Oleh: Gaus Ahmad
–
Belum habis sisa gerimis kau kibaskan di rambutmu yang gondrong
Di antara koridor dan ruang terbuka di resto arabia malam itu
Engkau pamit karena “perutku sudah ringan”, katamu
Setelah sebatang rokok lagi
Tak kusangka itu adalah pertemuan kita yang terakhir.
Di sana ada aktivis Anick HT, Irsyad Muhammad, dan dua sastrawan yang akan mengisi acara malam itu, Agus R. Sardjono dan Jamal D. Rachman
Trisno, sahabatku,
Engkau pergi di penghujung sabtu sunyi, sabbatun sanctum
Ketika dunia mengheningkan cipta
Mengenang kematian Kristus
Dan berjaga-jaga untuk kebangkitan Sang Penebus
Engkau pergi di antara tiga hari suci menjelang Paskah.
Ketika kematian dimaknai sebagai kemenangan
Ketika Kristus meninggalkan dunia
Demi menyelamatkan umat manusia
Trisno, sahabatku
Aku tidak pernah menangis di Hari Paskah
Tapi kali ini aku meneteskan air mata untukmu
Momen Paskah ini mengantarkanmu pada keabadian.
Setelah menempuh jalan penderitaan
Seperti Yesus di tiang Salib
Telur-telur Paskah yang kau bagikan sepanjang hidupmu
Melalui jalan dialog dan perjumpaan
Dengan gayamu yang urakan
Membuatku merasa akrab dengan tradisi kekristenan.
Keyakinan kita sama, walau agama kita beda
Itu pernah diucapkan Gus Dur kepada Romo Mangun Wijaya
Dan itu juga yang menjadi pandanganku dan pandanganmu.
Sampai pada titik di mana kita pada akhirnya merasa tidak perlu lagi argumen-argumen teologis untuk menjalin persahabatan
Bahkan tak jarang kita menertawakan umat dan agama kita sendiri dengan begitu bebas.
Trisno, sahabatku
Aku ingat momen Tadarus Puisi Ramadan dan buka puasa bersama di Resto Al Jazeera 15 Maret 2024 itu
Ketika acara dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Quran
Engkau berkata, ” Ini yang aku suka dari tradisi Islam. Teks-teksnya benar-benar dijaga dari awal sampai sekarang.”
Lalu belasan orang bergantian naik turun panggung membaca puisi.
Saat seseorang mengutip dan melantunkan ayat-ayat Quran di tengah pembacaan puisinya
Engkau tersenyum sambil berkata, “Walaupun aku bukan orang Islam tapi aku tahu ini bacaannya salah.”
Aku tersenyum mengiyakan
Aku tidak kaget karena engkau memang akrab dengan tradisi Islam
Dan punya riwayat pergaulan yang panjang dengan orang-orang pesantren.
Kita sempat bercakap sebentar tentang puisi “Isa” dan “Doa” dari Chairil Anwar
Setelah itu terdengar suaramu menyanyikan lagu Rindu Rasul
Mengikuti alunan musik yang dibawakan pianis kenamaan di atas panggung.
Seorang teman yang duduk di sampingmu berseloroh, “Keren juga ya orang kafir bisa hapal lagu ini.”
Engkau terbahak.
Trisno, sahabatku
Kesediaanmu untuk memberi ceramah Ramadan di acara buka puasa bersama di rumah Ibu Omi Nurcholish Madjid, sudah kusebar di grup-grup WA.
Orang-orang berdatangan untuk mendengarkan tausiyahmu
Namun engkau urung datang karena sakit.
Akhirnya posisimu digantikan oleh Yudi Latif.
Andai waktu itu kau ada, dan kami dapat firasat kau akan pergi
Kami akan menitip salam untuk tokoh-tokoh panutan kita dalam hidup beragama sekaligus berbihneka.
Mereka yang sudah lama pergi memdahului kita
Namun mereka terus dikenang karena jasanya dalam membangun hubungan antar-agama
Seperti engkau juga, semoga.
Trisno, sahabatku
Telur Paskah dan takjil kini menjadi bahasa keakraban
Lihatlah nonis-nonis berburu jajanan buka puasa
Lihatlah orang-orang Islam yang akan memborong telur Paskah
Kini banyak orang beragama dengan rileks
Tidak lagi berminat untuk bertengkar
Atau memasukkan orang lain ke neraka
Engkau pasti punya andil dalam membangun kondisi itu.
Teman kita, Denny JA, menyebut ini sebagai era ketika agama menjadi warisan kultural milik bersama
Tidak lagi dipahami sebagai kebenaran mutlak
Yang bertanggung jawab atas terjadinya aneka kekerasan di sepanjang sejarah.
Trisno, sahabatku
Pergilah dengan gembira dan penuh damai
Tugasmu sudah selesai.
Dengan caramu yang unik, engkau telah menyebarkan risalah kerasulan
Aku tidak tahu kau seorang Kristen yang saleh atau bukan.
Itu wewenang Tuhan untuk menilainya
Tapi aku rasa Tuhan bisa mengerti gayamu yang urakan itu
Atau kau bisa menjelaskannya sendiri di akhirat sana.
Selamat jalan, Trisno
Aku akan mengenangmu sebagai sahabat yang tulus, sederhana, dan selalu tersenyum bahagia
Bukankah itu pula esensi agama?
Doc. Foto