Uskup Jayapura, Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You mengatakan warga sipil di Tanah Papua yang sedang mengungsi karena konflik bersenjata di Tanah Papua hidup dalam penderitaan. Hal itu disampaikan Mgr Yanuarius dalam penyampaian Seruan untuk Perdamaian di Tanah Papua oleh para tokoh bangsa di Jakarta pada Kamis (9/11/2023).
“Mau tidak mau, dalam kondisi konflik bersenjata seperti ini, mau tidak mau warga sipil harus mengungsi. Mereka meninggalkan kampung mereka, lalu pergi ke tempat lain, seperti mereka tidak punya tanah. Hidup mereka terlunta-lunta sampai sekarang di pengungsian,” ujarnya.
Pada Kamis, sejumlah tokoh bangsa berkumpul di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI di Jakarta untuk menyatakan Seruan untuk Perdamaian di Tanah Papua. Seruan itu disampaikan Hj Sinta Nuriyah (Ibu Negara RI tahun 1999 – 2001, Nahdlatul Ulama), Pdt Gomar Gultom (Ketua Umum PGI), Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You (Uskup Jayapura), Mgr Siprianus Hormat (Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia), Marzuki Darusman (Jaksa Agung RI era Presiden KH Abdurrahman Wahid), Alissa Wahid (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), dan Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia).
Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ, Prof Dr Makarim Wibisono MA, dan Prof Dr H Abdul Mu’ti yang tidak menghadiri pembacaan seruan itu juga dinyatakan turut mendukung dan menandatangani Seruan untuk Perdamaian di Tanah Papua.
Mgr Yanuarius mengatakan warga sipil ini harus mengungsi karena konflik yang berkepanjangan. Ia menilai eskalasi konflik bersenjata di berbagai wilayah Tanah Papua terjadi karena pemerintah tidak mau menyelesaikan akar masalah konflik Papua yang telah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lembaga resmi Negara Indonesia yang kini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Keempat akar masalah konflik Papua rumusan LIPI itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta kontroversi sejarah dan status politik wilayah Papua.
“Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini saya tidak melihat langkah itu. Pemerintah memang berusaha untuk membangun Papua dalam segala aspek. Kami akui bahwa pembangunan yang cukup berkembang sampai pelosok di Tanah Papua. Namun justru kekerasan terus berkepanjangan,” kata Mgr Yanuarius.
Hj Sinta Nuriyah mengatakan berulang kali kita mendengar kabar menyedihkan dari Papua bahwa masyarakat harus mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB. Sinta mengatakan persoalan yang terjadi di Papua menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan masalah konflik Papua. “Persoalan Papua sudah berlangsung sekian lama, tetapi apa yang kita lakukan belum menunjukan kemajuan,” ujar Sinta.
Sinta mengatakan keadaan Papua saat ini penting untuk melakukan upaya pendekatan perdamaian. Ia merefleksikan berbagai pendekatan damai yang digunakan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999 – 2001, termasuk mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua pada 2000, mampu meredakan situasi konflik Papua.
“Gus Dur menyadari persoalan Papua tidak bisa [diselesaikan] dengan pendekatan dari atasan kepada bawahan, apalagi pendekatan represif. Bagi Gus Dur persoalan Papua berakar pada martabat dan harga diri orang Papua. Karena itu, Gus Dur mengembalikan nama Papua. Di masa itu, konflik berdarah dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat diminimalisir. Berangkat dari pendekatan Gus Dur tersebut, dan mencermati keadaan Papua saat ini, rasanya penting untuk mengedepankan pendekatan perdamaian yang berlandaskan keadilan,” kata Sinta.
Ibu Negara RI pada 1999 – 2001 itu meminta Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan perdamaian itu dalam menyelesaikan konflik Papua. “Saya mewakili para tokoh agama dan tokoh masyarakat menyerukan agar pemerintah dan pihak terkait dapat mengambil insiatif Jeda Kemanusiaan, menghentikan kekerasan, sehingga kita dapat mengurus warga sipil yang terdampak konflik ini,” ujarnya.
Theo Kelen