Oleh Deni Kusuma
(Sejarawan Muslim dari Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, UGM, (Yogyakarta)
–
Media sosial atau berita dalam peranannya mesti dapat memberikan nilai edukasi sejak dini, sebagaimana ia adalah wakil berpikir sosial masyarakat yang mesti bersikap adil, sebagaimana kata sastrawan yang sangat fenomenal, Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tetraloginya, Bumi Manusia, mengatakan; “kita mesti adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Bentuk keadilan itu sendiri dalam konteks media sosial sangatlah beragam, termasuk salah satunya adalah merekam jejak yang dapat mengedukasi masyarakat dan mengandung nilai spiritualitas untuk kesejahteraan bathiniyahnya.
Termasuk dalam hal ini adalah narasi tentang masyarakat yang tak melulu bersifat politik atau pun ekonomi, narasi yang bersifat fantasi dan religi tak dapat diabaikan begitu saja. Penulis dalam hal ini memandang cerita fantasi yang baik dan penuh hikmah, atau sematan kesan yang baik di momen yang berharga untuk seorang anak kecil, akan memberikan dampak yang luar biasa hebat pengaruhnya kepada sang anak setelah dewasa nanti.
Demikianlah secara pendekatan psikologi. Oleh karenanya, momentum khitanan salah satu anggota keluarga penulis di Pesantren Sirnarasa pada Senin 27 Januari 2025 yakni Raden Tohar Sirnarasa tak mudah untuk dilewatkan begitu saja. Apalagi khitanan, proses dimana seorang anak kecil muslim telah didesain oleh Dinul Islam untuk menjadi sosok pewaris agama Nabi Ibrohim (millata Ibrohima Hanifa) yang lurus ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama dalam ajaran agama Islam bahwa khitanan adalah salah satu momen yang suci bagi pemeluknya. Tidak ada umat Islam yang tidak disunat bagi kaum laki-laki. Secara maknawi sunatan atau khitanan ini adalah suatu bentuk mengamalkan syariat agama Islam yang diajarkan para nabi terdahulu dan dilestarikan oleh baginda Nabi Muhammad shollallohu a’laihi wasallam serta oleh seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Memang terkesan agak sedikit tega, karena masih kecil dikhitan. Akan tetapi barokahnya akan terasa sampai masa tuanya. Disunat atau dikhitan adalah dipotong sebagian kecil kulit yang menggelawir pada bagian alat vital laki-laki. Bagian kulit kecil yang berbentuk kuncup ini bilamana tidak dipotong sedari kecil maka ia akan menjadi sarang kotoran yang menyimpan sampah air seni. Bau nya pun tidak sedap.
Bayangkanlah bilamana seseorang kencing lalu tidak disiram, maka jejaknya pun akan berbau tidak sedap. Apalagi pada bagian alat vital yang bekas-bekas air seni mengendap di sana. Bukan hanya berbau tidak sedap tetapi juga bisa menjadi sarang penyakit bagi yang tak dikhitan. Den Tohar, yang merupakan adiknya Den Ghulbi ini telah sukses melewati satu fase kehidupan yang paling penting dan sangat esensial dalam episode awal kehidupannya (child episode) karena akan terus tersucikan alat vitalnya dari najis mutawassithoh hingga masa dewasa dan lansianya.
Najis mutawassitoh adalah najis sedang/tidak ringan-tidak berat yang cara membersihkannya cukup dibilas dengan air yang suci dan bersih saja atau dalam terminologi fiqihnya “ma’un thohir muthohir”; “air suci dan dapat mensucikan” (baca: fiqih najasat dan thoharoh). Den Tohar putra bungsu dari pasangan Abi Dadang Muliawan dan Bunda Witrin Noorjustiatini ini mempunyai lima orang kaka yakni Den Ghulbi, Den Bahrain, Den Sai’da dan Den Sholahudin serta Den Raihan. Selamat ya Den Tohar, sesuai dengan namanya yang berarti suci, telah sukses melewati fase terpenting dalam kehidupan ini. Alhamdulillah.