Oleh: Andi Naja Fpp Malloeserang
–
Setiap Lebaran, biasanya warga Nusantara memiliki tradisi ziarah unik turun temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi itu kita sebut dengan nyekar, yaitu menabur bunga ke kuburan orang-orang tua yang telah meninggal, dan mendoakan mereka.
Sebagian yang mengaku muslim berpendapat bahwa itu adalah bid’ah dholalah finnar, tradisi sesat yang dapat menjerumuskan ke dalam neraka.
Namun saya berpendapat lain. Nyekar adalah sebuah tradisi kearifan Lokal yang memiliki ushul dalam Islam, dan sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam tradisi nyekar, kita menaburkan bunga pada kubur orang tua atau saudara yang telah meninggal. Menghornati kuburan dan menziarahi mereka adalah sunnah, tidak boleh ada yang mempermasalahkannya. Demikian pula dengan media berupa kembang, itupun bukan termasuk benda-benda najis, haram ataupun yang dilarang oleh agama.
Falsafah Bunga
Sebagian muslimin yang alergi terhadap tradisi nyekar ini biasanya beralasan, bahwa ahli kubur tidak membutuhkan bunga, yang mereka butuhkan adalah doa.
Pendapat ini ada benarnya, tetapi bukankah kita masih membutuhkan bunga sebagai estetika yang indah dipandang ? Bahkan, bukankah budaya kita kerap menggunakan bahasa simbol dalam berkomunikasi antar sesama, alam semesta, dan Tuhan.
Simbol Bunga melambangkan keharuman, keindahan, ataupun keharuman. Bunga pun melambangkan proses regenerasi, penyerbukan, akhir yang merupakan kehidupan awal yang baru. Sebagaimana serbuk sari pada bunga yang akan hidup sebagai tumbuhan dengan akar yang baru. Bunga pun sering dijadikan perlambang cinta dan pemghargaan.
Dalam budaya masyarakat nusantara pada umumnya, masyarakat Nusantara kerap berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan mereka dengan berbagai simbol-simbol.
Memang barangkali mereka tidak butuh bunga, air dan hal-hal fisik material lainnya, tetapi bukankah mereka masih dapat berkomunikasi dengan kita ? Dengan Bunga, kita menyampaikan pesan pada mereka, bahwa kita menghargai, mencintai dan seolah mengatakan pada mereka, bahwa segala hal tentang mereka masih tumbuh dalam kenangan indah. Jasa mereka selalu harum dalam memori fikiran kita.
Bunga kerap digunakan sebagai cara untuk mengungkapkan pertumbuhan rasa cinta, dan penghormatan. Dalam tradisi pernikahan misalnya, simbol inipun biasa digunakan. Maka bunga dalam tradisi nyekar melambangkan rasa cinta dan penghormatan kita pada ahli kubur yang kita ziarahi.
Bunga pun mengisyaratkan bahwa walaupun jasad mereka telah tiada, namun harum mereka masih membekas dalam kenangan, dan melambangkan bahwa kenangan tentang mereka masih terukir indah di dalam hati dan fikiran kita.
Membasahi kubur dengan air putih dalam tradisi nyekar melambangkan kesejukan, kesucian, kebeningan hati, kehidupan dan berbagai makna lainnya.
Bukankah Nabi sendiri pun pernah menggunakan simbol visualisasi air dalam doa iftitah mereka yang sering membid’ahkan nyekar ? Allahumma naqini min khotho yaa kamaa yunaqol tsaubu abyadhu minaddanas. Allahumma nakini min khatayaa, bilmaa i watsalji wal barodi yang artinya: Ya Allah. Sucikan kesalahanku dari kotoran, sebagaiamana dicucinya pakaian putih dari kotoran, sucikan pula aku dengan air, salju dan embun.
Imam Ja’far Shadiq dalam kitab Mafatihul Jinan pun menganjurkan untuk menggunakan media bunga untuk mandi di malam Jumat atau mencuci muka untuk membersihkan tubuh dan menyegarkan jiwa.
Dalam beberapa metode spiritual healing pun, bunga dan air biasa digunakan untuk meruwat atau membersihkan aura negatif yang ada dalam diri seseorang. Dalam tradisi nyekar, energi positif dari air dan bunga akan meningkatkan aura positif yang bersifat menenangkan dan menumbuhkan rasa kasih sesama makhluk.
Salam rahayu 🙏