Gerakan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Justice, Peace, Integrity of Creation) dalam Gereja Katolik sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, berakar dalam Kitab Suci, tradisi, dan apa yang disebut Ajaran Sosial Gereja (Social Teaching of the Church) sejak Ensiklik Rerum Novarum (15 Mei 1891) sampai Ensiklik “Laudato Si” (2015).
Paus Fransiskus pada 2015 mengeluarkan Ensiklik “Laudato Si” yang merefleksikan pandangan dan sikap Gereja Katolik terhadap Bumi dan pelbagai persoalan ekologi. Di dalamnya, Paus menyerukan mengenai lingkungan hidup, mengajak dan mengingatkan manusia untuk peduli terhadap alam semesta. Ensiklik ini menarik perhatian dunia karena pada saat yang bersamaan para ahli di bidang perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam COP-21 di Paris melahirkan “Paris Agreement”.
Ensiklik berisi ajaran Sri Paus, Pemimpin Agama Katolik sedunia. mengenai iman dan kesusilaan. Biasanya ensiklik ditulis dalam Bahasa Latin, bahasa resmi Vatikan. Setiap ensiklik merupakan Ajaran Sosial Gereja.
Sementara itu, Ajaran Sosial Gereja sering disamakan dengan ajaran para paus sejak Paus Leo XIII menerbitkan Ensiklik “Rerum Novarum” pada 1891. Paus Leo XIII ingin menunjukkan empati Gereja Katolik terhadap masalah kaum buruh saat itu. Paus Leo menyadari Gereja harus berkomunikasi dengan masyarakat.
Dengan “Rerum Novarum” Paus Leo XIII membuka pandangan dan sikap Gereja dalam bidang sosial. Dengan tegas Gereja menentang kondisi-kondisi tak manusiawi yang menimpa kaum buruh dalam masyarakat-masyarakat industri.
Saat itu tengah terjadi masa Revolusi Industri di Inggris. Buruh-buruh bekerja selama 14 jam sehari untuk gaji yang ditentukan oleh harga pasar. Anak-anak ikut mencari nafkah dan dipekerjakan di pertambangan bawah tanah. Buruh hanya dipandang sebagai salah satu faktor dalam proses produksi. Eksploitasi manusia atas manusia pun terjadi saat itu.
Akibat negatif dari Revolusi Industri ini adalah kekacauan sosial (social chaos). Orang desa berpindah ke kota untuk menjadi buruh kepada majikan-majikan yang kaya dan eksploitatif. Urbanisasi besar-besaran melahirkan kesepian di kota-kota. Tenaga buruh lebih sering dieksploitasi dan dimanipulasi majikan. Bahkan kekayaan kaum buruh dirampas para pengusaha.
Di saat seperti itu, Gereja pun tak hadir di tengah umatnya, di kota-kota industri itu. Keterasingan kaum buruh dari Gereja sangat tampak. Nasib para buruh ini menimbulkan rasa iba pada hati banyak orang kristen, walau pendekatan “karitas” hanya meringankan rasa lapar, dan belum mengubah banyak hal yang mendasar.
Mulai muncul beberapa organisasi religius untuk ikut memikul beban usaha-usaha karitatif, seperti Perkumpulan Santo Vincentius untuk anak yatim piatu di Perancis, Yohanes Don Bosco dan teman-temannya fokus pada kaum pemuda-pemuda buruh di Italia Utara, atau usaha-usaha karitatif Wilhelm von Ketteler di Jerman.
Ensiklik “Rerum Novarum” yang dikeluarkan Paus Leo XIII dipandang sebagai ensiklik pertama dalam rentetan dokumen Ajaran Sosial Gereja, yang berbicara secara prinsipil dan menyeluruh tentang masalah kaum buruh dan menguraikan pandangan Gereja Katolik tentang persoalan sosial.
Ajaran Sosial Gereja merupakan refleksi atas usaha-usaha umat beriman Kristiani yang bergumul dengan masalah-masalah sosial pada awal dan pertengahan abad-19. Pada saat itu Gereja Katolik melihat masalah penderitaan kaum buruh akibat perkembangan industri dan sistem ekonomi liberal yang diterapkan. Orang-orang yang terlantar (kaum buruh) akibat proses industrialisasi hendak ditolong oleh Gereja dengan caritas Christiani.
Selanjutnya, Gereja melihat masalah buruh tak hanya berkaitan antara relasi majikan dan buruh saja, melainkan juga antara buruh dan modal, antara negara industri yang bermodal dengan negara sedang berkembang.
Masalah sosial tidak lagi terbatas pada lingkungan sebuah negara, melainkan pada banyak negara, karena itu perlu dirumuskan tanggung jawab orang kristen terhadap masyarakat kemasyarakatan dewasa ini. Sebab tanggung jawab sosial memperhatikan hidup bersama secara damai sebagai satu kesatuan umat manusia dan suatu masa depan yang lebih pasti.
Ajaran Sosial Gereja bukan sekadar suatu keterlibatan dan refleksi atas masalah-masalah sosial yang dihadapi orang Kristiani bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, melainkan juga Ajaran Sosial Gereja mengembangkan suatu gambaran kristiani mengenai manusia dan panggilannya yang transenden dengan implikasi-implikasi sosialnya.
Pada 1931, Paus Pius XI menulis Ensiklik “Quadragesimo Anno”, di tengah dunia yang dilanda depresi ekonomi. Paus Pius XI menanggapi masalah ketidakadilan sosial, mengajak untuk mengatur kembali tatanan sosial sesuai anjuran “Rerum Novarum”. Paus mengecam kapitalisme, persaingan bebas, komunisme, dan mengajak pembangunan ekonomi berdasar prinsip keadilan dan cinta kasih.
