Silent majority (mayoritas yang diam) putra putri kritis Papua yang  selama ini berdiam diri akhirnya mulai buka suara tentang kekecewaannya soal penunjukan empat penjabat gubernur di Tanah Papua, bahkan bupati dan wali kota di enam provinsi di Tanah Papua.

Dari Jakarta melalui medsosnya Natalius Pigai, SH mengingatkan pemerintah tentang berbagai keluhan yang telah disampaikan kepadanya dari Papua, bahwa telah terjadi kesan pengaturan jabatan empat Gubernur, bupati dan wali kota  di Papua hanya yang berasal dari satu agama saja.

Sebelumnya nuansa kekecewaan itu sempat diangkat oleh pemberitaan media namun tidak mendapat tanggapan yang signifikan dari publik. Perlahan masalah ini mulai menarik perhatian publik. Dalam konteks penunjukan Penjabat Gubernur, bupati dan wali kota di Papua, jelas terlihat terjadi benturan antara Permendagri no 4 tahun 2023 dengan UU Otsus no 2 tahun 2021.

Rujukan Mendagri Hanya pada UU No 10/2016 dan UU No 5/2014 dan Permendagri No 4/2023

Semua keputusan terkait penjabat gubernur, bupati/ wakil bupati di enam provinsi di Papua, oleh Mendagri hanya dua UU saja yang menjadi rujukan.

Pertama, UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 201 ayat (9) mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pilkada nasional 2024.

Dalam masa masa jabatan penjabat kepala daerah adalah selama 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikut dengan orang yang sama atau berbeda.  Pasal 201 ayat (10) dan (11) menyebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya (JPT madya). Sementara itu, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama (JPT pratama), sampai dengan pelantikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, UU No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 19 UU mengatur secara rinci sejumlah posisi yang memenuhi kriteria sebagai JPT Madya dan JPT Pratama.  JPT Madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. JPT pratama meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara. Dengan demikian, hanya terbatas pada jabatan-jabatan tersebut sajalah yang bisa mengisi posisi penjabat kepala daerah.

Ketiga, Permendagri No 4 Tahun 2023. Kesan adanya dominasi yang sangat kuat dari Mendagri terlihat jelas dalam Pasal 4 ayat (1) sampai (4). Walaupun pengusulan dari propinsi melalui DPRD tetapi Mendagri juga berhak mengajukan usul tentang calon penjabat gubernur, bupati/ wali kota. Faktanya seluruh proses berlangsung di kemendagri dan walaupun ada pengajuan lagi  ke atas, tetapi umumnya pihak Setneg atau kepresidenan tidak terlalu jauh mencampuri proses yang ada di kemendagri kecuali ada alasan-alasan khusus. Persoalan-persoalan bisa muncul ketika keputusan penunjukan penjabat  gubernur, bupati/ wali kota tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Apalagi jika ada pemaksaan kehendak dari pusat dan daerah diharuskan tunduk dan taat. Ini yang disebut abuse of power.

Mendagri Mengabaikan UU No 2/2021 Jo UU No 21/2001 Tentang Osus Papua (Lex Specialis)

Orang Papua hitung dengan jari menjadi penjabat di provinsi lain di Indonesia. Di Papua, semua suku di Indonesia bisa menjadi pejabat di Papua. Mendagri harus mencatat itu sebagai orang yang pernah bertugas di Papua dan menjadi saksi sendiri bagaimana Papua menjadi Indonesia mini bagi konsep ke-Indonesiaan mereka memaknai apa yang selama ini didengungkan sebagai NKRI.

Sayang sekali, Moh Tito Karnavian lupa bahwa ada UU lain selain UU Nomor 10/2016 dan UU No 5/2014 ada UU 2/2021 jo UU No 21/2001 yang mengatur tentang hak-hak dasar Orang Papua, dialah Hak Afirmasi bagi Orang Papua dalam mewujudkan potensinya melalui jabatan-jabatan strategis di daerahnya sendiri. Jabatan-jabatan seperti tertuang dalam Pasal 9 UU Nomor 5 Tahun 2014 sudah pasti kebanyakan orang Papua tidak bahkan  sama sekali belum menggapainya. Dicontohkan di Kabupaten Biak Numfor, tidak satu pun pejabat orang asli Papua yang diusulkan DPRD Biak Numfor yang berkarier sebagai birokrat. Dan dengan alasan itu, putusan harus jatuh ke orang lain karena rujukan aturan di atas.

