Gereja Katolik secara nasional dipenuhi kemeriahan dengan adanya perayaan (Indonesia Youth Day) ke-3 / 2023 yang berlangsung kurang lebih 5 hari (26/6-30/6) 2023 di Keuskupan Palembang.

Ini merupakan acara pagelaran khususnya bagi Orang Muda Katolik seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Tentu bukanlah momen yang baru, acara serupa sudah sempat diselenggerakan pada 2012 dan 2016. Dan kini untuk ketiga kalinya diselenggarakan pada tahun 2023.

Pada tahun ini, IYD mengusung tema “Bangkit dan Bersaksilah”. Suatu makna berupa ajakan untuk bangkit dari situasi sulit (“awan gelap”) di masa pandemi, dan keberanian untuk bersaksi. Kesaksian ini bersumber dari cinta Tuhan itu sendiri dan meluar pada cinta sesama yang menderita.

Ada banyak pihak yang tentu dilibatkan dalam kegiatan ini. Saya yakin semua memiliki visi yang sama yaitu IYD ini dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Tapi selain itu, baiknya ada nilai penting yang dapat digali oleh setiap peserta IYD dalam memupuk spiritualitas iman yang mantap. Jadi tidak sekedar huru hara mengikuti kemeriahan IYD melainkan ada sesuatu yang penting untuk dihayati dalam menumbuhkan kesadaran sebagai Orang Muda Katolik.

Ilustrasi Gambar: Grup 49 dari gabungan Keuskupan se-Indonesia

Mencermati proses jalannya IYD yang disadur oleh beragam media sosial, terdapat beberapa tahapan yang dilalui, yang pertama yaitu Pra IYD (Refleksi), IYD (Selebrasi), dan Pasca IYD (Aksi). Menyadari diri yang masih dalam kategori OMK, membuat saya terkesan untuk berefleksi lebih dalam melihat spiritualitas macam apa yang mesti dihidupi oleh OMK zaman ini, kesadaran seperti apa yang harusnya dihayati di tengah keberagaman suku, agama, bahasa maupun budaya. Tentu bukan hal yang mudah untuk mempertemukan mereka sebab ada aneka ragam bentuk wadah yang menaungi mereka, seperti: OMK, Choice, KKMK (Kelompok Karyawan Muda Katolik), Komunitas Lajang Katolik, New Heart Community (Komunitas Lajang Katolik yang mendalami spiritualitas Hati Kudus Yesus), Corpus Cordis, KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Tetapi kendati berbeda ada satu hal yang mesti disadari yaitu kesamaan iman mereka, karena sudah dibaptis dalam Gereja Katolik. Jadi, apa pun bentuknya, wadahnya, mereka mengakar pada satu dasar yang sama yaitu Yesus Kristus. Pertanyaannya, apakah pengalaman berdinamika dalam komunitas-komunitas khususnya momen IYD yang kita rayakan bersama membawa orang muda pada pengalaman perjumpaan dengan Yesus? Apakah proses-proses ini mengantar orang muda sampai pada jati diri Kristiani?

Mengenang kembali momen World Youth Day 2008 di Sydney, saya kira menjadi pijakan yang baik untuk direfleksikan sebagai OMK. Paus Benediktus VI menyerukan bahwa, masa kini, seiring dengan kemakmuran materi, telah terjadi kekeringan Rohani: kekosongan jiwa, ketakutan yang tidak jelas penyebabnya, dan keputusasaan. “Hidup yang sungguh berarti barulah ditemukan dalam mengasihi. Anugerah terbesar kabar sukacita yaitu panggilan untuk menemukan kepenuhan dalam cinta. Dan Gereja membutuhkan iman, idealism dan kemurahan hati kaum muda. Dengan demikian Gereja akan selalu mudah dalam Roh. Gereja bertumbuh dengan kuasa Roh Kudus yang memberikan kabar sukacita dan inspirasi untuk melayani dengan sukacita. Bukalah hati kalian bagi kuasa Roh Kudus,” ujar Paus Benediktus XVI di hadapan ribuan orang muda yang datang dari 93 saat itu.

