Oleh Agung Marsudi

INI bukan soal presiden yang mulai berani, ini soal sindiran kopi pagi, yang disuguhkan dengan nada mirip para petinggi, “kopi itu mahal” kalau sudah dibuat harus dihabiskan.

Saya tak punya relasi kuasa apa-apa. Sayapun mengangguk dengan takzim, dan minta maaf kepada yang membuatnya. “Yang dari rakyat, untuk rakyat, itu subsidi bukan demokrasi,” balas saya.

Jadi ingat, komentar menteri keuangan, subsidi itu harus dicabut. Biar rakyat belajar mandiri. Lalu saya jawab, “bagaimana kalau rakyat sekarang tak usah bayar pajak lagi, biar pemerintah belajar mandiri”.

Si pembuat kopi tersenyum, sambil membersihkan koro muda yang baru saja dipetiknya dari kebun. “Di dinding ini besok kita kasih rak buku,” ujarnya.

“Ini nasi liwetnya sudah masak. Coba hirup wangi teh jahenya,” imbuhnya.

Dialog kami sepertinya tak bersimpul. Tapi kami sudah saling memahami. Pagi hari itu memang saat tepat belajar makrifat. Apalagi makrifat kopi. Kopi-ngopi, teguk-sruput, gelas-cangkir. Melek-mikir.

“Minum teh jahenya, mumpung anget” pintanya dengan lembut. “Untuk bahagia itu gak perlu negara,” ujarnya.

Sayapun tetap melanjutkan catatan kopi pagi. Duduk di kursi pojok dekat jendela. Sebab sinar matahari mulai hangat menembus kaca.

Si dia asik di wastafel memotong dan membersihkan sisa daging korban yang lalu. Sepertinya pagi ini ada acara makan istimewa, untuk memulihkan tenaga, setelah beberapa hari di Malang menikmati gelaran wayang topeng, “Umbul-Umbul Mojopuro” di selasar Dewan Kesenian Malang.

Pecel daun pepaya, ubi dan koro muda telah tersedia. Tak ketinggalan bakwan jamur kuping. Tinggal empal gorengnya.

Si dia, meski sudah berusia 53 tahun, kecantikannya mempesona. Rambutnya yang ikal. Dekik pipinya kalau tersenyum, membuatku selalu menghamba urusan romantisme. Ia energik, ia cerdas.

Teh jahe bikinannya, telah kusruput dan membuat nafasku lega, batukpun reda.

Meski di meja, masih ada gelas kopi kemarin, dan teh jahe. Dua-duanya harus diminum. Sebab kalau tidak, pasti bakal ada sindiran kopi kedua. Padahal pagi ini saya pingin minum “Soda Gembira” merah muda cinta. Tanda mata setelah pulang dari Jakarta.

Sisa kopi telah saya habiskan, si dia duduk manja di pangkuan, lalu meneguk tetes terakhir kopi liberika bikinannya kemarin, lalu ia menyruput teh jahe penuh cinta. Lalu kamipun makan bersama “berdua”.

Di buku ,”7 Lapis Kekuatan Diri” Achmad Chodjim, kita diingatkan bahwa dalam diri manusia tersusun dari lapisan-lapisan diri yang masing-masing memiliki fungsi bagi kesempurnaan hidup manusia.

Life begins at 50. Kami merasa sedang menaiki perahu, berlayar di tengah lautan cinta. Sindiran kopi pagi ini membuat kami merasakan getaran “kesempurnaan cinta”.

Ngawi, 24 Juni 2025