Dr. Balthasar Watunglawar, S. Pd., MAP., SH., MH.

Isu keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat dengan intensitas yang mengundang perhatian publik. Dalam beberapa waktu terakhir, Roy Suryo dan sejumlah pihak lainnya mengangkat tuduhan bahwa ijazah Jokowi diduga palsu. Namun, seiring dengan berkembangnya polemik ini, tampak bahwa diskursus yang terjadi lebih banyak dipenuhi oleh asumsi, pembalikan logika hukum, serta kegaduhan yang tidak didasarkan pada bukti yang kuat. Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis secara mendalam berbagai aspek yang melatarbelakangi isu ini.

Ijazah sebagai dokumen pribadi memiliki karakteristik yang berbeda dengan dokumen publik. Secara hukum, ijazah adalah bukti pendidikan yang bersifat pribadi dan tidak dapat dianggap sebagai dokumen yang harus dipublikasikan untuk konsumsi umum. Oleh karena itu, Roy Suryo dan rekan-rekannya bukan merupakan representasi publik dalam menggugat keaslian ijazah Jokowi dan tanpa dasar. Dalam hal ini, tidak ada hubungan langsung antara klaim mereka dengan kerugian konkret yang dapat dibuktikan. Jika ada kesan representatif mereka terhadap publik, maka mereka harus menunjukkan adanya kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat dari dugaan tersebut. Namun, dalam kasus ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia merasakan dampak negatif dari isu ijazah yang dipermasalahkan.

Selanjutnya, penting untuk mempertanyakan: jika memang ijazah tersebut palsu, apa sebenarnya kerugian yang dialami oleh publik? Dalam konteks ini, perlu diingat bahwa Joko Widodo terpilih sebagai presiden dalam dua periode kala itu, melalui proses demokratis. Roda pemerintahan terus berjalan, dengan berbagai program yang diluncurkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang masif, digitalisasi layanan publik, dan program-program sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Semua ini menunjukkan bahwa meskipun ada tuduhan mengenai keaslian ijazah, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia dirugikan secara nyata. Pertanyaannya, apakah isu ini lebih merupakan narasi politik yang digunakan untuk menyerang karakter Jokowi sebagai pribadi atau sebagai mantan presiden yang kemudian dihubungakan dengan sebuah masalah yang benar-benar relevan dengan kepentingan publik?

Dalam konteks kepemimpinan, muncul pertanyaan mendasar: apakah ijazah benar-benar menentukan kualitas seorang pemimpin? Tuduhan bahwa ijazah palsu telah membawa bangsa ke arah kebodohan adalah pernyataan yang berlebihan dan tidak berdasar. Kualitas pemimpin tidak hanya diukur dari ijazah yang dimiliki, melainkan juga dari kebijakan yang diambil dan dampaknya terhadap masyarakat. Banyak indikator yang menunjukkan kemajuan selama kepemimpinan Jokowi, seperti peningkatan akses terhadap pendidikan, pengembangan infrastruktur, dan stabilitas sosial yang relatif terjaga. Jika negara dianggap mundur hanya karena dugaan ijazah palsu, maka seharusnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya perlu dipertanyakan kemampuannya, Jokowi atau mereka yang mengangkat isu ini tanpa bukti yang jelas?

Lebih lanjut, dalam konteks hukum, tuduhan harus dibuktikan secara sah. Hingga saat ini, tidak ada bukti otentik yang menunjukkan bahwa ijazah Jokowi adalah palsu. Yang beredar di publik hanyalah salinan atau fotokopi yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menuduh seseorang. Dalam praktik hukum, pendapat ahli memang dapat menjadi alat bukti tambahan, namun tidak bisa dijadikan dasar utama dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Pembuktian yang sah mensyaratkan adanya dokumen asli dan kesaksian langsung dari pihak yang berwenang. Oleh karena itu, jika tuduhan ini hanya berdasarkan analisis visual terhadap salinan, maka itu tidak memenuhi syarat minimal pembuktian hukum.

Logika dalam pembuktian juga menunjukkan adanya anomali yang perlu diperhatikan. Dalam proses pembuktian, seharusnya salinan yang diklaim sebagai palsu dibandingkan dengan dokumen asli yang dimiliki oleh pemiliknya, dalam hal ini Jokowi. Jika Roy Suryo dan rekan-rekannya mengklaim memiliki dokumen asli, maka pertanyaan yang muncul adalah dari mana mereka memperoleh dokumen tersebut? Bukankah seharusnya ijazah asli berada di tangan Jokowi? Jika mereka benar-benar memiliki dokumen asli, maka itu justru bisa menjadi indikasi adanya penggelapan atau pencurian dokumen pribadi, yang jelas merupakan pelanggaran hukum.

Dari sudut pandang Jokowi sebagai pemilik sah ijazah, ia tidak memiliki kewajiban untuk menunjukkan dokumen tersebut kepada sembarang orang. Dalam konteks hukum, pembuktian seharusnya dilakukan dalam proses resmi, bukan di media sosial. Justru, pihak yang menuduh harus dapat membuktikan klaim mereka dengan membandingkan salinan yang mereka miliki dengan dokumen asli milik Jokowi. Dalam logika hukum yang benar, yang berhak menyatakan keaslian atau kepalsuan adalah pemilik dokumen itu sendiri, bukan orang lain yang tidak memiliki legitimasi.

Roy Suryo dan kawan-kawan tidak memiliki mandat hukum sebagai perwakilan publik dalam isu ini. Tidak ada proses demokratis atau hukum yang memberi mereka hak untuk mewakili masyarakat dalam hal ini. Oleh karena itu, klaim bahwa publik merasa dirugikan adalah bentuk manipulasi opini publik yang tidak berdasar. Tuduhan yang tidak didukung oleh bukti yang cukup dapat berpotensi menjadi fitnah, yang merupakan tindakan serius dan dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik. Institusi pendidikan seperti UGM, yang telah menyatakan keaslian ijazah tersebut, juga berhak untuk melindungi reputasinya dari tuduhan yang tidak berdasar. Mengulangi tuduhan tanpa bukti hanya akan memperkuat kesan bahwa ini adalah kampanye politik negatif yang berbahaya bagi stabilitas masyarakat.

Jika Roy Suryo dan rekan-rekannya memang memiliki dokumen asli, maka Jokowi berhak melaporkan mereka atas dugaan perampasan atau penggelapan dokumen pribadi, serta gangguan kenyamanan pribadi. Ini bukan sekadar masalah pembuktian, tetapi juga menyangkut penyalahgunaan data pribadi yang dapat berujung pada proses hukum pidana. Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa setiap individu, termasuk Presiden, memiliki hak atas privasi dan perlindungan hukum terhadap tuduhan yang tidak berdasar.

Penting untuk menegaskan bahwa publik membutuhkan akal sehat dan bukan sensasi murahan. Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang kebebasan berbicara, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap ucapan dan tuduhan yang dilontarkan. Negara hukum harus berdiri di atas bukti dan prosedur formal, bukan di atas opini yang tidak berdasar. Rakyat Indonesia perlu bersikap jernih dalam menghadapi isu-isu seperti ini. Mari kita pisahkan antara kritik yang konstruktif dan serangan yang penuh sensasi. Bangsa ini tidak memerlukan kegaduhan yang tidak produktif; yang kita butuhkan adalah logika, etika, dan penegakan hukum yang adil. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai dan setiap tuduhan ditangani dengan cara yang sesuai dengan hukum dan etika.

Dr. Balthasar Watunglawar, S. Pd., MAP., SH., MH., adalah Akademisi dan Pengamat Publik

****