Oleh: Paulus Laratmase)*
–
Hari ini, Selasa 17 Desember 2024, sehari menjelang ulang tahunku, redaksi suaraanaknegerinews.com dikirimi 5 buah puisi dengan judul utama,”Tangisan Kompas Yang Lelah,” karya seorang dosen enerjik bernama Leni Marlina yang juga sebagai Koordinator Liputan suaraanaknegerinews.com wilayah Sumatera.
Naskah utuh Puisi Leni Marlina dengan judul di atas, dapat dibaca: https://suaraanaknegerinews.com/kumpulan-puisi-leni-marlina-padang-tangisan-kompas-yang-lela
Latar Belakang Judul “Tangisan Kompas Yang Lelah”
Saya mencoba meneropong disposisi batin seorang sastrawan Leni Marlina pada saat menuliskan puisi-puisinya setelah membaca secara keseluruhan, ternyata ditulis pada tahun 2003 di Surakarta, dua puluh satu tahun lalu.
Ada tiga kemungkinan bisa ditafsirkan dari judul di atas, kala itu, kemungkina Leni Marlina sedang jauh dari orangtua, merantau ke negeri orang. Ia menuntut ilmu atau sedang melaksanakan tugas untuk waktu yang cukup lama jauh dari orangtua, sanak saudaranya atau gambaran fenomenal rekan-rekan sebayanya yang dituangkan pada judul di atas. Bisa saja sebuah karya fiksi yang merupakan ekspresi dunia fenomenal kehidupan masyarakat di sekitarnya, di Surakarta atau di Padang Sumatera Barat, yang direfleksikan dalam narasi-narasi puisinya.
“Tangisan Kompas yang Lelah,” menggambarkan sebuah perjalanan yang tidak hanya berbicara tentang arah fisik, tetapi juga arah batin. Kompas, sebagai simbol penunjuk arah, tampak tidak lagi mampu memberikan jawaban yang pasti. Jarum kompas yang menari menggambarkan kebimbangan dan ketidakpastian. Ini mencerminkan kondisi batin sang penulis yang berada dalam pencarian yang tiada akhir, sebuah perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Ke mana utara? Sebuah pertanyaan yang sering kali kita tanyakan ketika menghadapi kebingungan dalam hidup, namun kompas itu tetap diam, seolah tak mampu menjawab.
Leni Marlina seolah mencerminkan dirinya sendiri, atau menggambarkan “seandainya sebuah kenyataan hidup sesoerang telah terjadi” dalam angannya saat menulis puisi ini, yang menggenggam kompas bukan untuk menemukan arah, melainkan untuk mengenang perjalanan yang telah dilalui. Kenangan menjadi jauh lebih penting daripada tujuan itu sendiri. Ini menggambarkan perasaan lelah yang mendalam, dimana pencarian arah hidup yang terus-menerus menjadi semakin tidak berarti, namun kenangan akan perjalanan itu menjadi bagian dari diri yang tak terlepaskan.
Sepasang Sepatu Tua yang Setia
Sepasang sepatu tua yang tergambar dalam puisi Leni Marlina, menjadi simbol kenangan hidupnya atau gambaran sebuah pemikiran dan perjalanan panjang yang sudah dilalui. Sepatu yang solnya berlubang dan kulitnya retak menggambarkan keletihan setelah bertahun-tahun menemani langkah sang pemilik. Meskipun sudah usang dan terlupakan, sepatu itu tetap menjadi saksi bisu dari kisah-kisah yang pernah ada. Cinta pada sepatu itu tak pernah aus, meskipun kini mereka hanya diam di sudut ruangan, tak lagi dipakai.
Bagi Leni Marlina, sepatu itu bukan sekadar benda mati. Sepasang Sepatu adalah prajurit kecil yang menemani setiap langkah, siang dan malam. Seperti halnya kehidupan, sepatu ini menjadi saksi dari perjalanan hidup yang penuh perjuangan Leni Marlina. Ada rasa rindu dan penghargaan pada masa lalu, pada kenangan yang telah berlalu, namun tetap menjadi bagian dari diri yang tak bisa dilupakan.