Reaksi Putera Papua yang memiliki keberanian seperti Natalius Pigai, SH bukan sebuah fenomena biasa, secara ilmiah dapat dibuktikan dari fakta di lapangan, apa yang disampaikan adalah benar. Jangankan penjabat gubernur, bupati/ wali kota, proses seleksi Pimpinan KPU, Pimpinan Bawaslu di enam provinsi dan seluruh kabupaten/ kota di Papua bau amis ini sudah tercium. Orang Papua memiliki potensi untuk lolos namun selalu disisipkan orang lain yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas namun afiliasi terhadap agama tertentu harus dinyatakan lolos yang bukan orang asli Papua juga.

“Lex specialis derogate lex generalis” (hukum/ aturan yang khusus mengesampingkan hukum/aturan yang umum). Dalam kasus penunjukan para penjabat gubernur/ bupati/ wali kota di  Papua, seyogyanya UU No 2 thn 2021 sebagai lex specialis yang harus dipakai dan bukan Permendagri no 4 tahun 2024 sebagai lex generalis yang menjadi acuan. Lagipula dari sisi hierarki hukum UU lebih tinggi kekuatan hukumnya daripada permendagri. Permendagri hanya dipakai sebagai akal-akalan pusat menyetel kepentingannya termasuk hal-hal primordial seperti disampaikan Natalis Pigai.

Sebenarnya ada hal yg lebih mudah dikatakan tentang proses ini. Jika penunjukan penjabat gubernur, bupati/ wali kota  di Papua prosesnya bisa dipermudah lewat UU Otsus, mengapa harus membuatnya jadi rumit dan bermasalah lewat Permendagri dan lex generalis lainnya? Sekarang saatnya para tokoh kritis Papua bersuara.

Pasal 17 ayat (4) UU Otsus menyebutkan, “Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap maka DPRD menunjuk seorang pejabat pememerintah daerah Provinsi Papua yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas gubernur/ bupati/ wali kota, sampai terpilih gubernur yang baru”.

Pasal 6: Dalam hal gubernur dan wakil gubernur berhalangan tetap sebagaimana pada ayat 4, DPRD menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur/ bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil walikota selambat-lambanya dalam waktu tiga bulan.

Jika terminologi berhalangan tetap termasuk berhenti dari jabatan karena masa jabatan sudah berakhir, maka sesungguhnya penunjukan penjabat gubernur/ bupat/ wali kota  di Papua dapat merujuk pada UU Otsus. Mekanismenya jauh lebih simpel, prosesnya lebih menyerap aspirasi daerah, dan spirit otonomi daerah apalagi otonomi khusus benar-benar dapat dirasakan.

Langkah korektif

Pemerintah pusat khususnya Kemendagri tampaknya tidak menyadari dampak buruk dari penunjukan para penjabat gubernur/ bupati/ wali kota  di Papua yang berasal dari satu agama mayoritas di republik ini. Jika perkembangan situasi politik menjadi lebih buruk karena masalah penunjukan para penjabat gubernur, bupati, wali kota  di Papua, beranikah kemendagri mengambil langkah-langkah korektif?

Referensi pada UU No 2 tahun 2021 tentang Otonomi khusus Papua nampaknya akan menjadi solusi terbaik. UU Otsus Papua tidak saja sangat demokratis dan aspiratif tetapi juga benar-bnar menghargai harkat dan martabat orang Papua. Kajian-kajian lintas kementrian terkait yang melibatkan tokoh-tokoh agama di Papua, para aktivis LSM, budayawan dan cendekiawan, akan mempermudah pemerintah pusat mengabil sikap dan kebijakan yang tepat tentang Papua. Rasa Ketidakadilan yang meluas adalah lahan yang subur bagi godaan-godaan separatisme.

Legitimasi moral dan yuridis

UU No 2 thn 2021 tidak saja memberikan legitimasi yuridis tetapi juga legitimasi moral yang sangat kuat bagi propinsi Papua. Ditegaskan dalam UU tersebut, bahwa Otonomi Khusus adalah kewenangan yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Tujuannya pun sangat mulia: Untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terahadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan propinsi lain.

Putera daerah Papua adalah warga negara Indonesia sama seperti warga negara Indobesia lainnya. Prioritas penempatan para penjabat gubernur, bupati, wali kota di Papua, yang berasal hanya dari satu golongan agama harus memiliki argumentasi yang kuat dan dijelaskan secara terbuka kepada publik di Papua. Tetapi sebagus apapun penjelasannya, rasa ketidakadilan sudah sulit dihilangkan dari publik yang kritis dan rasional.

 

Drs. Lasan Silverius Bataona

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Politisi PDIP

Alamat penulis dapat diperoleh melalui redaksi Suara Anak Negeri