Tanggapan atas seruan Paus di atas, saya mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Mgr. Suharyo dalam beberapa pertanyaan: “Bagaimana orang-orang muda dapat didampingi agar mereka sampai pada pengalaman akan Allah yang mengubah dan memperbarui kehidupan?” Kata Monsinyur, semakin dalam pengalaman seseorang akan Allah maka semakin luas pula medan hidup yang akan dimasuki sebagai perwujudan imannya, baik itu dalam kerasulan di bidang media, politik, budaya dan juga agama.”

Kita melihat Orang Muda Katolik hadir di tengah situasi sosial yang beraneka ragam, baik suku, agama, bahasa maupun budaya. OMK tumbuh dan berkembang di tengah komunitas bangsa yang sedemikian pluralnya, apalagi menyadari dirinya sebagai kelompok minoritas di tengah keberagaman yang ada. Apakah OMK adalah kelompok yang hanyut terlarut dalam dinamika kehidupan sosial yang demikian kompleks? Apakah OMK adalah kelompok yang merasa “minder” lantaran jumlahnya yang kecil itu? Apakah OMK adalah komunitas yang apatis dengan situasi sosial di sekitarnya? Apakah OMK adalah kelompok yang eksklusif di mana ia mengurung diri dan asyik dengan kelompok sendiri? Apakah OMK adalah kelompok yang merasa puas diri dengan segala dinamika religious dan spiritual yang dilakoninya setiap hari?

Atas beragam pertanyaan itu, seruan Mgr. Soegijapranata perlu dibatinkan dalam setiap pribadi sebagai OMK, yaitu menjadi Seratus Persen Indonesia, Seratus Persen Katolik. Ini merupakan jargon yang menyatakan keberpihakan menyangkut Pro Ecclesia et Patria (bagi Gereja dan Negara). Artinya, dalam hidup beragama dan bernegara, OMK perlu menjadi seratus persen beriman Katolik tetapi juga seratus persen membangun dirinya menjadi sungguh-sungguh Warga Negara Indonesia. Di sini OMK dituntut membangun kesadaran penuh agar dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai warga bangsa, identitas kekatolikan pun tidak sirna atau hilang di telan zaman. Sebaliknya, di tengah ancaman zaman dan segala perbedaan yang memungkinkan adanya konflik, OMK bisa tampil dengan menyerukan kasih dan persaudaraan: ikut membangun bangsa, membangun keadaban publik, demi kebaikan bersama, dsb. Konkritnya, kita bisa terlibat dalam pelbagai Gerakan yang baik dari Gereja dan masyarakat sekarang ini di berbagai bidang misalnya: di bidang ekonomi kerakyatan ada Credit Union, di bidang partisipasi politik dan penegak hukum, PMKRI, FMKI, forum politisi Katolik, di bidang kesenian ada forum senimarn-seniwati Katolik yang berusaha mengangkat kembali makna Pancasila, kebhinekaan, NKRI, konstitusi, serta semangat cinta tanah air atau nasionalisme, dan juga melalui lembaga-lembaga Katolik di bidang pendidikan dan Kesehatan. Atau secara pribadi dan bersama juga di lingkup kecil, misalnya RT/RW, kita berperan dengan aktif dalam keprihatinan setempat. Selain itu, kita juga bisa menulis usulan, kritik, saran yang membangun hidup bersama di media massa. Atau bisa juga mengajukan “judicial review” terhadap UU yang kita rasakan tidak adil. Singkat kata, kita melakukan kewajiban dan hak kita sebagai warga negara. Dengan demikian, Gereja dan Negara menjadi wadah resmi dalam mengembangkan iman yang utuh.

Lantas, melalui momen Indonesia Youth Day ke-3 di Keuskupan Palembang, apa yang dapat kamu (OMK) lakukan bersama-sama sebagai wujud peran dalam dunia sosial kemasyarakatan?……

 

Fenan Ngoranmele

Ilustrasi Gambar: Grup 49 dari gabungan Keuskupan se-Indonesia