Di Balik Jendela Tua
“Di Balik Jendela Tua” membawa kita pada sebuah penggambaran ruang batin yang penuh dengan kenangan. Jendela yang berembun dengan retakan pada bingkainya melambangkan masa lalu yang sudah lama terkubur, namun tetap meninggalkan jejak. Ketika tangan menyentuhnya, Leni Marlina berusaha menghapus waktu yang terperangkap di sana. Namun, meski demikian, waktu tak akan pernah bisa benar-benar dihapus.
Leni Marlina bertanya, “Apa yang kulihat ini dunia, atau hanya bayangan?” mencerminkan perasaan kebingungannya terhadap kenyataan dan kenangan. Jendela yang pernah menyaksikan langit dan matahari kini hanya bisa mengeluh pelan ketika angin berbisik. Leni Marlina merenung tentang bagaimana kenangan itu tetap ada, meskipun terkubur dalam debu waktu. Begitu pun dengan jendela itu, meskipun kini terabaikan, tetap menjadi saksi dari masa yang sudah lewat, sebuah simbol dari hal-hal yang ia tinggalkan di masa lalu.
Sebuah Luka
“Luka” dalam puisi Leni Marlina, bukan hanya sebuah kondisi fisik, tetapi juga pengalaman emosional yang mendalam. Leni Marlina ingin menggambarkan luka sebagai bagian dari sejarah tubuh, sebuah pengingat dari masa lalu yang tak bisa dihindari. Luka ini tumbuh seperti pohon yang akarnya menjalar ke dalam jiwa, menandakan betapa mendalamnya dampak dari perasaan yang terluka. Meskipun luka itu terasa menyakitkan, ia tetap menjadi bagian dari diri yang membantu kita untuk bertahan.
Leni Marlina ingin memperlihatkan konflik batin antara kebencian terhadap luka dan pemahaman bahwa luka itu adalah pelajaran hidup. Luka bukan hanya menghancurkan, tetapi juga membangun, memberikan pemahaman tentang bertahan dan menghadapinya. Dunia yang penuh retakan adalah dunia yang memberikan ruang bagi cahaya untuk masuk, begitu juga dengan luka yang memberikan ruang bagi pertumbuhan dan penyembuhan.
Sebuah Luka yang Terbawa dalam Tangisan
Puisi terakhir ini menghubungkan air mata dengan hujan, sebuah gambaran yang penuh dengan makna simbolis. Ketika Leni Marlina menangis karena kehilangan, hujan pun menangis untuk bumi yang terluka oleh manusia. Kedua elemen ini—air mata dan hujan—bersatu dalam sebuah genangan di trotoar, menjadi puisi yang tak pernah selesai. Ini menggambarkan bagaimana kehilangan adalah bahasa universal yang kita semua pahami, dan meskipun kita sering kali tak peduli, kehilangan dan kesedihan tetap berjalan berdampingan.
Bagi Leni Marlina, tangisan ini adalah bentuk pengakuan terhadap segala yang hilang, baik itu kenangan, cinta, atau masa lalu. Hujan yang turun dengan cara yang tak dipahami juga menggambarkan ketidakpastian dan kekeliruan dalam hidup, namun pada akhirnya, kesedihan itu menjadi bagian dari puisi yang terus berlanjut, meskipun tidak ada akhir yang pasti.
Kesimpulan
Dalam keseluruhan puisi-puisi dengan judul di atas, kita melihat perjalanan batin yang penuh dengan kebimbangan, kenangan, luka, dan kehilangan. Leni Marlina tidak hanya menceritakan pengalaman fisik atau objek-objek tertentu, tetapi juga mengajak kita untuk merenung tentang perjalanan emosional yang dialami secara fiksi. Kompas yang lelah, sepatu yang setia, jendela yang mengingatkan kita pada masa lalu, dan luka yang mengajarkan kita bertahan, semuanya menjadi bagian dari pencarian yang tak berujung dalam kehidupan ala Leni Marlina.
)*Paulus Laratmase adalah Pimpinan Umum Media suaranaknegerinews.com






