Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D: Kontemplasi dan Aksi

@Oleh: Paulus Laratmase, S.Sos.,M.M.

***

Hari itu, kami diberi kuliah oleh Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., D.Min, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogjakarta dengan materi, “Contemplation and Action: Christian and Islamic spirituality in dialogue”.

Kuliah esoteric yang digagas Dr. Budhy Munawar Rachaman, Direktur Pusat Kajian  Filsafat Universitas Paramadinah ini memiliki  mahasiswa yang datang dari berbagai disiplin ilmu dan saya satu-satunya berasal dari Papua yang memiliki pengetahuan minim terkait tema perkuliahan sepanjang tahun dengan berbagai tokoh pemikir pluralisme dari dalam dan luar negeri.

Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., M. Din, mengawali materi perkuliahan dengan mengatakan, “Earth cannot be changed for the better unless the consciousness of individual is changed first. We pledge to increase our awareness by disciplining our mind, by meditation, by prayer, or by positive thinking’ (Parliament of the World’s Religions 1993:2).

“Bumi tidak dapat diubah menjadi lebih baik kecuali kesadaran individu diubah terlebih dahulu. Kami berjanji untuk meningkatkan kesadaran kami dengan mendisiplinkan pikiran kami, dengan meditasi, dengan doa, atau dengan berpikir positif” (Parlemen Agama-agama Dunia 1993: 2). 

Kata-kata kunci matari yang dibawakan Prof. Syafa’atun Almirzah, Ph.D., M.Din, akan menjadi acuan tulisan saya terkait refleksi kritis yang ingin saya sampaikan pada tataran fenomena relasi-relasi sosio-religiositas ke-Indonesiaan kita.

Dasar Pijak  Fenomena Sosial

Prof. Syafa’atun mengatakan, “In today’s increasingly religiously plural social contexts, these words imply not only that a failure to involve pluralism is doing self-marginalisation within our own social contexts. They also indicate that, without some understanding of the faith of our neighbour, the religious person (or community) living in a religiously diverse society cannot even understand oneself (or itself). A person is enriched through the medium of encounter and dialogue. When one ‘shares’ other’s experience, one is challenged to view things as others experience them. Even though we can never understand each other perfectly, we can still understand a great deal about each other.”

Superioritas beragama menjadikan setiap orang tidak mampu membangun relasi sosial, justeru membangun gap sosial sedemikian rupa sehingga keterbukaan pemahaman satu dengan yang lain sulit karena saling menutup diri.

Dialog, dalam hal ini, dialog antaragama mungkin merupakan salah satu masalah agama yang paling menarik dan signifikan di abad ke-20. Mulai dari pembicaraan harian, dari seminar akademik resmi hingga percakapan favorit di kafe. Seperti fenomena lainnya, itu terjadi sebagai konsekuensi dari banyak faktor. Salah satunya, jika bukan yang paling penting, adalah apa yang Gilles Kepel sebut sebagai ‘krisis modernitas’ (Almirzanah 2011: 200; Kepel 1993:191).

Bagi Prof. Syafa’atun, kita belajar bahwa tradisi kita yang beragam berbagi beberapa nilai penting yang sama yang kita semua hargai dalam agama kita sendiri, meskipun diartikulasikan dengan cara yang berbeda. Kami juga menemukan bahwa kami ditantang untuk berbicara tentang identitas agama kami sendiri dalam konteks yang semakin beragam secara agama dalam hal di mana orang lain berada; dalam banyak hal, menghadiri dan menanyakan kepada kita sewaktu kita melakukannya. Ini berarti bahwa apakah kita suka atau tidak untuk menjadi religius hari ini dalam hidup antar-agama, demikian sebuah tantangan sekaligus persoalan bagi eksistensi kita dalam ke-Indonesiaan yang plural.

Dialog Antar Agama

Mengutip konsep John. S. Sunne, Prof. Syafa’atun,  mengatakan, “A person is enriched through the medium of encounter and dialogue. When one ‘shares’ other’s experience, one is challenged to view things as others experience them. Even though we can never understand each other perfectly, we can still understand a great deal about each other. Dialogue is learning of truths obtained by others and coming back with those truths to enrich our own spirituality. John S. Dunne called it, ‘passing over’ from one religion and way of life to other’s religion that probably may not be the same from our own religion. Then, we ‘come back’, enriched by new knowledge and perspectives, not only accommodated and conformed from other religious perspectives but also helpful for developing our own religious perspective (Dunne 1972:xiv).”

