Oleh Jeffry Wenda | Diterbitkan oleh suaraanaknegerinews.com

(Asli diambil dari akun Facebook penulis: facebook.com/JeffryWenda — Holandia, 22 Oktober 2025)

Pengantar Redaksi

Redaksi suaraanaknegerinews.com (Paulus Laratmase),  memandang tulisan Jeffry Wenda ini sebagai salah satu suara jujur dari hati nurani bangsa Papua di tengah situasi sosial-politik yang terus mencekam. Di saat banyak pihak memilih diam atau sibuk menata posisi dalam lingkaran kekuasaan, Jeffry menulis dengan bahasa luka dan perlawanan, bahasa yang lahir dari kenyataan di tanah yang terus berdarah. Tulisan ini kami muat sepenuhnya sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang bagi suara-suara kritis dari anak negeri sendiri. Di bawah ini, Jeffry menyampaikan pandangannya secara terbuka terhadap sikap sebagian elit Papua yang dinilai kehilangan arah perjuangan dan keberpihakan terhadap rakyatnya sendiri. Dengan nada tajam dan retorika yang menggugah, ia menyoroti kontradiksi antara simbol budaya yang dibakar dan nurani manusia yang perlahan ikut padam.

Yan P. Mandenas:

Tidak ada gunanya Anda ribut tentang bangkai burung Cenderawasih yang dibakar. Sekali lagi, tidak ada gunanya. Apalagi menggunakan dalil hukum, peraturan, atau Undang-Undang Dasar 1945 guna menjerat pelaku atas pembakaran mahkota Cenderawasih, kecuali menjerat mereka yang melakukan gerakan separatis atau makar.

Undang-undang atau peraturan presiden yang dibuat dan berlaku di republik ini hanya untuk melayani kepentingan kelas penguasa dan pemilik modal, bukan untuk rakyat tertindas, rakyat Papua.

Itulah sebabnya, Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) 1967 pertama kali dibuat hanya untuk melayani Freeport milik imperialisme Amerika Serikat, yang kemudian mengorbankan hak politik rakyat Papua pada referendum Papua tahun 1969, yang menurut Indonesia disebut Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969).

Selanjutnya, dibuatnya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) serta berbagai peraturan turunannya berfungsi sebagai payung hukum untuk mengamankan proyek hilirisasi Presiden Jokowi, guna mempermudah investor asing menguasai sumber daya alam.

Guna mengontrol Papua tanpa batas, cara-cara biadab pun dilakukan melalui perubahan kedua Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang terwujud dalam UU No. 2 Tahun 2021. Dalam prosesnya, tidak ada satu pun lembaga terkait, apalagi rakyat Papua  yang dilibatkan. Semua penolakan rakyat dihadapkan dengan polisi, tentara, dan penjara, bahkan hingga ditembak mati.

Sepertinya Anda sulit melihat persoalan di Papua dari dekat, sekalipun kekacauan terjadi di depan mata. Terlebih di wilayah konflik bersenjata yang memiliki persoalan mendesak namun diabaikan. Misalnya:

  1. Dibunuhnya seorang ibu guru di Yahukimo oleh oknum tak dikenal, yang menurut hasil investigasi diduga kuat pelakunya adalah aparat militer (TNI/Polri).
  2. Munculnya pengungsi baru di Bintuni akibat operasi militer (TNI) di wilayah yang memiliki cadangan minyak dan gas alam terbesar.
  3. Kasus pembantaian 15 warga sipil oleh militer (TNI) di Intan Jaya, wilayah yang telah menjadi target pertambangan emas terbesar.

Jika kemampuan Anda hanya sebatas menghafal undang-undang dan mempersoalkan benda mati,  bangkai burung Cenderawasih, serta tampil sok paling paham dengan argumentasi hukum, maka kami memahami sikap itu sebagai upaya “main aman”, seolah-olah Anda paling peduli terhadap apa pun yang terjadi di Papua.

Hari ini, Anda berada di posisi yang paling dekat dengan penguasa, elit oligarki. Anda bisa berada di posisi saat ini tidak terlepas dari hak suara kaum sebangsa Anda sendiri, yang membuat Anda duduk di kursi empuk itu. Walau demikian, Anda bukan pelayan kaummu, melainkan pelayan penguasa Jakarta, yang siap menjadi alas kaki, siap menyerahkan pundak secara sukarela kepada penguasa. Singkatnya: budak penjajah.

Tentunya Anda terlalu nyaman dengan kondisi ini, sehingga bagi kami tidak sulit mengukur sejauh mana keberpihakan dan kesetiaan Anda terhadap saudara-saudaramu, bangsa Papua  yang telah lama menderita akibat kekerasan negara selama puluhan tahun.

Dalam kadar itu, hampir mayoritas kaummu menempatkan Anda sebagai pengkhianat bangsa. Dan tentu bukan hanya Anda yang berdiri gagah di sana sebagai pengkhianat. Masih ada Natalius Pigai, yang akrab disebut “Kaka Pigai” oleh mayoritas rakyat Indonesia yang ia bela sebagai Menteri HAM saat ini, serta Jhon Wempi Wetipo, Ribka Haluk, dan lain-lain, termasuk para kepala daerah di seluruh Papua yang tidak memiliki kemampuan apa pun selain menjilat pantat Jakarta dan sok tampil paling hebat.

Mereka bahkan tidak pernah menyadari siapa diri mereka sebenarnya. Seperti kata kawan Abby Douw, “Monyet akan selalu disebut sebagai monyet, biarpun mereka sudah mandi, menata rambut, dan mengenakan pakaian berlabel merek-merek ternama.” Namun mereka tidak pernah menyadari bahwa di mata penjajah, mereka tetap dianggap monyet.

Jelas, kalian yang saya sebutkan adalah “babu setia penjajah Indonesia”, yang tidak mempunyai kemerdekaan apa pun selain melayani penguasa sambil menjilat, sambil menonton kaummu dibantai.

Itulah sebabnya, ketika kaum sebangsamu dibantai secara membabi buta, tanah adat dirampas, dan hutan dihancurkan, kalian semua diam tanpa kata. Bahkan ketika puluhan ribu rakyat Papua di beberapa wilayah konflik bersenjata mengungsi, kalian hanya bersembunyi di bawah ketiak penguasa seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu, sewaktu-waktu kalian muncul sebagai pahlawan di tengah rakyat Papua yang tercekik akibat penjajahan.

Penutup Redaksi

Tulisan Jeffry Wenda ini mungkin terdengar keras, namun justru di situlah gema kejujurannya. Kata-kata yang lahir dari luka panjang rakyat Papua tak seharusnya ditanggapi dengan amarah, tetapi dengan keberanian untuk bercermin. Kami di suaraanaknegerinews.com percaya, bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutup telinga terhadap kritik, melainkan bangsa yang berani mengakui ketika nurani mulai tumpul.

Kepada para elit Papua di kursi kekuasaan, di ruang rapat, dan di panggung kebanggaan politik: dengarlah jeritan dari tanah yang melahirkanmu. Di balik setiap kebijakan, setiap keheningan, dan setiap tanda tangan yang kalian buat:  ada air mata, ada pengungsian, dan ada nyawa yang menuntut keadilan. Jangan biarkan rakyatmu kehilangan kepercayaan terhadapmu hanya karena engkau terlalu sibuk menjadi “baik” di mata Jakarta, tetapi gagal menjadi benar di mata bangsamu sendiri.

Cenderawasih boleh terbakar, tetapi harapan tidak boleh ikut padam.

© 2025 suaraanaknegerinews.com — redaksi@suaraanaknegerinews.com

Sumber Asli di Facebook