Akhir-akhir ini saya suka nonton drakor serial kerajaan. Ya tentang pertarungan antar dinasti, antar kelompok kepentingan. Kebetulan lagi ramai bahkan memanasnya dunia medsos sebagai saluran paling murah dalam pertarungan perebutan kuasa politik kenegaraan Indonesia tercinta. Ya, mudah dan tak berkeringat apalagi berdarah perjuangan perkelahian sengit antar kelompok. Oya, disclaimer dulu bahwa saya sendiri tidak dalam pihak salah satu dari ketiga paslon presiden dan wakil presiden.

Memang hanya sekedar film, namun rasa-rasanya bisa menjadi cermin kehidupan perpolitikan negara bangsa kita. Alur cerita begitu berliku naik turun seolah tak pernah berhenti dari gunung ke gunung, lembah ke lembah dan dataran. Para tokoh dibawakan oleh para artis aktor yang cantik tampan memukau, dengan pelbagai peran karakter yang khas.

Penonton channel ini sudah mencapai jutaan pelanggan, warga Indonesia, termasuk di antara mereka tentu calon pemilih. Maka kepada merekalah dan siapa saja yang menjadi warga negara cinta keadilan dan damai, keseimbangan dan harmoni, tulisan ini ditujukan untuk memberi garis merah misi tertinggi dan termulia dari para bintangnya, terutama tokoh protagonis, bahkan tokoh antagonis dalam scene tertentu film tersebut, apalagi bila kaum elitis dan tokoh di segala lapisan terjebak dalam lingkaran egoisme dan pembenaran sepihak, dan saling menyerang tanpa melihat peluang alternatif solutif.

Bagi saya menarik dalam konteks kita mengenang dan menghormati semua pemimpin negara kita yang sudah punya jasa masing-masing, mari kita memperhatikan tokoh raja dalam film ini yang digambarkan berkarakter tegas tapi juga lembut hati, sangat berintegritas dan bijaksana, bahkan siap berkorban menanggalkan jabatan kekuasaannya demi mengakhiri desas desus dan konflik riil tingkat elit politik kerajaan.

Namun akhirnya sang raja membatalkan pengunduran dirinya karena ternyata ada solusi lain di puncak pertarungan dua kubu politik kerajaan, yang menyangkut masa depan kerajaan yakni terkait putra mahkota dan pangeran, yang keduanya anak kandungnya sendiri dari dua selir berbeda watak dan sikap. Maklum ini kan konteks kisah kerajaan sekitar tahun 1700an di negeri Korea dalam bayang-bayang kuasa Dinasti yang sedang berkuasa di Tiongkok.

Sang ratu sendiri sebagai istri sah raja malah tidak mempunyai anak. Tetapi sesuai tradisi, dialah yang mempersiapkan dan menjadi penentu siapa calon raja yang paling layak secara aturan tradisi kerajaan dan secara hukum. Ada banyak sisi yang dia pertimbangkan, dan menurut pelbagai pertimbangannya sana sini, bahkan melampaui hukum dan tradisi sekalipun, pangeranlah (anak dari selir kedua) yang mesti meneruskan tongkat kerajaan dibandingkan putra mahkota (anak dari selir pertama) sendiri. Itulah wasiatnya sebelum hembuskan nafas terakhir di pangkuan sang raja sendiri yang kalut.

Raja dalam dilema, dan mengambil waktu sendirian, kalau dia umumkan pangeran sebagai pewaris tahta maka akan ada penolakan dari mayoritas menteri dan bangsawan. Pasalnya, pangeran hanyalah anak dari selir bekas pelayan kerajaan bahkan anak dari pendiri kelompok persaudaraan yang adalah kelompok perlawanan rakyat bawah terhadap dominasi kaum bangsawan. Kelompok persaudaraan ini sendiri telah dibasmi termasuk keluarga mereka hampir semuanya dihukum mati, karena jebakan dari para oknum pejabat polisi dan bangsawan yang korup dan suka memeras rakyat.

Sementara kalau tetap melanjutkan anak selir pertama dengan status putra mahkota, akan terjadi aib besar karena ternyata sang pewaris kerajaan itu secara media terbukti mengalami penyakit yang membuatnya tak bisa meneruskan keturunan.

Menarik juga memperhatikan pertarungan dua selir kerajaan itu. Selir pertama sebagai bunda putra mahkota begitu ambisius dan menghalalkan segala cara untuk memuluskan anaknya menjadi pewaris tunggal kerajaan. Bahkan dia terlibat dalam upaya menyingkirkan ibunda pangeran, bahkan sampai mengguna-gunai sang ratu yang menjadi salah satu sebab makin parah sakitnya hingga meninggal. Dia juga berusaha melenyapkan sang pangeran dengan didukung keluarga dan oknum pejabat militer yang suka menjilat kemana arah kemenangan.

Sedangkan selir kedua berperan sebagai pribadi yang punya sikap rendah hati dan sangat tahu diri, bahkan dia rela diasingkan walau dijebak telah bersekongkol membela ketua kelompok persaudaraan yang kembali hidup dan dipimpin temannya di masa kecil. Di pengasingan dia melahirkan pangeran yang sangat berbakat itu. Dia selalu berusaha menyembunyikan talenta besar anaknya ini, pun dia sudah boleh kembali ke istana bersama anaknya, karena dia lebih mementingkan keselamatan anaknya, tidak masuk dalam gonjang ganjing dan tarik menarik kepentingan elit politik yang bahkan haus dan lapar darah daging yang sangat dikasihinya dan raja sendiri.

