Oleh: Mila Muzakkar*
–
Finally, tepat di hari Kemerdekaan RI, para perempuan yang bertugas sebagai pasukan Paskibraka betul merasakan kemedekaan. Sebelumnya, mereka hampir saja merayakan kemerdekaan dalam keadaan enggak merdeka, karena dilarang oleh peraturan BPIP. Larangan yang aneh sih sebenarnya, karena enggak ada hubungan antara berjilbab atau tidak dengan menjadi petugas upacara. Bendera kan dinaikkan dengan tangan, bukan dengan rambut. Tapi ya sudahlah, lagi malas ngomongin peraturan-peraturan di negara ini.
Larangan melepas jilbab itu pun dicabut setelah banyak protes dari netizen. Yah, gitu deh. Saat ini, di negara kita memang harus begitu. Mesti diviralkan dulu, baru didengarin. No viral, no justice! Makanya, jangan remehkan fungsi netizen di Indonesia. Tangan mereka ajaib.
Ngomong-ngomong soal jilbab, kayaknya enggak ada matinya di negeri Konoha ini. Jilbab bisa dibicarakan dalam banyak konteks: agama, politik, budaya, komunikasi, juga tren masa kini.
Macam-Macam Alasan Berjilbab
Konon, di Indonesia, jilbab pertama kali dipakai pada abad 17, oleh perempuan bangsawan dari Makassar, Sulawesi Selatan. Lalu melebar ke pulau Jawa, ketika banyak ditiru oleh perempuan Aisyiyah, Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Di Masa orde baru, Soeharto sempat melarag pemakaian jilbab karena dikhawatirkan jilbab dianggap simbol politis- yang dipengaruhi oleh situasi politik Iran dan Mesir kala itu. Sudah bukan rahasia ya, pemerintah orde baru selalu mengendalikan isu agama di ruang publik.
Dalam perkembangannya, alasan orang memakai jilbab bermacam-macam. Sebuah survey di tahun 2014 menyebutkan, 95% responden dari para hijaber mengatakan alasan menggunakan hijab karena agama. Sebagian yang lainnya karena alasan keamanan, kenyamanan, juga alasan politis. Dengan kata lain, kebanyakan perempuan Indonesia yang berjilbab merasa lebih saleh dari mereka yang enggak berjibab.
Selain alasan agama, jilbab juga dibawa ke urusan komunikasi politik. Misalnya, ketika perempuan menjadi Caleg atau ikut Pilkada, mereka akan blusukan ke warga atau tampil di media dengan menggunakan jilbab. Atau, saat pejabat perempuan yang ditangkap karena korupsi, tiba-tiba ia hadir memakai jilbab di persidangan. Mereka beranggapan bahwa dengan bejilbab, masyarakat akan mengaggapnya lebih beragama, sehingga masyarakat akan memberikan suara atau simpati yang lebih. Dan kayaknya, pola komunikasi ini cukup berhasil. Karena banyak masyarakat kelas menengah ke bawah melihat jilbab sebagai simbol kesalehan.
Alasan ketiga, jilbab dipakai karena tren. Sekitar tahun 2010, Dian Pelangi, salah satu penggagas komunitas hijab, bersama teman-temannya membuat Hijaber Communit, dan berhasil mennjadikan jilbab menjadi tren fesyen dunia. Gerakan ini pun diikuti oleh banyak masyarakat Indonesia, termasuk para artis. Banyak artis yang akhirnya mengenakan jilbab, dan menyebut diri mereka telah berhijrah dengan ditandai pemakaian jilbab itu. Saat itu, kata “hijrah” menjadi sangat popular. Hijrah diartikan sebagai perpindahan cara berpakaian dari yang terbuka menjadi tertutup dengan jilbab.
Saat itu, tren jilbab juga diwarnai dengan gairah penulisan buku-buku tentang tutorial berjilbab atau pengalaman “hijrah berjilbab” dari para artis. Masih ingat, waktu itu sekitar tahun 2012, aku sempat diajak oleh salah satu penerbit mayor di Indonesia untuk menuliskan kisah hijrah artis Marshanda. Aku dan pihak penerbit diundang ke rumah Marshanda untuk membicarakan rencana project itu. Selain Marshanda, juga kami mengunjungi rumah Peggy Melati Sukma, untuk tujuan yang sama.
