Pepatah bahasa Latin itu, “Devide et impera (pecahbelahkanlah dan kuasailah)” diterapkan secara langsung oleh pemerintah Belanda ketika harus menjajah Indonesia yang jauh lebih luas wilayahnya daripada negara penjajah itu. Maka pada tahun 1854 Belanda mengeluarkan UU kolonial, untuk memisahkan masyarakat berdasarkan ras, yakni: (1) European atau orang-orang eropa/kulit putih (2) Vremde Oosteringen atau orang-orang timur asing turunan cina, arab, india, dan non eropa lainnya (3) Inlander  atau pribumi, yang identik dengan suku-suku asli Indonesia.

Pada Konferensi Meja Bundar thn 1949, Belanda berusaha tetap menguasai Papua dengan argumentasi bahwa Papua tidak termasuk Indonesia karena adanya perbedaan etnis atau ras. Argumentasi ini kemudian otomatis gugur karena bertentangan dengan hukum internasional.

Tidak banyak orang Papua yang tahu bahwa dalam sidang BPUPKI 14 juli 1945 para founding fathers Indonesia telah menyatakan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia yang akan segera menyatakan kemerdekaannya. Dalam risalah sidang BPUPKI tersebut ditetapkan bahwa wilayah Indonesia adalah “wilayah Hindia Belanda dahulu, ditambah dengan Malaysia, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau di sekitarnya”.

Penetapan wilayah Indonesia ini pada dasarnya dilandasi pandangan geopolitik para founding fathers tentang adanya kesamaan nasib penduduk wilayah tersebut yang jadi jajahan bangsa barat (Belanda, Inggris, Portugis).

Namun Malaya dan Borneo Utara adalah jajahan Inggris dan Timor dijajah Portugis). Berdasarkan konsep hukum “uti posideti iuris” maka berlaku ketentuan suatu negara mewarisi wilayah yang dulu diduduki penjajahnya. Dengan azas tersebut maka yang termasuk wilayah Indonesia adalah bekas jajahan Belanda termasuk Papua. Dengan alasan yang sama maka argumentasi Belanda tentang perbedaan ras/etnis Papua pada Konferensi Meja Bundar gugur karena tidak sesuai hukum internasional.

Jika diperhatikan dengan teliti aspirasi Papua untuk merdeka sudah diakomodir dalam sidang BPUPKI, jauh sebelum Belanda mengeluarkan manifesto (pernyataan sikap) untuk membentuk Negara Papua Barat, pada tanggal 1 Desember 1961. Perlu ditegaskan, Operasi Trikora (19/12/1961 – 15/8/1962) yang digagas oleh Presiden Soekarno, bukan perang antara Indonesia dengan rakyat Papua, tetapi antara Indonesia dengan Belanda. Demi menghindari korban di pihaknya Belanda membentuk pasukan pemuda/i Papua bernama “Papuan Volunteers Corps” atau ” Dutch Papoean Vrijwilinger Korps” untuk bertempur melawan Indonesia.

Tak hanya menggunakan pemuda-pemuda Papua sebagai perisai melawan tentara Indonesia. Belanda juga sebenarnya “mengkhianati” rakyat Papua, ketika Belanda menandatangani “New York Agreement” pada tanggal 18/8/1962, ketika Papua Barat diserahkan ke PBB. Seharusnya yang tandatangan New York Agreement bukanlah Belanda tetapi perwakilan masyarakat Papua Barat.

Saat ini berbagai upaya agar Papua lepas dari NKRI diperjuangkan oleh United Liberation Movement for West Papua(ULMWP), kelompok yang mayoritas anggotanya berdomisili di luar negeri. Sayang sekali strategi sentimen etnis masih juga dipergunakan. Untuk menciptakan jarak antara suku asli Papua dengan suku-suku asli Indonesia, jargon yang sering dipakai adalah “Asal Melanesia, bukan Indonesia”.

Saat ini kaum terpelajar di Papua sudah sangat banyak jumlahnya. Artinya di Papua saat ini ada banyak orang-orang kritis yang mampu menilai setiap gerakan dari kelompok manapun. Apakah perjuangan mereka murni untuk kebaikan rakyat Papua? Atau hanya untuk mencari keuntungan dan kepentingan pribadi? Biarlah publik Papua yang menilai.

UU N0 2 tahun 2021 tentang Otonomi Papua sesungguhnya telah memberikan landasan yuridis yang kokoh bagi Pemerintahan Daerah Papua membangun Papua sedemikian, sehingga mampu menikmati kemerdekaan dalam segala aspek sebagai bangsa Indonesia.

Kendalanya adalah pada implementasi kebijakan pembangunan yang belum maksimal dan berpihak pada kepentingan rakyat Papua. Para pegiat LSM sering mengkritik oknum oknum tertentu pejabat daerah, yang seringkali lebih mementingkan hal-hal seremonial demi mengamankan jabatannya, daripada hal-hal substansial tentang berbagai persoalan rakyat.

 

Fery Bataona