Pada 1961 Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Ensiklik “Mater et Magistra”, dan Ensiklik “Pacem in Terris” (1963). Paus Yohanes menegaskan sejumlah prinsip sebagai petunjuk bagi umat beriman dalam mengambil kebijakan menghadapi kesenjangan di antara bangsa-bangsa yang kaya dan yang miskin. Paus menerangkan dengan baik dimensi-dimensi global dari keadilan sosial dan memaparkan ajaran sosial gereja. Gereja mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk membanngun lembaga-lembaga yang menghargai martabat manusia, menegakkan keadilan dan perdamaian.
Namun Ajaran Sosial Gereja baru masuk dalam agenda Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” (Gereja dalam Dunia Modern) dan berpangkal dari “Gaudium et Spes” berkembanglah suatu pendekatan baru dalam Ajaran Sosial Gereja. Paus Yohanes XXIII yang membuka Konsili Vatikan II pada Oktober 1962 membuka jendela Gereja agar masuk udara segar dari dunia modern.
Para Bapa Konsili itu menangkap masalah dunia yang terpolarisasi oleh pelbagai ideologi dan ancaman senjata nuklir. Selama 3 tahun, para kardinal dan uskup sedunia berkumpul untuk membicarakan hakikat Gereja dan perutusannya ke tengah dunia.
Dalam Konstitusi Pastoral dari Konsili Vatikan II, Gereja Katolik menegaskan kekhasan perutusan Gereja yang membantu memantapkan masyarakat manusia menurut hukum ilahi.
Sejak Konsili Vatikan II, pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II, sinode para uskup, konferensi-konferensi para uskup regional dan internasional makin mempertajam peranan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah dengan cepat.
Dalam dokumen “Populorum Proggresio” (1967) Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, dan menunjukkan dimensi struktural dari ketidakadilan. Paus mengajak negara-negara kaya ikut menata tata dunia yang berkeadilan dan mau bekerja dalam solidaritas sejati.
Dalam Surat Apostolik “Octogesima Adveniens” (1971), Paus Paulus VI mengajak orang-orang Kristiani terlibat dalam menciptakan tatanan baru dengan mengevaluasi dan analisisi situasi yang mereka alami, menyoroti situasi khusus dengan doa, discernment, dan refleksi, serta melakukan tindakan pastoral konkrit.
Visi perutusan sosial Gereja dalam mewujudkan keadilan sosial, perdamaian, dan keutuhan ciptaan ikut membaharui Gereja universal dan Gereja lokal yang sedang berziarah di dunia.
Dari uraian panjang di atas, cukup terasa betapa Gereja Katolik telah mengambil langkah nyata dalam sikap peduli terhadap masalah sosial, baik keadilan, perdamaian, dan ekologi. Gerakan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan kiranya relevan menjawab situasi dunia dan lingkungan kita saat ini. Dalam Gereja Katolik terdapat sebuah komisi yang bergerak dalam mengimplementasikan wajah sosial Gereja, yakni Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan.
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian didirikan oleh Paus Paulus VI lewat Motu Proprio berjudul “Catholicam Christi Ecclesiam” (Gereja Katolik Kristus), pada 6 Januari 1967, sebagai tanggapan atas pesan Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral “Gaudium Et Spes”.
Pada bagian terakhir dari paragraf 90 “Gaudium Et Spes”, tertulis: “Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan yang tiada taranya, yang sekarang pun masih menyiksa mayoritas umat manusia, lagi pula di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya adalah mendorong persekutuan umat Katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial internasional dapat ditingkatkan”. Lewat Motu Proprio ini, Komisi Keadilan dan Perdamaian mendapat kedudukan yang pasti.
Pada 1988, Paus Yohanes Paulus II meneguhkan komisi ini dan mengubah namanya menjadi Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Pontifical Council for Justice and Peace). Secara prinsipil, fungsi utamanya adalah melakukan penelitian (riset) publikasi teks-teks yang berkaitan dengan Keadilan dan Perdamaian. Misinya adalah agar Gereja memiliki mata yang terbuka, hati yang peka, dan tangan yang siap sedia untuk karya-karya cinta kasih di tengah dunia.
Dalam Motu Proprio “Pastor Bonus”, Paus Yohanes Paulus II mendefinisikan sasaran-sasaran dari Dewan ini. Paus menulis, “Dewan akan meningkatkan keadilan dan perdamaian di dunia dalam terang Injil dan Ajaran Sosial Gereja.” Adapun beberapa sasaran dan amanat dari Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, antara lain:
Dewan akan memperdalam Ajaran Sosial Gereja dan memperkenalkannya kepada pribadi dan kelompok. Dewan akan mengevaluasi jenis informasi dan hasil penelitian tentang keadilan dan perdamaian, tentang perkembangan dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, dan pada saatnya Dewan akan menginformasikan hasil-hasil penelitiannya kepada dewan-dewan di keuskupan. Dewan akan meningkatkan relasi dengan organisasi-organisasi Katolik internasional dan dengan badan-badan lain, yang Katolik maupun non-Katolik, demi perkembangan nilai-nilai keadilan dan perdamaian dunia.
Singkatnya, Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian adalah suatu badan dari Kuria Romana yang berfokus pada “action-oriented studies” (kajian-kajian yang berorientasi tindakan) demi mempromosikan secara internasional keadilan, perdamaian, dan hak-hak asasi manusia dalam perspektif Gereja Katolik.
Untuk mencapai tujuan itu, Dewan bekerja sama dengan pelbagai institusi religius (tarekat religius), kelompok-kelompok advokasi dan para ahli. Selanjutnya, nama JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) menjadi nama yang umum dipakai dalam Gereja Katolik.* (Stef Tokan, JPIC MSC Indonesia