Menyeberang jalan dengan atau memasuki ranah dari agama lain tidak berarti bahwa seseorang tenggelam di dalam selamanya dalam agama lain, tidak sadar untuk keluar dan kembali ke agama mereka sendiri. ‘Mewariskan’ dari satu tradisi ke tradisi lain, dari satu cara hidup ke cara hidup lain, perlu dilanjutkan dengan praktik yang disebut ‘kembali’ dengan cakrawala baru ke budaya, cara hidup, dan agama kita sendiri. Ini disebut ‘ziarah spiritual’. Dengan demikian, ‘melewati’ di sini menunjukkan semangat dan keberanian untuk terlibat dalam ziarah spiritual ke agama-agama lain [negeri ajaib] dan untuk ‘kembali’ dari ziarah ke agama kita sendiri [tanah air] dengan interpretasi baru untuk memperkaya agama kita sendiri. “Dialog kreatif juga hanya mungkin jika ada keterbukaan penuh, dan tidak ada asumsi awal bahwa satu wahyu … harus menjadi tolok ukur bagi semua orang lain’ (Macquarrie 1964: 43-44).

Pendekatan terhadap bentuk spiritual agama-agama lain lebih baik daripada hanya membatasi pada pendekatan komparatif terhadap doktrin-doktrin agama lain. Pendekatan pengalaman spiritual dapat menemukan inti hubungan antara berbagai tradisi agama, sedangkan pendekatan komparatif antara berbagai perumusan doktrin sering menemukan hambatan yang muncul dari perbedaan yang tak terlukiskan.

Jika orang memahami dengan tepat banyak cara di mana tradisi iman mereka mentolerir dan bahkan mendorong pemahaman tentang pengalaman iman orang lain yang religius, maka kita akan memajukan konteks untuk diri kita sendiri di mana keragaman dapat ditegaskan dan dirayakan dan di mana pencegahan konflik akan mulai mengurangi perlunya resolusi konflik, demikian Prof. Sya’afatun menegaskan.

Eckhart dan ‘melewati’

Dengan menggunakan teori “passing-over”, Prof. Syafa’atun menegaskan,” Dialog antaragama berdasarkan khotbah Meister Eckhart, dimulai dari “melepaskan” untuk “melewati” ke dalam tradisi spiritual lain dan untuk melihat baik yang lain maupun diri dalam cahaya yang baru. Dalam “passing-over” seseorang tidak hanya sampai pada pemahaman yang lebih baik tentang yang lain, tetapi seseorang bergabung ke dalam pemahaman simpatik yang meningkat dan secara signifikan tak terucapkan tentang imannya sendiri. “Kekuatan reseptif tidak dapat menerima bentuk kecuali kosong dan bebas dari bentuk lain — mata hanya dapat melihat warna karena tidak memiliki warna sendiri.”  (McGinn, 2001:133). Melalui “melepaskan” peserta dialog mampu “menembus” dan diubah oleh kebenaran. Kemudian, mereka akan “kembali” dengan perspektif baru ke dalam tradisi spiritual mereka sendiri karena mereka telah diperkaya dengan bertemu orang lain.

Berbagai interpretasi tentang Maria dan Marta (kehidupan kontemplatif dan kehidupan aktif) (Luk 10:38-42)

Hal menarik bagi saya, Prof Syafa’atun melakukan kajian teologis kekristenan terkait teori passing over dalam cerita alkitab tentang peristiwa perjumpaan Maria dan Marta dengan Yesus. Peristiwa itu dapat dibaca dalam Injil Lukas, 10:38-42.

