Aku memulai tulisan ini dengan percakapan bersama salah satu anakku. Dia berkata, “Jika baru dua hari jadi mahasiswa dan mendadak jadi rektor, itu jelas tidak masuk di akal.” Atau ada lagi komentar singkat salah satu dari mereka. “Mah, etika dilanggar. Mengapa proses bisa berjalan terus, ya?” Lalu hari-hari berlanjut pada beberapa percakapan tentang perlunya semangat bekerja keras untuk mencapai tujuan, perlunya berlaku jujur, perlunya memilih sesuatu berdasarkan prinsip dan banyak hal lainnya.
Pemilu 2024 ternyata memang “bukan semata” proses pemilu. “Bukan semata” inilah yang hingga sekarang masih menjadi perbincangan hangat hingga keras di negeri ini. Perbincangan tersebut tidak hanya menjadi privilese para politisi atau pun “politikus”. Ia juga masuk ke ruang-ruang akademik, publik, komunitas hingga kamar-kamar pribadi keluarga — persis yang terjadi padaku dan anak-anak. Dinamika ini juga tampil dalam berbagai bentuk: berita atau tulisan di media massa, unggahan di media sosial, survei dari berbagai lembaga, demonstrasi dan berbagai hal lainnya.
Wacana hiruk-pikuk hingga centang-perenang seputar Pemilu 2024, yang tentunya tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan demokrasi kita, bagi sebagian orang berakhir pada hitungan kalah menang. Ada juga yang melihatnya sebagai rutinitas lima tahunan. Namun bagiku Pemilu 2024 dan proses-prosesnya lebih dari sekedar siapa yang akan memimpin bangsa ini untuk lima tahun mendatang. Ini lebih jauh menyangkut imajinasi manisku tentang Indonesia mendatang.
Apa yang ada dalam pikiranku? Imajinasiku adalah tentang bangsa yang bermartabat, adil dan makmur. Tentang masih adanya kearifan dan keluhuran bangsa sebagai pijakan bersama. Tentang pemimpin yang mampu mengayomi dan mengabdi pada negeri; Tentang rakyat yang saling asih dan asuh; Tentang kekayaan negeri yang menjadi berkah dan dikelola secara bijak serta lestari; Tentang orang tua yang memiliki harapan akan anak-cucunya; Tentang anak-anak yang punya masa depan gemilang.
Utopia? Aku teringat pada percakapanku dengan seorang supir online yang mengantarkanku ke Bandara Soekarno-Hatta, pada Jumat, 23 Februari 2024. Namanya Taufik. Pria berusia 44 tahun ini selama satu setengah jam bertutur. Ia memulai ceritanya tentang beras, yang memang sedang mengalami kenaikan drastis belakangan ini. Bagi Taufik dan keluarganya, dan bisa jadi bagi seantero negeri, beras bukan sesuatu yang main-main. Bulir-bulir putih ini menjadi penyangga perut mayoritas rakyat Indonesia. Maka gejolak harga beras sudah pasti menambah berat hidup Taufik dan banyak orang lainnya.
Apakah Taufik mendapat bantuan sosial (bansos) beras, yang dalam masa-masa jelang Pemilu ini menjadi salah satu trending topic? Ia menoleh ke arahku sejenak dan menanyakan apakah memang ada pembagian beras.
“Kalau yang sedang ramai di TV itu saya tidak dapat, Bu.” Tapi Taufik mengakui bahwa dia mendapat bantuan pada Januari lalu. Bantuan itu bukan beras, tapi uang tiga ratus ribu rupiah. Uang itu cukup untuk membeli beras, yang habis dikonsumsi dalam waktu tiga minggu. Dia mengaku akan mendapat lagi bansos serupa pada bulan April mendatang.
Uang beras itu memang patut habis dalam tiga minggu. Hanya untuk beras. Tidak yang lain. Ini tidak mengherankan karena ternyata Taufik memiliki tiga anak, yang semua masih duduk di sekolah dasar.
Taufik lanjut bercerita tentang keinginannya. Dia punya harapan agar anaknya bisa bersekolah terus meski ekonominya, diakuinya, pas-pasan. Memang ada beberapa keringanan untuk sekolah anak. Tapi tetap baginya masih ada hal-hal yang harus dikeluarkan untuk membiayai sekolah anak. “Paling tidak anak saya bisa sampai SMA, Bu. Kasihan mereka. Saya khawatir dengan anak-anak saya. Jadi apa mereka jika tidak bersekolah.”
Aku terdiam mendengarkan. Taufik melanjutkan lagi bercerita tentang kesehatan. Ia bersyukur mendapatkan BPJS gratis per bulan. Jika sakit ringan, ia dan keluarga cukup berobat ke Puskesmas terdekat. “Tapi untuk sakit berat apa bisa ya, Bu?” Belum sempat aku menjawab, ia sudah lanjut bercerita tentang beberapa tetangganya, yang mengalami tantangan untuk mengurus BPJS saat mereka mengalami sakit berat. Dan menurut ceritanya tak semudah yang dikatakan orang untuk mendapatkan pelayanan BPJS untuk sakit berat tertentu. Aku tidak ingin membantah atau mendebatnya. Aku memilih untuk diam mendengar dan menunjukkan rasa empati.
“Jadi orang tidak mampu, susah, Bu.”
Namun Taufik tetap bersyukur ada orang baik hati, yang mau meminjamkan mobil yang terhitung sederhana, sehingga Taufik bisa menjadi supir online. Tapi tentu saja ada kesepakatan pembagian dari setiap sen yang diperoleh pria asli Betawi ini.
Mendekati bandara, Taufik bertanya siapa presiden pilihanku. Ada apa dengan presiden? Aku balik bertanya. Taufik diam sejenak dan malah mengucapkan sesuatu yang membuatku terhenyak.
“Di Undang-Undang Dasar seingat saya dulu ada kata-kata fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Saya kan miskin ya, Bu. Saya ada dibantu tapi jauh dari cukup. Lalu saya ingat ada juga kata-kata negara menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi saya seumur hidup masih susah cari kerjaan. Hidup saya masih begini-begini saja.”
Aku tercenung akan gugatan pengemudi online ini. Tidak mungkin aku menjelaskan kemajuan dan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah, sementara ia, juga kawan-kawannya, punya pengalaman dan perjumpaan yang berbeda tentang negeri ini.
“Saya mau pemimpin yang baik, Bu.”
“Ya Pak. Itu harapan kita semua,” jawabku “seadanya”. Bisa jadi jawaban itulah yang tepat untuk merespons kegundahannya.
Perbincangan dengan anak-anakku tentang negeri ini sudah cukup membekas di hati. Kini diperkuat lagi oleh gugatan rakyat kalangan tertentu, yang diwakili oleh Taufik.
Maka jelas, negeri ini perlu pemimpin yang baik, adil, jujur cerdas dan bersungguh-sungguh. Yang betul-betul bisa dan mau bekerja untuk seluruh rakyat Indonesia; Yang tidak menghamba pada oligarki; Yang mencurahkan baktinya untuk negeri.
Semoga negeri ini bisa mendapat pimpinan baru yang bisa memenuhi harapan rakyat dan negeri; Yang menggunakan daulat rakyat dan kuasanya untuk kepentingan bangsa dan negara; Yang menunjukkan karakter sebagai pemimpin yang sebaik-baik, sebenar-benar dan sesungguhnya.
“Kekuasaan benar-benar merupakan ujian karakter. Di tangan orang yang berintegritas, ia sangat bermanfaat. Di tangan seorang tiran, ia menyebabkan kehancuran yang mengerikan.” (John C. Maxwell).
Swary Utami Dewi