Undangan Tuhan dalam perayaan Ekaristi merupakan wujud cinta dan kerinduan-Nya supaya saya bisa merasakan hadirat-Nya secara lebih khusus, supaya Ia bisa bersama-sama saya secara spesial. Pikir saya, Tuhan yang mestinya sibuk luar biasa dengan berbagai keperluan alam semesta, ternyata selalu punya waktu yang khusus untuk saya, hadir secara nyata dalam perayaan Ekaristi, buat saya. Sayangnya, saya yang manusia ciptaan ini kadang justru merasa sok sibuk, tidak punya waktu, kadang memutuskan melakukan kegiatan-kegiatan lain di hari Minggu, hari yang sebenarnya dimaksudkan Tuhan supaya saya berjumpa dengan-Nya, mengucap terima kasih atas karunia hidup yang diberikan Dia, Sang Empunya Waktu itu sendiri. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu (Kej 2: 3). Waktu bukan milik saya, Ada Pihak yang menciptakan dan memberikannya kepada saya, walau karena cinta-Nya, Ia membebaskan saya memakainya sekehendak hati saya.

Beberapa kenalan dan saudara saya sudah lama berhenti merayakan Misa di gereja, karena merasa kering, merasa tidak menemukan apa-apa di sana, merasa semua itu tidak mengubah apa-apa dalam hidupnya. Mereka memutuskan bahwa merasa mencintai dan menghormati Yesus, hidup baik, tidak menyakiti sesama, beramal, itu saja sudah cukup. Tidak perlu merayakan Misa di gereja dan berjumpa saudara-saudara seiman untuk bersekutu memuji Tuhan. Tidak ada pengaruhnya. Saya hanya manggut-manggut dalam hati, oh, ….merasa kering dan tidak menemukan apa-apa. Ya, dulu saya pun merasa demikian.

Walau sudah menjadi Katolik sejak bayi, tidak dalam sekejap mata pengalaman saya merayakan Ekaristi bertumbuh dari sekedar kewajiban, menjadi suatu kerinduan yang menumbuhkan iman. Perkenalan pertama saya dengan Ekaristi adalah melalui rutinitas hari Minggu di masa kecil, di mana saya hadir di gereja karena disuruh oleh orangtua, dan bersama dengan mereka. Ketika menginjak usia remaja dan dewasa awal, ada perkembangan sedikit, tidak banyak, di mana saya mengikutinya lebih karena sekedar kepatuhan kepada agama saya. Semua motivasi awal itu belum membuat saya menghayati makna terdalam dari Perayaan Ekaristi dan mengalaminya sebagai sumber kehidupan saya sebagai pengikut Kristus. Tetapi motivasi awal karena kebiasaan keluarga dan sekedar kepatuhan itu dipakai Tuhan untuk menuntun saya perlahan-lahan, sehingga akhirnya saya mengalami keindahan Ekaristi sebagaimana Tuhan menginginkan saya mengalaminya.

Bagaikan seuntai kalung yang indah yang disusun dari butir demi butir manik-manik tunggal yang membentuknya, pengalaman merayakan Ekaristi karena kewajiban itu teruntai perlahan-lahan, menjadi sebuah untaian penuh makna di mana Tuhan Yesus membimbing saya merangkai semua pengalaman saya bersama-Nya menjadi pengalaman yang menumbuhkan iman dan kasih saya kepada-Nya. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa kehadiran saya di gereja bersama umat beriman mengenangkan kurban kasih-Nya adalah jawaban bagi sebuah kerinduan yang mengisi hati.

Ekaristi mengubah cara saya memandang hidup dan menjalani hidup. Saya hampir tidak menyadari prosesnya, tetapi menyadari buahnya. Ketika Allah yang Maha Tak Terbatas dan Tak Terselami merendahkan diri-Nya begitu bersahaja dalam rupa roti dan anggur supaya Darah-Nya menjadi satu dengan darah saya, dan Tubuh-Nya menyatu dengan tubuh saya, perlahan-lahan dan dengan lembut, hati saya diubahkan, keinginan-keinginan duniawi saya dimurnikan menjadi selaras dengan keinginan untuk menemukan hidup yang sejati di dalam Dia. Saya mulai merasakan kerinduan akan kekekalan bersama Tuhan, walaupun saya masih menjalani hidup badaniah di dunia yang fana, dan masih dibanjiri dengan berbagai persoalan, kepedihan, kekecewaan, maupun urusan dan tawaran dunia yang serba menyenangkan namun sementara.

Inilah mutiara-mutiara Ekaristi, sebuah pesta penebusan Tuhan bagiku, puncak hidupku sebagai seorang Kristiani. Ekaristi mengajar saya untuk:

Terus menerus “in tune” (sinkron) dengan Allah dan menyelaraskan diri dengan apa yang menjadi kehendak-Nya dalam hidupku.

Mengucap syukur secara khusus dan indah sambil mengenangkan dengan istimewa kurban kasih Kristus bagi hidupku.

Belajar diam dan mendengarkan, karena sehari-hari saya sudah terlalu banyak bicara.

Mengenali bagaimana Tuhan berbicara kepada manusia melalui bacaan Firman-Nya, dan menjadi semakin mengenal jalan-jalan-Nya.

Menguji diri sendiriku apakah aku sungguh mencintai Tuhan dan rela menyisihkan semua urusan duniaku untuk sungguh-sungguh meluangkan waktuku bersama Dia, dan hanya buat Dia.

Menambah rasa cinta kepada Tuhan Yesus dan memperkuat rasa engganku untuk berbuat dosa, karena takut melukai hati-Nya yang lemah lembut dan sabar luar biasa.

Mengenali Tuhan yang selalu bisa diandalkan, melalui anak-anak Tuhan yang selalu Ia siapkan untuk menyelenggarakan Misa, setiap hari, dengan tata perayaan yang selalu konsisten dan sama, di manapun aku berada, di desa, kota, atau negara yang berbeda di berbagai belahan bumi ini.

Menyadari bahwa Tuhan adalah inti dan tujuan hidupku, menyadari kerinduanku yang terdalam, untuk berada di hadirat kebijaksanaan-Nya yang kudus.

Semakin dalam mengetahui bagaimana makna Sakramen Ekaristi maka akan semakin besar semangat mengikuti Ekaristi setiap minggunya.

Pace e bene

 

Vera Nainggolan