Para ahli exegese melakukan berbagai interpretasi textual yang mengarah pada makna teologis sampai kehidupan konteplatif yang aktif. Bagi saya, seorang Prof. Syafa’atun mampu mensitesakan berbagai interpretasi itu pada tataran konsep teori passing over. Demikian Prof. Syafa’atun mereduksi Miester Echart dalam Susan Racoczy dengan mengatakan:

“According to in the history of Christianity, there are three approaches to this problem. The first is hierarchical, that is, Mary, the pious, prayerful one as the symbol of the contemplative life, is superior to Martha the less spiritual as the symbol of active life. This approach can be seen in the writing of Origen, John Chrysostom, Augustine of Hippo, Gregory the Great, Bernard Clairvaux and in the book of The Claud of Unknowing. The second is also hierarchical, but places Martha, the active life as superior to Mary the contemplative life. This approach is of Meister Eckhart and John Calvin. And the third is that of mixed or integration that both Mary and Martha as one life in one person can be found in the teaching of Aelred of Rievaulx, Thomas Aquinas, Francis Assisi and Teresa of Avila (Racoczy 1998:58–59).”

Dom Cuthbert Butler (1951) bahkan mengatakan bahwa St. Agustinus sangat yakin dalam menegaskan ‘superioritas hidup kontemplatif atas yang aktif’. Meskipun jalan kontemplatif (jalan Maria) luhur, tetapi jalan Marta, yang merupakan jalan aktif, lebih besar. Sementara bagian Maria tidak akan diambil darinya dan tidak meninggal, namun kehendak Marta. Menurut Agustinus, kontemplasi adalah tindakan tertinggi dari jiwa manusia, tetapi tampaknya ia memperlakukan konsiliasi fungsional dari dua kehidupan pada individu. Di akhir ayat tentang Rahel dan Lia, ia menjelaskan dengan jelas bahwa:  Tidaklah pantas bagi orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas gerejawi, atau pemerintahan gerejawi, untuk menarik diri sepenuhnya dari kehidupan aktif untuk menyerahkan dirinya kepada kontemplatif (Butler, 1951:163).

Prof. Syaf’atun setuju dengan konsep Meister Echart dengan menegaskap pandangannya, bahwa  Marta lebih unggul daripada Maria karena dia jauh lebih maju secara rohani daripada Maria dan hanya berusaha membantu saudara perempuannya maju. Marta meminta Yesus agar Maria membantunya ‘karena ia mengasihi Maria dan ingin membuatnya lebih sempurna’ (Caputo 1978: 204). Colledge & McGinn (1981) menyatakan: Marta adalah sejenis jiwa yang di puncak pikiran atau kedalaman tanah tetap bersatu dengan Tuhan secara tidak berubah, tetapi yang terus menyibukkan dirinya dengan perbuatan baik di dunia yang membantu sesamanya dan juga membentuk total keberadaannya lebih dekat dan lebih dekat dengan gambar ilahi (hal. 60).

Simbol Maria dan Marta dalam ajaran Islam

Prof. Syafa’atun mengutip Mohammad Nasr, seorang teolog Islam masa kini dengan mangatakan, “The foundation of Islamic spirituality is the Qur’an, and Mohammed, the prophet of Islam, is the unerring mentor and model, so that he is the authority for all spiritual leadership and instruction in Islam. The prophet’s sirah, sunnah and hadith build the ship that transfer those who seek to the spiritual life over the water of temporal existence to the sand of that land which immerses in the divine presence (ed. Nasr 1987:64).”

Jelaslah, Al-Qur’an menunjukkan ajaran paralel kontemplasi dan tindakan (simbol Maria dan Marta). Al-Qur’an mengatakan bahwa komitmen kepada umat Allah merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari komitmen kepada Allah (Esack 1996:87). Al-Qur’an menghubungkan taqwa dengan kepedulian terhadap orang lain, seperti berbagi, memenuhi janji, dan terutama kebaikan.

Islam menurut Prof. Syaaf’atun,  tidak pernah membiarkan kehidupan kontemplatif dan aktif dipisahkan dan diisolasi. Hidup berdampingan dengan tradisi dari seorang sahabat Nabi yang mengatakan, ‘satu jam meditasi terkadang lebih baik daripada 1 tahun berdoa’ (Suyuti 2016: 2/127), adalah pepatah Arab yang mengatakan, ‘pengetahuan (kontemplasi) dikurangi tindakan dianalogikan dengan pohon yang tidak berbuah’ (Nasr 1978: 195). Secara historis, para sufi yang mulia telah diberi gelar sebagai cendekiawan, seniman, profesor, pendidik dan bahkan pejabat dan penguasa.