Demi sang pangeran, selir kedua terpaksa mulai belajar politik. Politik demi kebaikan bersama. Dalam tingkat yang paling fundamental, dalam arti yang paling substansial, bukan dalam arti permulaan saja. Seperti sang pangeran di usia 6 tahun saja sudah mempelajari pelajaran bagi calon raja tingkat tinggi. Secara otodidak dia belajar dari ibunya yang pintar bercerita dan mempunyai ilmu menulis sastra yang indah dan bermutu tinggi sudah sejak dia menjadi pelayan di biro musik kerajaan.

Dia sudah mengalami dan memahami trik-trik dan karakter dari pelbagai pihak yang mendukung dan memusuhinya. Dia tak pernah mendendam terhadap musuh, dan tetap tegas berpendirian merdeka terhadap segala nasihat dari para pendukungnya. Bagi dia kebenaran dan kebaikan itu mesti bisa berjalan bersama, dan bermuara pada kegunaan yang sebesar-besarnya bagi kerajaan dan semua yang dicintainya. Tentu saja dia juga berjanji untuk tetap mengutamakan keselamatan pangeran dan tetap menghormati kedudukan sang putra mahkota. Inti pokok kedua pewaris ini selamat dan kerajaan tetap harmonis. Bagi dia cukuplah anaknya selamat sebagai pangeran, tanpa mesti menjatuhkan sang putra mahkota supaya negara aman damai dari segala trik dan klaim untuk merebut kekuasaan tertinggi belaka.

Bahkan selir kedua ini tak mau mengikuti nasihat pejabat militer yang memperingatkannya supaya mulai menyerang dan menyudutkan selir pertama, karena dia sudah mengetahui rahasia kelemahan putra mahkota. Dia yang awalnya menjadi kaki tangan selir pertama, sekarang melihat peluang bagus untuk membela sang selir kedua ini untuk menggolkan pangeran jadi pewaris tahta.

Ibunda sang pangeran ini menolak saran dari sang pejabat pengendali pasukan itu. Diperingatkan bahwa sudah saatnya bermain politik keculasan menghalalkan cara apapun termasuk menggadaikan prinsip kejujuran dan keadilan, dia tidak mempercayai cara berpolitik tersebut. Dia tetap yakin dengan politik demi kebaikan bersama, apapun taruhannya. Selir ini tetap merendah bahwa biarlah putra mahkota yang terus menjadi raja, asal anaknya selamat dan kerajaan aman damai. Dia menghindari segala konflik internal perebutan kekuasaan atau siapa yang mesti menjadi raja kemudian. Peliknya masalah ini pun sampai membuat sang raja sendiri memutuskan untuk mengundurkan diri saja, dan setuju dengan pendapat selir keduanya itu. Itulah jalan minus malum atau prinsip ‘sesedikit kejahatan’ dalam kompleksitas masalah demi bonum commune atau kemaslahatan bersama kerajaan yang lebih besar dan jangka panjang.

Akhirnya melihat peluang menjatuhkan selir kedua yang tak mau mendengarkan nasihatnya, pejabat militer itu kembali bekerjasama dengan selir pertama berupaya mengambil kesempatan itu untuk memuluskan putra mahkota diangkat sebagai raja. Dia menggunakan trik lama, yakni menjebak untuk mengkambinghitamkan sang mantan pelayan kerajaan itu yang tulus dan murni hatinya dengan semua pendukungnya yang bersimpati dan percaya akan karisma kehormatan dan harga dirinya yang tak terbeli.

Dan yang terjadi, ternyata mengejutkan sang pejabat kementerian perang dan para komplotannya. Selir pertama yang menyetujui bahkan terlibat aktif merancang semua ide dan gerakan strategi menjebak ini ternyata kalah taktik dari selir kedua yang sudah tahu dan punya firasat kuat akan kelicikan mereka. Dia digambarkan begitu tenang dan teguh hanya karena tanpa pamrih mengejar kenyamanan diri sendiri, namun hanya demi keselamatan anaknya, juga keselamatan kerajaan, tak peduli siapa yang berkuasa.

Singkat cerita, selir pertama dan para pendukungnya malah terbukti bersalah dalam pelbagai aksi mereka menghalalkan segala cara itu. Selir kedua memenangkan pertarungan rumit ini, namun dia memenuhi komitmennya untuk tidak mencoba berkuasa dan tinggal di istana kerajaan, dia malah minta ijin raja untuk bisa tinggal di kampung dan menjalankan misi sosial membantu kaum miskin dan lemah yang diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh pejabat dan bangsawan korup.

Selir kedua ini juga tetap memastikan supaya putra mahkota yang adalah anak dari lawannya sebagai pewaris kerajaan, dan sang pangeran anak kandungnya sendiri yang jauh lebih muda akan menjadi putra mahkota setelah anak selir pertama itu menjadi raja nanti. Dan kerajaan menjadi aman damai, dan terus kembali fokus membangun negeri di tengah dominasi kerajaan tetangga yang makin menguat pengaruhnya. Sekian.

 

Stefi Rengkuan,
Presidium Riset dan Pengabdian Masyarakat
Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA),
Ketua Umum Kawanua Katolik Jabodetabek,
Bendahara IKAL STF Seminari Pineleng.