Oleh: Swary Utami Dewi
–
Denny JA baru saja mengeluarkan buku PDF berjudul Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi. Buku ini menyoroti beberapa isu, misalnya sejarah Pertamina, pengaruh Big Oil, dan pergeseran menuju energi hijau. Juga ada fokus pada peran Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai motor eksplorasi nasional.
Namun, gagasan tentang “kemandirian energi” dalam buku tersebut perlu dibaca secara kritis. Indonesia hingga kini tercatat sebagai penghasil emisi karbon nomor enam terbesar di dunia, setelah Tiongkok, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, dan Rusia (Climate Watch 2024; Kompas 2025). Sumber utama emisi Indonesia berasal dari energi berbasis fosil (minyak, gas, dan batubara). Menurut Global Carbon Atlas (2024), emisi karbon Indonesia mencapai sekitar 620 juta ton CO2 per tahun, di mana sebagian besar berasal dari pembakaran batubara dan konsumsi minyak. Upaya untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) masih tertinggal karena ketergantungan besar Indonesia terhadap bahan bakar fosil tadi.
Catatan koran Kompas (2025) mengingatkan bahwa bumi kini berada dalam kondisi darurat iklim. Rata-rata suhu global telah naik 1,3°C dibandingkan masa praindustri. Kondisi ini mendekati ambang batas 1,5°C, yang disepakati dalam Paris Agreement. Dampaknya terasa nyata: cuaca ekstrem, banjir dan badai, krisis pangan, dan kebakaran hutan makin sering terjadi. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap krisis iklim (kenaikan permukaan laut, gelombang panas, longsor, banjir, dan sebagainya). Dalam situasi ini, sekali lagi perlu dicatat bahwa sektor energi, terutama minyak dan batubara, menjadi penyumbang emisi terbesar dan penyebab utama dari ancaman kiamatnya bumi ini.
Inilah tantangan besar bagi energi Indonesia, yakni untuk segera beralih ke energi terbarukan karena setiap waktu adalah momen untuk menyelamatkan kehidupan di bumi dari kehancuran global akibat krisis iklim. Tapi apakah semangat ini tergambar dari arah gerak Pertamina Hulu Energi (PHE) seperti yang tergambar dalam buku Denny JA? Tampaknya masih jauh api dari panggang. Paradigma klasik, yang notabene tertinggal, yang masih dijalankan.
Bahkan, yang tergambar dalam buku ini adalah mimpi besar “fosil” dari Pertamina Hulu Energi (PHE), yakni target 1 Juta Barrel per Day pada 2029 (1M29). Target ini digambarkan sebagai tonggak menuju kemandirian energi Indonesia. Namun, data terbaru menunjukkan tantangan besar di balik ambisi tersebut. Berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas 2024) serta kajian PwC (2025), produksi minyak nasional kini berada di kisaran 580–600 ribu barel per hari, dengan penurunan rata-rata sekitar 2-5 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Artinya, untuk mencapai target satu juta barel per hari pada 2029 merupakan upaya yang tidak mudah. Selain itu, dan inilah yang terpenting, cita-cita PHE itu justru kontradiktif di tengah tren global yang sedang bergerak menjauhi energi berbasis fosil.
Kemudian, ada bagian yang membahas “Bumi yang Terluka”, dengan nada reflektif. Juga ada rencana untuk energi hijau dan sebagainya. Mampukah PHE mewujudkan energi hijau ini? Laporan IESR (2024) mencatat, proyek Carbon Capture and Storage (CCS) yang kerap digadang-gadang masih terbatas pada tahap uji coba dan belum menjadi solusi nyata dalam dekarbonisasi hulu migas. Mungkin ini yang menyebabkan rencana-rencana besar PHE menjadi seperti sindrom “No Action, Talk Only”. Jika pun ada, berjalan lambat dan berliku tantangannya.
Belum lagi politik energi Indonesia yang tak lepas dari pengaruh kuat pihak tertentu demi keuntungan jangka pendek. Apakah faktor ini sudah bisa dikendalikan? PHE tampaknya masih tersandera.
Buku ini juga memuat seruan kebangkitan: “Make Pertamina Great Again.” Tetapi pertanyaannya, kebangkitan macam apa yang dibayangkan? Apakah sekadar peningkatan produksi minyak, atau transformasi menyeluruh menuju energi bersih dan berkeadilan — sesuai dengan tuntutan moral global yang juga menentukan masa depan Indonesia sendiri?
Pada akhirnya, perlu dipahami bahwa kemandirian energi semestinya tidak diartikan sebagai swasembada minyak (plus batubara), melainkan kemampuan bangsa untuk mengendalikan arah transisinya sendiri, yang berpijak pada realitas bahwa bumi sedang dikoyak oleh emisi karbon yang berbahaya. Transisi yang sejati ialah transisi yang menyehatkan bumi. Maka, kemandirian energi berarti berdaulat secara moral dan ekologis, bukan hanya finansial. Ia menuntut keberanian untuk keluar dari kecanduan minyak (dan batubara) yang telah sekian lama meninabobokan Indonesia.
Referensi:
Climate Watch (2024). Country Greenhouse Gas Emissions Data.
Global Carbon Atlas (2024). CO2 Emissions by Country.
JA, Denny (2025). Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi. Cerah Budaya International.
Kementerian ESDM (2025). Statistik Energi Indonesia 2025.
Kompas (2025). “Bumi dalam Bahaya: Darurat Iklim dan Ketimpangan Global.”
SKK Migas (2024). Laporan Kinerja Hulu Migas 2024.






