
/1/
Berenang di Air Mata Ibu
Puisi Leni Marlina
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA]
Ibu,
engkau laksana laut,
tapi tak ada pantai di hatimu.
Aku,
perahu kecil yang karam sebelum tiba di dermaga.
Gelombang waktu menelanku.
Aku mencari suaramu di antara riak-riak,
tapi hanya gema perang yang menjawab:
“Laut ini tidak mengenal cinta lagi.”
Ibu,
aku berenang di air matamu,
menyusuri kepedihan yang tak bertepi,
hingga akhirnya aku kelelahan,
berbaring di dasar samudra kenangan.
Ibu,
andai aku bisa mengubah gelombang menjadi puisi,
maka ombak akan mencatat sejarah hidupmu.
Tapi aku hanya seorang anak yang tersesat,
menggenggam angin,
mengulang namamu,
sampai laut pun lupa siapa diriku.
Padang, Sumbar, 2022
/2/
Untukmu Ibu
Puisi Andi Nasri Abduh
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Makassar, Kreator Era AI]
Ibu….!
engkau yang berjuang sepenuh jiwa melahirkanku
engkau yang bertahun-tahun menyusui dan membesarkanku
Ilahi….
Engkau lihat aku telanjang lewat tangan ibu aku berpakaian
Engkau dapati aku lapar, dari keringatnya aku makan
Engkau dapati aku haus, dari air susu ibu kulepaskan dahaga
Rabbi…
Engkau dapati aku lemah
lewat sentuhan cinta ibu aku menjadi tegar
Engkau dapati aku bodoh lewat pena ibu kubelajar membaca
Tuhan …
Ia besarkan aku dengan seluruh kasihnya
Sekarang aku dewasa, sarjana dan pintar
Ibuku membuat kesalahan kecil kumaki ia
Kulupakan kebajikannya yang banyak
Kualpa akan kasih sayangnya
Kuperlihatkan secuil kekeliruannya
Karena aku cerdas kugurui tentang kehidupan
pikirnya karena tamatan sekolah dasar
Ia pun terdiam mendengar
Oh..Tuhan
sungguh durhaka aku
Kukubur selaksa kebaikannya
Kumunculkan kelebihanku sebiji zarrah
Kutanam dosa-dosaku yang memenuhi langit
Kutampakkan kekhilafannya sebutir krikil
Oh…Tuhan dosa apakah ini
Inilah pengakuan anak yang mencari-cari kekurangan
Air mata pun tak terbendung karena insyaf
adakah tangan ibu terbuka untuk maafku
sebelum kutiba pada pengampunan Tuhan
Makassar, 2025
/3/
Pulang ke Pelukan Ibu
Puisi Leni Marlina
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA]
Ibu,
doa-doa itu menempel di reruntuhan,
menjadi debu yang berbisik,
“Kemana engkau pergi, Ibu?”
Langit menghapus bayang tubuhmu.
Aku mengeja wajahmu pada pasir-pasir yang terus berubah arah,
menyusuri jejak waktu yang berlari mundur
ke pelukan terakhir.
Engkau bagaikan pohon zaitun besar yang tumbang dan terbakar.
Daun-daunmu hilang di arus sungai,
rantingmu patah—aku adalah salah satunya.
Kini aku menggenggam abu namamu,
berusaha mengubahnya jadi bunga,
tapi semua bunga mati di tanah ini.
Ibu,
aku ingin pulang ke pelukanmu,
tapi jalanan telah berubah menjadi labirin
dari air mata dan peluru.
Padang, Sumbar, 2022
/4/
Ibu yang Membesarkanmu
Puisi Andi Nasri Abduh
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Makassar, Kreator Era AI]
Ilahi…
sebagian sifat kasih sayang-Mu
Engkau tanam dalam dada seorang ibu
Karenanya ia menyembuhkanku dengan nafas Rahman-Mu
Kutidur di pangkuannya dengan buaian Rahim-Mu
Di malam hari ia terbangun bersimpuh di hadapan-Mu
Agar buah hati sanggup memetik bintang
dan menggendong rembulan
Ketika sang anak sampai pada citanya
Ia lupakan jasa ibunya
Ia dapati usianya di senja hari
Ia titipkan ibu yang mengandungnya di panti jompo
Karena alasan sibuk sebulan sekali buah hati menjenguknya
Mata yang penuh cinta menitikkan air
Jantungnya berdebar, hatinya berguncang
Tangannya yang lembut membelai rambut anaknya
Bibirnya gemetar seolah ingin mengungkapkan
rasa yang tak sanggup ia ucapkan
“Inikah balasanmu anakku?”
