Sampai hari ini teman teman dekatku di Universitas Cenderawasih (Uncen) dulu masih menyapa aku dengan – pak Let. Pada kemudian hari aku secara sepihak ngeklaim kalau hanya aku yang tamat Uncen dengan menyabet dua gelar sekaligus – Bachelor of Arts dan Letnan.

Awal dari gelar Letnan ini bagaimana rupa bisa diberikan kepadaku? Ikuti kisahnya. Pada masa 1970an ada kegiatan ekstra-kurikuler diantaranya adalah kegiatan Resimen Mahasiswa – MENWA. Utamanya baris berbaris. Walau tinggi badanku 164,5 cm masih tetap pendek dibanding teman seregu. Hasil kurang gizi.

Setiap kali baris berbaris atau dalam barisan upacara, aku sudah pasti menempati juru kunci. Dan aku selalu memilih juru kunci sebelah kanan dari berbanjar tiga. Ada alasan khusus mengapa posisi ini penting. Bahu kanan harus nampak jelas. Dalam strategi bisnis modern – positioning – sangat penting untuk membedakan produk pada jenis produk industri yang sama. Waktu itu aku belum belajar bisnis. Aku melakukannya semata mata dengan insting.

Pada suatu waktu Menwa Uncen diundang untuk mengikuti upara bendera di Jayapura. Pada waktu itu deretan pertokoan hotel Matoa belum ada. Di sana ada lapangan beton luas sampai ke pasar Ampera. Upacara bendera dilaksanakan disini.

Setiap kali ada kegiatan Menwa aku selalu membawa – jimat – kecil yang aku simpan diam diam penuh rahasia dalam saku baju seragam hijau sebelah kiri. Aku kancing kancing baju agar jimat tak terjatuh. Baju seragam yang disetrika – putus patah – alias rapih jali dengan sepatu lars hitam mengkilat kebanyakan semir dan kopel rim dengan hiasan sejenis tembaga digosok sampai memyerupai emas 24 karat pakai braso seperempat kaleng. Pertanda kegiatan Menwa bukan kaleng kaleng. Baret berwarna ungu dan lambangnya tak lupa pula digosok. Kebayang kalau terkena sinar matahari dan bila terpantul, cukup berbahaya karena cahayanya bisa menusuk jauh di kedalaman hati para gadis.

Hari itu setelah upacara selesai seperti biasanya kami menghabiskan waktu berlama lama di Jayapura. Oh iya, kami dari Abepura berjarak seputaran 30an kilometer. Adapun tujuan utama berlama lama karena jarang ke Jayapura gratis. Dan yang paling pertama dan utama adalah disini banyak gadisnya. Tak ada gunanya sudah gagah sebagai Menwa tapi tak ada kesempatan menggoda gadis gadis cantik. Ini pula alasannya mengapa braso habis sekaleng

Sewaktu menunggu pulang ke Abepura, kami berkeliling menjual tampang. Gadis gadis dari berbagai sekolah menengah atas yang mengikuti upacara tadi, rupanya bertujuan sama. Tak ada yang mau cepat cepat pulang. Kami beramai ramai saling berpapasan sambil melirik mencari perhatian disepanjang pertokoan deretan Bank Mandiri sekarang.

Untuk persiapan menjual tampang menggoda gadis, aku mengeluarkan jimat tadi. Sebuah anyaman tali komando merah aku pasangkan di bahu kanan yang sisa talinya aku masukan ke saku kanan kemeja seragamku. Warna merahnya sangat menonjol dengan hijau lumut seragam. Tentu saja menarik perhatian teman teman dan yang paling penting perhatian para gadis. Sesama temanku tersenyum melihat kekonyolanku. Tapi mereka paham perilaku aku yang memang kadang konyol

Beberapa meter dariku ada serombongan gadis yang sedang window shopping. Akupun pura pura window sopping sambil melirik mereka. Ketika mereka berjalan melewati aku, mereka saling berbisik dan bersenggolan. Bersamaan salah seorang temanku berseru dengan suara lantang, “Pak Letnan, jam berarapa kita pulang” Aku menjawab dengan suara tegas dan lantang pula, “Satu jam dari sekarang”

“Itu kan siganteng itu komandan mereka”, terdengar seorang gadis meyakinkan teman temannya. Mereka gaduh tersenyum saling bersenggolan melirik aku. Aku dalam sekejap membusungkan dadaku tak sadar balik melirik mereka. Jantungku berdetak keras gembira, “Berhasil !”, teriakku dalam hati

Sejak itulah aku terus dipanggil dengan nama – Pak Let sampai hari ini.

Diangkat dari Malam Sakura – Kisah Remaja dan Persahabatan – A Memoir

 

Alex Runggeary