Amil Shalih /Melakukan kebenaran

Kewajiban tindakan yang benar adalah di dalam Al-Qur’an, berulang kali muncul bersamaan dengan iman, “Manusia berada dalam kerugian [dalam], kecuali bagi mereka yang beriman, melakukan perbuatan baik …”

Bagi Prof. Syafa’atun, implikasi dari pasangan linguistik ini adalah seperti apa yang ada dalam Surat Yakobus, “Karena sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yakobus 2:26). Oleh karena itu, istilah-istilah seperti perilaku baik (al-iḥsān), pelaku baik (al-uḥsinīn), perbuatan baik (ṣāliḥāt), dan perbuatan baik (khayrāt) ada di mana-mana di seluruh Al-Qur’an: menyembah Allah; Tidak bergabung apa pun dengannya. Bersikaplah baik kepada orang tuamu, kepada kerabat, kepada anak yatim, kepada yang membutuhkan, kepada tetangga yang dekat dan jauh, kepada para pelancong yang membutuhkan, dan kepada budak-budakmu. Tuhan tidak menyukai orang yang sombong dan sombong. (Q 4:36) Tuhan memerintahkan keadilan, berbuat baik, dan kemurahan hati terhadap kerabat dan dia melarang apa yang memalukan, patut disalahkan, dan menindas. Dia mengajar Anda, sehingga Anda dapat memperhatikan (Q 16: 90).

Kata al-iḥsan dan bahasa serumpunnya, sering diterjemahkan sebagai “baik” membawa makna linguistik berperilaku baik dan melakukan perbuatan baik. Pembaca Al-Qur’an diperintahkan dengan kata ini untuk berperilaku baik dengan hampir semua kelompok sosial, termasuk orang asing, musafir, dan budak.

Leksikografer Edward Lane (w. 1837) mencatat bahwa bentuk verbal al-iḥsan “melampaui ‘adl [keadilan] karena itu berarti memberi lebih dari satu hutang, dan mengambil kurang dari yang terutang kepada satu.” (Lane, 1:570). Tersirat dalam bahasa ayat-ayat ini dan beberapa lainnya seperti mereka adalah formulasi positif dari aturan emas, tidak hanya menahan diri dari bahaya atau memenuhi persyaratan minimum keadilan, melainkan secara aktif mempromosikan kebaikan di luar apa yang diperlukan.

Kesimpulan

Di dunia pluralistik, dengan krisis dan kurangnya perdamaian, sebagian disebabkan oleh kegagalan agama untuk berbagi dengan orang lain yang memungkinkan mereka untuk berbicara satu sama lain, belajar dari satu sama lain, bekerja sama, kita menemukan bahwa mistik atau Sufi memiliki pesan untuk itu. Tentu saja, mistikus memiliki pesan mendalam kepada umat manusia dalam perjalanan mereka di dunia. Mereka menunjuk ke jalan sebagai panduan yang sangat baik.

Paparan Prof. Syafa’atun yang luar biasa, mereduksi teologi kristen dalam cerita  Maria dan Marta bukan sebuah cerita paralel Alquran kajian teoretis. Prof. Syafa’atun ingin membagi sebuah makna realitas plural yang jauh dari hiruk-pikuk kaum apatis yang cenderung melakukan pekerjaan tesis-anti tesis. Sebuah sintesa dapat digapai tanpa meninggalkan iman keagmaan kita masing-masing dalam kekayaan adopsi hal-hal positif dalam memperkaya hidup religiositas kita melalui dialog “melepaskan untuk melewati”.

Meister Eckhart, melalui passing over, “melepaskan” untuk “melewati” sebuah landasan bagaimana menciptakan kedamaian hidup berbangsa dan benegara dengan belajar dari para mistikus, sufi yang melampaui kehidupan moderen dengan segala problematikanya.

Demikian pesan Prof. Syafa’atun: Indeed, religions are life expressions of the experience of revelation in a specific historical context. Consequently, they are limited by factors of history, culture, language, and so forth. Dialogue is necessary to transcend this limitation. No expression is ultimately complete and exhaustive, thus, one way to advance in the experience of the fullness is to become more and more enriched by the contributions of complementary expressions.

 

Paulus Laratmase, S.Sos.,M.M

Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia

Email:santalusia8888@gmail.com