Di tengah tengah Festival Munara Wampasi mendorong aktifitas masyarakat Biak dalam tahapan puncak Sail Teluk Cendrawasih 2023, Suara Anak Negeri menelusuri betapa kaya, luas dan dalamnya konsep konsep mitologi kehidupan masyarakat adat suku Biyak bagi kehidupannya.
Banyak orang hanya mengikuti berbagai tahapan rundown aktifitas menuju puncak acara Sail Teluk Cendrawasih 2023, tanpa melihat konsep konsep pemaknaan atifitas orang Biyak pada tataran antropologisnya.
Berikut Suara Anak Negeri melihat sisi lain dari berbagai aktifitas Sail Teluk Cendrawasih 2023 yang mengingatkan konsep filosofis pada tataran kehidupan orang Biyak yang kini oleh Bupati Herry Ario Naap mewujudkan dalam ingatan masa lalu melalui berbagai program pembangunannya.
Suku Biyak (Biak-red) dulunya mendiami pulau Biak, Supiori, Numfor, pulau pulau Padaido sampai kepulauan Mapia yang terdiri dari pulau Mapia, Barasi dan Fanairoto. Kini telah dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori, namun kehidupan sosio-antropolis masyarakat adat masih memiliki kesamaan.
Makna Kata Koreri
Kata “koreri” dalam bahasa suku Biyak diawali dengan prefiks “ko” yang artinya kita dan sufiks “rer” yang artinya mengganti kulit. Kata “korer” apabila mengubahnya menjadi kata sifat maka diberi imbuhan “i” menjadi “koreri” yang artinya mengganti kulit. Mengganti kulit disinonimkan dengan mengganti kulit kita menjadi baru.
Makna kata dasar “ko” dan “rer” dengan menambah prefiks “i” secara gramatikal diartikan sebagai perubahan kehidupan suku Biyak yang baru, kehidupan mana tidak lagi mengenal pendiritaan fisik, batin, tidak ada tekanan ekonomi, tekanan politik, penyakit bahkan kematian. Sebuah kehidupan yang membawa kebahagiaan abadi (makna eskatologis).
Mitologi Koreri
Orang Biyak ketika itu masih hidup dalam dunia gelap atau mereka masih percaya akan dunia gaib (roh halus/setan) dan juga penguasa-penguasa yang melebihi kekuatan manusia biasa yang menurut mereka penguasa tersebut mendiami “Nangi”(surga) yang berada di “mandep” (langit).
Mereka juga masih mempercayai kuasa-kuasa yang mendiami “farsyos” (jagad raya), “ abyab” (gua), “karunibeba” (batu besar), “soren” (dasar laut), “war beyab” (sungai, “ai beba” (pohon besar), dan lain sebagainya.
Munculnya gerakan koreri karena orang Biak merasa tidak aman yang sangat tinggi dalam keberadaan faktual sehingga mendorong orang Biak untuk terus melawan dan terjadinya gerakan koreri.
Mitologi koreri, mendorong orang Biak melihat alam sebagai sebuah subtansi yang perlu dijaga harmoni dalam relasi antara “Manseren” (Tuhan) secara vertikal dan horisontal melalui bagaimana memelihara alam sebagai bagian dari pemberian Manseren (Tuhan) yang harus dijaga dan dirawat. Dan untuk mencari keberadaan Manseren, orang Biak keluar dari pulau Biak untuk mencari hidup melalui perdagangan natura hasil bumi, menaklukkan bajak laut, menerawang gelombang, menggapai pulau yang diidamkan sebagai tempat berdiamnya atau bersemayamnya “Manseren” (TUHAN) dengan menggunakan perahu tradisionalya.
Koreri pada Pemaknaan Orang Biyak Pelaut Ulung
Konsep koreri melatarbelakangi orang Biak menjelajahi samudera, dari pulau ke pulau dengan menggunakan perahu tradisional orang Biak yang terkenal ada 3 (tiga) jenis perahu besar yaitu “wairon” (perahu perang), “mansusu” (perahu penjelajah), “manjur” (perahu dagang).
Perahu wairon sering digunakan orang Biak untuk perang suku dengan suku-suku lain dan menangkap budak-budak.
Perahu mansusu sering digunakan orang Biak untuk mengadakan penjelajahan jauh sampai ke daerah-daerah di luar Papua seperti Tidore dan Ternate serta Negara-negara asing lainnya seperti kepulauan Vanimo dan pulau-pulau di Pasifik. Perahu manjur sering digunakan untuk berdagang ke pulau-pulau di luar Biak.
Tiga jenis perahu dimaksud bertujuan selain mewujudikan konsep koreri di mana mereka mencari suatu tempat yang aman, damai dari hiruk pikuk kehidupan duniawi, mereka mau menunjukkan kepada dunia bahwa memang orang Biyak pada dasarnya menjadi pelaut ulung karena kehidupan mereka dijiwai oleh pemilik alam semesta yang disebut dengan “Manseren” (TUHAN) yang harus dicari keberadaan-Nya di seluruh penjuru dunia.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika orang Biyak pertama tiba di Tidore, melihat kondisi kesultanan Tidore memiliki kesamaan pandangan tentang “Manseren” (Tuhan) Yang Maha Besar, Allahu Akbar, itu sebabnya, mereka pada akhirnya menganut agama islam tanpa meninggalkan konsep berpikir theologis dan antropologis mereka tentang Manseren pada tataran orang Biak.
Berpadangan jauh ke depan atau futurisme orang Biak tentang alam semesta, diyakini bahwa Tuhan (Manseren), Alam dan Manusia berkorelasi satu sama lain. Sumber daya ikan dan seluruh habitat laut yang menghidupi mereka harus dijaga dan dirawat sedemikian rupa sehingga anak cucu mereka tetap menikmati ciptaan Manseren demi keberlanjutan kehidupan mereka.
Paulus Laratmase