi labelling “Pelanggaran HAM” yang sejatinya sebuah tindakan revolusioner akibat frustrasi tak mendapatkan obat yang tepat dikarenekan  antara harapan dan kenyataan sangat berjauhan.

Tindakan TNI AD Yang Sportif

Gambaran Jenderal Kristomei Sianturi dan Jenderal Izak Pangemanan menurut hemat saya, tidak sertamerta tindakan para prajurit TNI AD melakukan tindakan pelanggaran HAM atau pelanggaran terhadap SOP dan prosedur hukum internasional hanya diukur atau dinilai dari peristiwa penyiksaan. Harus dicarikan alasan-alasan mendasar agar tidak bias memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa tanpa dasar.

Sebuah penghargaan tak terhingga bagi Pangdam VII/Trikora, Mayjen Izak Pangenan yang secara sportif meminta maaf atas tindakan prajurit  TNI AD yang mencoreng nama baik upaya bagaimana tercapai kehidupan yang aman bagi masyarakat di Papua. Penegasan penegakkan hukum bagi perwira yang telah melanggar SOP dan santunan bagi korban merupakan sebuah kebajikan yang patut dicontoh.

Pertanyaan saya, “Adakah KKB juga berani meminta maaf atas tindakan tak terpuji terhadap kekerasan bahkan kematian manusia yang selama ini terjadi akibat ulah mereka di Papua? Tindakan penelanjangan, pemerkosaan guru, perawat yang melaksanakan tugas mulia harus diperlakukan tidak terpuji bahkan sampai ajal menjemput mereka, apakah KKB juga  oleh publik menilai sebagai sebuah pelanggaran HAM berat bagi kemanusiaan?”

Pemilu 2024, Analogi Sebuah Katalisator Deprivasi Relative

Pesta demokrasi 14 Februari 2024 baru saja diumumkan hasilnya di seluruh Indonesia, termasuk di Papua. Alasan demokrasi mendominasi nafsu kita menduduki jabatan-jabatan politik yang pada akhirnya hak Orang Asli Papua terabaikan melalui cara-cara tidak terpuji, “money politic.”

Fakta bahwa  kabupaten/ kota bahkan provinsi, Lembaga Legislatif dikuasai bukan orang Papua. Kesadaran kita akan hak-hak sipil Orang Papua sangat minim dengan nafsu menguasai dunia birokrasi dan politik  atas nama “hak semua warga negara Indonesia” dengan mengesampingkan “Hak Orang Papua.”

Tanpa disadari fenomena nafsu serakah ini menjadi bom waktu yang pada akhrinya TNI/ POLRI menjadi korban labelling publik “Pelanggar HAM”  akibat nafsu serakah bertopeng “Hak Semua Warga Negara” yang mungkin saja di daerah lain Orang Papua tidak sedikitpun diberi hak untuk itu.

Mari kita bercermin diri, mendiskreditkan TNI/POLRI dengan sebuah tindakan yang bisa saja deprivasi relative dialami akibat ulah nafsu serakah kita yang tanpa disadari menjadi katalisator terjadi sebuah peristiwa tak terhindarkan.

Peristiwa KKB terhadap TNI/POLRI, masyarakat sipil dan sebaliknya peristiwa penganiayaan/ penyiksaan Defianus Kogoya adalah “Penyebab pemberontakan frustrasi yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang sangat ingin dilakukan seseorang, melalui situasi di luar kontrol.”

Instabilitas politik dengan perilaku agresif yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan frurustrasi  sistemik  terjadi karena rasio pemenuhan keinginan sosial dengan pembentukan keinginan sosial atau kesenjangan antara posisi nilai dengan ekpektasi nilai yang ingin diraih tidak terpenuhi seperti halnya pemilu 2024 yang dialami Orang Papua.

Sebab-akibat dari fenomena “Pemilu 2024” dapat menjadi katalisator penyebab konflik yang ujung-ujungnya TNI dan POLRI harus terlibat karena diwajibkan UU. Mereka dapat dijadikan bulan-bulan media nasional dan internasional sebagai pelanggar HAM, hanya karena perilaku pemenuhan nafsu serakah menguasai jabatan strategis birokrasi bahkan politik di Tanah Papua.

Konklusi

Sprotifitas TNI-AD mengakui di depan publik telah melakukan pelanggaran terhadap SOP dan hukum internasional, sebuah pengakuan yang patut mendapatkan pujian. Mengakui perbuatan bukan berarti kesalahan fatal yang harus diberikan sanksi seberat-beratnya tanpa menelusuri alasan subtansial mengapa peristiwa itu terjadi. Deprivasi relative kiranya dapat dijadikan dasar penelitian seksama terhadapa prajurit yang untuk sementara “disangkakan” telah melakukan tindakan pelanggaran HAM.

Selaku Masyarakat Sipil yang hidup dan tinggal di Papua sedikit memberikan saran bagi kita semua yang hidup dan tinggal di Tanah yang penuh dengan susu dan madu, Tanah Papua.

Mari kita memberi ruang bagi Masyarakat Asli pemilik Tanah Papua untuk menduduki jabatan birokrasi dan politik bahkan kebebasan berekpresi di atas tanahnya sendiri dan mengalaminya sebagai bagian utuh dari miliknya tanpa merasa bahwa mereka teralienasi dari miliknya sendiri sebagai berkat Tuhan bagi mereka.

Jangan karena ulah perilaku pemenuhan nafsu keserakahan menguasai hak-hak Orang Papua di atas Tanahnya sendiri, sebuah katalisator deprivasi relaitive yang di kemudian hari berdampak negasi bagi kita semua.

Sebuah tindakan kekerasan politik sebagai sebuah peristiwa yang disebabkan antara tuntutan atau aspirasi untuk persamaan ekonomi atau politik bagi masyarakat umum yang menderita kekurangan atau teralienasi hak politik dan aspirasi oligarki untuk mencapai ketimpangan yang lebih besar dari  yang telah dicapai sebelumnya yakni suatu kesenjangan antara barang politik dan ekonomi, apa yang dimiliki manusia dan apa yang mereka anggap sebahagai hak yang harus mereka miliki.