Oleh: Swary Utami Dewi
–
“Wapresku Tak Baca Buku”. Itu judul artikel seorang kawan baik, Okky Madasari, beberapa hari lalu. Tulisan ini mengingatku kembali pada cuplikan wawancara terhadap Wakil Presiden (Wapres) Terpilih, yang kurang lebih menyatakan bahwa tak ada tradisi membaca di keluarganya. Soal tradisi baca, tampaknya bukan hanya keluarga tersebut yang tak punya tradisi lekat dengan buku. Hasil survei dari Program of International Student Assessment (PISA) tahun 2019 menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia terbilang rendah, tepatnya di peringkat ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang gemar membaca buku. Data-data lain juga menunjukkan rendahnya minat dan budaya baca rakyat negeri ini.
Melihat fakta “tak baca” ini, aku teringat pada keluargaku sendiri. Berbeda dengan fakta mayoritas, sejak kecil aku terbiasa dengan buku. Ayah dan ibu selalu mendidik anak-anaknya untuk cinta buku. Berbagai ragam pustaka menjadi santapan kami semenjak kecil. Di rumahku, selalu ada perpustakaan kecil dan rak-rak khusus buku.
Kebiasaan cinta buku ini kuturunkan secara “sengaja” kepada anak-anakku. Bukan karena gaya-gayaan, tapi karena aku merasakan masa kecil dan masa remaja yang bahagia karena limpahan buku. Rasa bahagia dengan buku ini yang jelas ingin kubagi dengan anak-anaku.
Sejak bayi, semua anakku terbiasa melihat buku berserakan di mana-mana di rumah. Sejak kecil pula masing-masing punya buku tersendiri. Aku masih ingat ada buku khusus bayi dari kain yang bisa dicuci. Juga ada buku plastik yang aman bagi bayi, yang bisa dibersihkan jika kena tetesan alir liur bayi. Beberapa buku bergambar selalu kuletakkan di samping mereka. Jika mereka berbaring di kereta dorong, aku selalu meletakkan buku yang mereka bisa lihat langsung.
Masuk usia balita, ternyata kesukaan mereka terhadap buku makin melekat. Membaca sudah menjadi kebutuhan. Mereka membaca tanpa perlu dipancing-pancing lagi. Seiring dengan itu, mereka tidak mudah tergoda dengan tayangan televisi, kecuali kartun anak dan film tertentu. Sebaliknya, jika melihat buku, mata mereka langsung berbinar. Jika pulang dari bepergian, aku juga sering membawakan oleh-oleh buku pesanan mereka.
Sesekali, seperti halnya anak-anak lain, mereka juga bersikap “nakal” dan membuatku kesal. Jika aku merasa mereka sudah “terlalu heboh”, aku tinggal mengambil dan “menyita sementara” buku-buku yang sedang mereka baca. Ajaibnya, dalam sekejap mereka berubah begitu manis. Aku pun aku mengembalikan buku-buku tersebut, yang lalu mereka santap kembali dengan bahagia.
Soal tema buku, mereka bisa membaca tema apa pun. Buku teks setebal apa pun juga mampu mereka baca dengan nyaman, sesuai pilihan masing-masing. Aku bersyukur melihat pilihan buku mereka yang bermutu dan tak asal baca. Hobi buku ini membuat mereka juga menyukai perpustakaan dan museum, plus menonton bersama film-film tertentu.
Semua anakku kini mulai beranjak dewasa. Buku tetap jadi bagian hidup mereka. Ini dibarengi dengan kemampuan mereka menulis, yang menurutku lumayan, bahkan kerap di atas rata-rata. Perkembangan teknologi juga mereka ikuti dengan baik. Dan yang membuatku nyaman sekaligus bersyukur adalah adanya daya kritis dan kepekaan mereka terhadap isu-isu sosial.
Pada akhirnya aku ingin mengatakan, jika sang Wapres tak baca buku, dengan cerita ini aku ingin menggambarkan bahwa anak-anakku cinta buku sejak kecil. Dan jelas, cinta buku tak pelak berdampak pada pembentukan karakter seseorang. Maka penting sebenarnya bagi Wapres atau siapa pun untuk cinta pustaka.
23 September 2024