Oleh Paschal Tethool  

Merauke – suaraanaknegerinews.com| “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin-lilin kecil.” Ungkapan sederhana ini terasa sangat tepat menggambarkan semangat warga SMP Negeri Buti Merauke, Papua Selatan. Sekolah yang berdiri di pinggir Pantai Lampu Satu, sekitar enam kilometer dari pusat Kota Merauke ini, dikategorikan sebagai sekolah di kawasan pinggiran. Murid-muridnya sebagian besar merupakan anak-anak putra daerah dari suku Malind Buti, disamping juga ada siswa yang berasal dari Asmat, Makassar, Maluku, dan Jawa. Karena letaknya di pinggiran kota dan penuh keterbatasan, sekolah ini kerap dipandang remeh dan kurang diminati. Namun siapa sangka, dari tempat sederhana inilah lahir semangat luar biasa untuk menembus keterbatasan.

Sekitar sepuluh tahun terakhir, SMPN Buti mulai berbenah diri. Meski masih bergulat dengan keterbatasan sarana dan prasarana, kekurangan tenaga pengajar, ketiadaan pagar sekolah, serta persoalan klasik seperti kenakalan remaja, kebiasaan bolos, hingga banyak siswa yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung, semangat perubahan tidak padam. Kepala Sekolah bersama para guru melakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan akar masalah, lalu merumuskan berbagai terobosan demi meningkatkan kualitas layanan pendidikan.

Dengan mengusung motto “Ad Omne Opus Bonum Semper Paratus” yang berarti selalu siap untuk semua perbuatan baik, seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, para guru, staf tata usaha, siswa, hingga orangtua, bergerak bersama menciptakan iklim sekolah yang nyaman dan humanis. Gerakan perubahan itu dimulai dari hal sederhana: membiasakan budaya bersih, membuang sampah pada tempatnya, membuat taman dan kebun sekolah, mendirikan kantin kejujuran, serta melaksanakan apel pagi dan sore secara rutin. Mereka juga menyiapkan makanan bagi siswa, membagi rapor langsung di rumah, serta mendorong kegiatan olahraga, pramuka, dan seni budaya. Semua langkah ini dilakukan dengan satu tujuan—membangun kecintaan siswa terhadap sekolah, sambil memperkuat aspek kognitif secara perlahan namun pasti.

Tahun 2021 menjadi momentum penting lahirnya inovasi pembelajaran kontekstual di sekolah ini, yang dikemas dalam sebuah pendekatan bernama Kurikulum Gotong Royong. Dalam bahasa lokal, pendekatan ini disebut Mba Izakod Make Zazahi, yang artinya Together We Can. Konsep ini hadir sebagai jawaban atas berbagai persoalan pendidikan di daerah pinggiran. Prinsip utamanya sederhana namun kuat: “Bersama, kita pasti bisa.” Dengan semangat tersebut, guru, orangtua, dan siswa menjadi mitra belajar sejati yang bersama-sama merancang proses pembelajaran. Paradigma lama di mana guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan bergeser menuju pembelajaran aktif, di mana siswa didorong untuk mencari tahu dan berbagi pengetahuan. Semua pihak diyakini sebagai guru bagi sesamanya. Kearifan lokal dijadikan sumber belajar utama, sementara Bahasa Inggris dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dijadikan bagian tak terpisahkan dari proses belajar mengajar.

Transformasi itu semakin terasa ketika PT Acer Indonesia melalui program CSR-nya menyalurkan bantuan berupa satu layar cerdas dan 25 Chromebook. Fasilitas ini menjadi bahan bakar baru bagi lahirnya inovasi digital di SMPN Buti. Dengan dukungan teknologi tersebut, sekolah mulai menerapkan pembelajaran digital berbasis Kurikulum Gotong Royong. Para siswa dibagi dalam kelompok kecil berisi lima hingga delapan orang. Setiap kelompok dipinjamkan satu Chromebook untuk menyiapkan materi dan konten pembelajaran secara mandiri. Materi-materi itu kemudian didalami bersama melalui pendekatan saintifik di kelas.

Yang menarik, setiap anggota kelompok diberi peran dan tanggung jawab berbeda secara bergiliran. Dengan cara ini, semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar mengoperasikan Chromebook, membuat bahan presentasi, hingga memproduksi video pembelajaran menggunakan Canva. Mereka juga dibimbing untuk memahami konsep dasar teknologi digital. Inilah wujud nyata dari pendidikan partisipatif dan kolaboratif yang menumbuhkan rasa percaya diri di tengah keterbatasan fasilitas.

Kisah SMPN Buti adalah cermin bahwa keterbatasan tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti berkarya. Sebaliknya, di tangan orang-orang yang berani bermimpi dan bekerja bersama, keterbatasan justru menjadi sumber kekuatan untuk berinovasi. Sekolah ini telah membuktikan bahwa kolaborasi adalah energi yang mampu mengubah keadaan. Sebagaimana filosofi mereka: daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin-lilin kecil.