Agak lucu jika berpuluh-puluh tahun Blok Bula dan blok-blok lain di Provinsi Maluku pemilik sumber daya alam justeru memperoleh ranking 4 kategori provinsi termiskin, demikian Engelina Pattiasina menjelaskan.
Sejatinya kekayaan alam dimaksud, digunakan untuk kesejahteraan rakyat Maluku bukan dibawa ke luar wilayah Maluku dan pemilik sumber daya alam menjadi miskin, tegas Engelina Pattiasina.
Dua pekan ini, media online pada ramai memberitakan PI 10% Blok Masela yang home base-nya ditetapkan Presiden Jokowi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Berbagai regulasi sejak UU Migas 2001 turunan regulasi sampai pada Permen ESDM No 37/2016 menjadi dasar polemik antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Pemrov Maluku.
Kabarnya, merujuk pada Permen ESDM maka Gubernur Maluku menegaskan PI Blok Masela Harus Dikelola Pemprov Maluku, sedangkan Rakyat Tanimbar melalui wakilnya di DPRD dan Bupati menyepakati 6,5 % PI menjadi hak Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan MBD yang berdampak langsung kehadiran Blok Masela.
Pertanyaan rakyat Tanimbar, mengapa PI Blok Masela menjadi rebutan Provinsi Maluku, sedangkan Blok Bula dan Blok lain yang tersebar di Maluku, Pemprov Maluku tidak peduli? Apakah kontribusi terlalu kecil atau memang tidak ada sama sekali, seperti apa yang disampaikan Engelina Pattiasina?
Pertanyaan berikut adalah, mengapa Gubernur Maluku ngotot untuk sepenuhnya ditangani Perusahaan Daerah di Provinsi?
Tidakkah memiliki sense of belonging terhadap rakyat Tanimbar dan MBD yang mengalami dampak langsung? Dan layak kah Provinsi Maluku Sepenuhnya mengatur PI 10% tanpa kontribusi saham apa pun sebagai syarat yang diatur melalui Permen ESDM Nomor 37/2016?
Pemprov Maluku, setelah pihak kontraktor mengambil alih kontribusi saham 10% bagaikan kejatuhan durian runtuh, karena tidak susah-susah mencari broker untuk menyuply dana ke INPEX. Tak perlu memikirkan APBD dikuras untuk memenuhi tuntutan regulasi yang pada kenyataannya, setiap tahun anggaran selalu mengalami defisit. Di sinilah terdapat ego yang tidak perlu terjadi.
Hal seperti ini, seyogyanya dihindari demi menjaga rasa keadilan masyarakat terkait pengelolaan sumber daya alam demi kemakmurannya di Maluku agar terhindar dari kemelaratan, ketertinggalan bahkan kalau boleh dihapus dari ranking 4 termiskin.
Win win solution adalah cara terbaik dan bijak pemprov Maluku duduk bersama dua kabupaten terdampak langsung, yaitu Pemda Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Pemda MBD. Saya yakin, akan ada solusi sebelum tanggal 1 April batas waktu yang ditetapkan SKK Migas diberikan kesempatan penawaran oleh Perusahaan Daerah.
Polemik ini akan berakhir jika saling menghormati dalam suasana persaudaraan Satu Maluku demi rakyat Maluku sebagai wujud konstitusi yang menurut Engelina Pattiasina, keadilan tergambarkan dan terwujud dalam senyum rakyat Maluku.
Paulus Laratmase