Alasan keempat, business as usual. Kalau dulu, model dan warna jilbab hanya satu-dua macam saja, sekarang buanyak macamnya. Dari model segi empat, segi tiga, ciput, tudung, jilbab langsung, nyambung dengan baju, atau skalian berbentuk topi, juga sudah ada. Yang menjual jilbab pun bukan hanya pedangang di pasar, para artis yang sudah lebih dulu berjilbab pun berlomba-lomba menjadi penjual jilbab, gamis, lengkap dengan aksesorisnya.Dari buka toko, sampai jualan live di Tiktok. Mereka sadar betul dengan perkembangan gairah berjilbab di Indnonesia, karena itu mereka menggunakan pengaruhnya sebagai artis untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Menurut data, tahun 2018, keuntungan industri jilbab mencapai 15 milyar. Tahun 2014, nilai ekspor pakaian muslim dari Indonesia mencapai AS$7,18 milyar. Ini menempatkan Indonesia di urutan ketiga terbesar di dunia setelah Bangladesh dan Turki.
Alasan kelima, berjilbab untuk menutupi kepala dan rambut dari matahari, polusi kendaraan, atau rintik hujan. Semacam pengganti payung, tapi enggak serepot membawa payung.
Berjilbab atau Tidak, yang Penting Merdeka
Apa pun alasan perempuan untuk berjilbab, buat aku sih enggak masalah. Yang penting ia menggunakannya dengan dengan merdeka. Merdeka itu maksudnya, dengan kesadaran dan kemauan penuh, bukan karena dipaksa oleh siapa pun atau situasi apa pun, juga enggak keliru dalam memaknai pemakaian jilbab.
Beberapa perempuan menggunakan jilbab karena dipaksa oleh orang tua, suami, peraturan di lembaga pendidikan, tuntutan pekerjaan, atau terpaksa mengikuti tradisi dalam masyarakat tertentu.
Ada juga tipe masyarakat, termasuk perempuan sendiri, yang memaksakan jilbab kepada perempuan lainnya. Mereka mengaggap yang enggak berjilbab berarti enggak saleha dan enggak Islam banget. Lebih jauh lagi, mereka yang enggak berjilbab dianggap kafir dan pasti masuk neraka, karena katanya, jilbab adalah kewajiban bagi perempuan Islam.
Karena pandangan itu juga, beberapa perempuan berjilbab yang memilih melepas jilbab, akhirnya dihujat. Apalagi kalau perempuan itu adalah orang terkenal, misalnya anaknya Ridwal kamil saat itu, habis deh dinyinyirin netizen.
Itu yang aku maksud dengan keliru memaknai pemakaian jilbab. Sering banget kita lupa, pakaian itu enggak menentukan pola pikir, sikap, dan perbuatan seseorang. Terkadang, pakaian itu yah hanya sekedar pakaian saja, karena suka, atau karena yang tersedia itu saja. Banyak yang berjibab besar, bahkan bercadar tapi membunuh banyak orang dengan bom bunuh diri. Juga banyak yang berpakaian you can see, bikini, tapi punya lembaga amal yang membantu banyang orang miskin. Sebaliknya pun terjadi, yang enggak berjilbab banyak yang jahat, yang berjilbab banyak yang baik. Jadi, natural aja itu dalam hidup.
Merdeka berjilbab artinya setiap orang bebas menggunakan jilbab dengan alasan apa pun dan model apa pun, tanpa menjadi penghalang mereka untuk berkembang, juga tanpa ada intensi untuk menganggap diri “paling benar”, lalu menyalahkan mereka yang enggak berjilbab. Sebaliknya, mereka yang memilih enggak berjilbab pun merasa merdeka dengan pilihannya, tanpa ada ketakutan untuk merasa berdosa, dinyinyirin, dihakimi, atau dihalangi untuk berkembang oleh siapa pun. That’s it! Sesimpel itu!
Semoga makin banyak orang yang merdeka ya, sejak dalam pikiran sampai perbuatannya. Selamat Merdeka Indonesia…
*Penulis adalah Founder Generasi Literat & Founder Kelas Perempuan Muda Tangguh