Makassar, 2025
/5/
Mencari Wajah Ibu
Puisi Leni Marlina
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA]
Ibu,
langit malam itu pecah—
retakan biru berubah menjadi merah,
dengan suaramu yang hilang di sela ledakan.
Aku memanggil namamu,
tapi hanya angin yang menjawab,
memintaku berhenti berharap,
karena tak ada lagi bintang
yang bisa menggantikan sinar matamu.
Malam melahirkan bom,
dan fajar menenggelamkan tubuhmu
ke dalam puing-puing dunia.
Kini aku menatap langit,
mencari wajahmu di antara awan yang berkabut,
tapi tak ada bayanganmu,
hanya kerinduan yang membakar dadaku.
Ibu,
aku tak ingin membenci langit,
tapi ia telah mencuri segalanya—
pelukanmu, senyummu,
dan doa-doa yang dulu menyelimuti malamku.
Padang, Sumbar, 2022
/6/
Kasih Ibu Sepanjang Waktu
Puisi Andi Nasri Abduh
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Makassar, Kreator Era AI]
Ibu,
kasihmu sepanjang waktu
Mengalir bagai sungai yang tak pernah kering
Meski usiamu sudah senja
engkau tetap tegar merawat kembang di taman
Setiap hari engkau membelainya
dengan siraman air dari tanganmu yang ikhlas
kudapati piaraan tetangga mengacaknya
dengan sabar engkau perbaiki
tak sadar air mataku menetes
sanggupkah aku sepertimu indo’
di dadamu ada jiwa yang tenang
di lubuk hatimu ada sumur spiritual
yang tak pernah kering meski dimusim kemarau amarah
Kembang di taman mulai mekar
Tamu yang datang tiba-tiba berkata
“Inilah bunga yang sejak lama kucari”
Makassar, 2025
*indo’: ibu
————————-
Andi Nasri Abduh merupakan pria kelahiran Ujung Pandang, bekerja sebagai Pustakawan Ahli Pertama dan Pengajar di Universitas Hasanuddin.
/7/
Ibu dan Rumah
Puisi Leni Marlina
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA]
Ibu,
rumah itu terangkat ke udara.
Aku melihatnya melayang seperti mimpi buruk,
hilang di antara asap dan api.
Tiang-tiangnya hancur dalam hitungan detik,
atapnya meleleh menjadi malam tak berujung.
Hanya ada bayangmu yang tinggal,
bersedih di antara reruntuhan,
mengeja doa yang mungkin tak sempat engkau selesaikan.
Aku tinggal di tanah kosong ini,
di mana rumah tak lagi memiliki alamat.
Langkahku tersesat
di labirin kenangan yang engkau tinggalkan.
Ibu,
bisakah aku membangun rumah baru dari bayangmu?
Atau haruskah aku menunggu di sini,
hingga pelukanmu kembali dari udara
dan membawaku pulang?
Padang, Sumbar, 2022
/8/
Ibu, Tanah yang Lupa Bagaimana Caranya Retak
Puisi Leni Marlina
[PPIPM-Indonesia, Poetry-Pen IC, Satu Pena Sumbar, Kreator Era AI, FSM, ACC SHILA]
Ibu, engkau tanah yang dipukul ribuan langkah,
dipanggang matahari, dihujani musim,
namun tak pernah pecah menjadi debu.
Lidahmu menelan garam kelelahan,
tulangmu mengunyah tahun-tahun panjang,
tapi engkau tetap berdiri,
menjadi pohon yang tak goyah meski angin mencabut akar.
Kami datang kepadamu dengan tangan penuh tuntutan,
meminta hangat, meminta peluk,
meminta engkau tak pernah merasa lelah.
Dan engkau tersenyum,
meski dalam tubuhmu ada retakan-retakan kecil,
yang kau sembunyikan agar kami tak tahu
betapa sakitnya menjadi tanah yang lupa
bagaimana caranya retak.
Padang, Sumbar, 2022
—————————————–
Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina tahun 2022. Puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2025.
Leni juga merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.
Leni juga mendirikan dan memimpin komunitas digital / kegiatan lainnya yang berfokus pada bahasa, sastra, literasi, dan sosial, di antaranya:
1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community
3. PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat), the Poetry Community of Indonesian Society’s Inspirations: https://shorturl.at/2eTSB; https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia):
https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community
6. Literature Talk Community
7. Translation Practice Community
8. English Languange Learning, Literacy, Literary Community (EL4C)





