Politik dinasti. Kata ini muncul di banyak diskusi belakangan ini. Penguasa Indonesia tidak siap mengakhiri masa berkuasanya. Kini, anak dan keluarganya ditempelkan ke berbagai posisi kekuasaan, walaupun mereka korup dan tak punya kemampuan.
Politik dinasti erat dengan sejarah Indonesia. Karena bagian dari keluarga penguasa, orang mendapat banyak kemudahan. Tak ada kemampuan nyata. Hanya ia kebetulan lahir dari rahim dan penis sang penguasa.
Apa hakekat dari politik dinasti? Inilah pertanyaan ontologis. Di dalam filsafat, ontologi adalah filsafat yang pertama dan terdalam. Ontologi menanyakan soal hakekat terdalam dari sesuatu, maupun segalanya.
Dalam arti ini, ontologi terkait dengan psikologi, yakni dorongan batin penguasa untuk terus berkuasa. Hakekat kenyataan adalah kesadaran yang bersifat impersonal. Ini terhubung langsung dengan keadaan batin manusia yang juga memiliki kesadaran. Maka, berbicara ontologi tak bisa dipisahkan dari wacana psikologi.
Ada empat ciri ontologis dari politik dinasti. Pertama, politik dinasti berakar pada ketakutan akan terlupakan. Sang penguasa takut lenyap dari sejarah. Ia takut, dirinya tak lagi diperhitungkan oleh penguasa selanjutnya, dan oleh masyarakat luas.
Akar dari politik dinasti adalah sikap pengecut. Orang tak paham tentang hakekat diri manusia. Sang penguasa tak siap melepaskan kursi kekuasaan. Sejatinya, ia adalah manusia kerdil yang tak memiliki pengetahuan.
Dua, politik dinasti berakar pada kerakusan yang tak tertahankan. Sang penguasa tak puas dengan kekuasaan, dan ingin terus merengkuhnya. Ia kehilangan akal sehat dan kejernihan nurani. Karena kebodohan dan sikap pengecut, ia mempermainkan demokrasi, dan merusak kepercayaan masyarakat.
Tiga, politik dinasti berpijak pada arogansi yang melampaui akal budi. Sang penguasa merasa lebih tinggi dari orang lain. Ia merasa berhak mempermainkan politik dan hukum sesuai dengan kehendaknya. Pepatah lama kiranya perlu diingat, arogansi adalah awal dari kehancuran (pride comes before the fall).
Empat, politik dinasti berakar pada sikap takabur. Sang penguasa lupa diri. Ia lupa, bahwa ia adalah pelayan rakyat. Ia merasa menjadi raja yang layak berkuasa lepas dari sikap kritis rakyat.
Jelaslah, tidak ada politik dinasti yang baik untuk kebaikan bersama. Politik dinasti adalah korupsi atas nama keluarga. Apapun bentuknya, ia harus dilawan. Pemerintah demokratis untuk mewujudkan kebaikan bersama tidak bisa berjalan searah dengan politik dinasti.
Bagaimana melawan politik dinasti? Ada empat hal yang bisa dilakukan. Pertama, kritik harus terus diajukan dari seluruh penjuru masyarakat. Teknologi digital memungkinkan pembangunan opini publik secara besar, dan merupakan unsur penting di dalam perlawanan terhadap politik dinasti.
Dua, kritik harus berpijak pada organisasi. Perlawanan harus juga membangun sebentuk organisasi atau aliansi yang luas di masyarakat. Segala bentuk perubahan dan kemajuan di dalam masyarakat hanya dapat terjadi melalui pembentukan organisasi gerakan yang progresif. Tanpa ini, kritik tidak akan pernah didengar, apalagi membawa perubahan.
Tiga, dukungan internasional kiranya juga penting di sini. Perjuangan melawan politik dinasti tidak cukup hanya dengan gerakan nasional. Tekanan melalui berbagai forum internasional kiranya juga sangat dibutuhkan. Bukti nyatanya adalah revolusi kemerdekaan Indonesia yang maju pesat, setelah mendapatkan dukungan internasional yang luas.
Empat, refleksi atas gerakan kiranya juga perlu dilakukan. Setiap detik langkah yang diambil harus mendapatkan sentuhan reflektif, supaya tidak salah arah. Perang melawan politik dinasti tidak boleh melahirkan krisis baru, apalagi lahirnya dinasti yang baru. Kita harus sungguh belajar dari sejarah manusia, supaya tidak jatuh ke lubang yang sama, apalagi membuat kesalahan yang lebih besar.
Ontologi politik dinasti adalah ketakutan dan kerakusan yang berpijak pada kebodohan. Sudah terlalu sering kita di Indonesia ditipu oleh para penguasa yang bermain dengan pencitraan. Berikutnya, mari kita memilih dengan menggunakan akal sehat dan kejernihan nurani, sambil terus mengingat, tak ada yang sempurna di bawah langit ini,… apalagi di politik.
Fenan Ngoranmele