Ilustrasi Kumpulan Puisi Leni Marlina "Bumi yang Menunggu Cinta". Sumber Gambar: Starcom Indonesia's Artworks No. 925-13 (Assisted by AI).

/1/

Bumi yang Menunggu Cinta

Puisi: Leni Marlina

Bumi ini,
adalah ibu yang tak pernah lelah menunggu
kepulangan anak-anaknya yang tersesat.
Ia merasakan setiap jejak langkah
yang meninggalkan luka,
namun tetap memeluk kita dalam kesunyian.

Kita sering lupa,
bumi tak butuh pujian
atau persembahan megah.
Ia hanya ingin cinta sederhana:
tangan yang menanam, bukan menebang;
hati yang memberi, bukan merampas.

Bumi ini,
ia bernapas dalam bisikan angin,
berbicara melalui gerimis di dedaunan.
Namun, kita terlalu sibuk mengejar mimpi palsu
hingga tak mendengar betapa lembutnya suaranya.

Kini, kita berjanji,
tidak akan melupakan cinta yang ia berikan.
Bumi, engkau adalah puisi yang tak pernah selesai,
dan kami ingin menjadi bait yang engkau baca dengan bahagia.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/2/

Luka Wajah Ibu Pertiwi

Puisi: Leni Marlina

Di matamu, Ibu,
peta hidup tersulam dari keringat leluhur,
sawah menjadi permadani retak,
daun-daun gugur membawa pesan sunyi:
“Peluk aku sebelum angin mencuri semuanya.”

Kami memahat jejak di dadamu,
tanpa peduli retakan kecil yang semakin lebar.
Lelahmu adalah bisikan yang kami abaikan,
namun engkau tetap berdiri,
seperti gunung yang menyembunyikan tangisnya
di balik awan kelabu.

Ibu,
janji kami mungkin bisa goyah,
namun biarkanlah tangan ini belajar
menanam kembali apa yang telah kami hancurkan.
Biarkanlah langkah ini mencari
jalan pulang menuju pangkuanmu.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/3/

Pecahnya Cermin Langit

Puisi: Leni Marlina

Langit retak,
garis-garis luka menjalar ke ujung cakrawala,
seperti urat-urat murka
yang muncul dari pengkhianatan kami.
Burung-burung berhenti bernyanyi,
menggantungkan sayap pada ranting-ranting tua,
menghindari bayangan asap yang mencekik udara.

Langit adalah cermin,
tempat kami memandang dosa-dosa kami sendiri.
Namun cermin itu pecah,
menyerpih menjadi serpihan yang menusuk
mata jiwa yang mulai buta.

Kami pernah berjanji pada birumu,
namun janji itu tenggelam di dasar polusi.
Kini kami hanya memiliki serpih-serpih doa
untuk menenun kembali warna birumu,
agar langit kembali menjadi nafas
bagi dunia yang kami abaikan.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/4/

Di Aliran yang Tak Pernah Tidur

Puisi: Leni Marlina

Sungai ini,
adalah pengembara yang tak mengenal lelah,
mengantar kenangan ke laut yang dalam.
Ia membawa aroma masa lalu,
dan bayangan kaki kecil
yang pernah bermain di tepian damai.

Kini, tubuhnya keruh,
penuh jerit yang tak terdengar,
seperti tangisan akar
yang kehilangan tempat berpegang.
Kami memandang tanpa rasa,
tanpa menyadari bahwa air itu
adalah denyut nadi bumi yang kami khianati.

Sungai,
biarkan tangan kami menggenggam arusmu,
menghapus racun yang kami tumpahkan,
agar di hilir, anak-anak kami dapat melihat
pantulan wajah yang penuh harapan.

Bukittiggi, Sumbar, 2020

/5/

Doa Akar yang Terkubur

Puisi: Leni Marlina

Di tengah gelap,
hutan adalah pendoa sunyi
yang menyimpan cerita angin
di balik dedaunan yang gugur perlahan.
Kami datang dengan api,
menghapus rindang yang melindungi jiwa kami sendiri.

Batang-batang berdiri tegak,
namun dalam diam,
mereka menangisi tanah
yang mulai kehilangan pijaknya.
Hutan berbicara kepada bintang,
bertanya:
“Apakah aku akan menjadi kenangan
yang dilupakan dalam debu?”

Kami tak mendengar,
tapi kini kami belajar dari sepi yang mencekam.
Hutan, izinkan tangan ini menanam kembali
akar doa yang kau tanamkan sejak zaman purba.
Izinkan kami memulihkan nyanyianmu
yang pernah kami bisukan.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/6/

Rindu pada Awan yang Hilang

Puisi: Leni Marlina

Awan adalah pengembara yang lembut,
meninggalkan bayang-bayang
di atas tanah yang rindu teduh.
Kami melihatmu melintas,
membawa harapan
yang perlahan menjadi angan-angan kabur.

Kini, langit terasa hampa,
seperti jiwa yang kehilangan rumahnya.
Awan-awan telah pergi,
meninggalkan janji-janji hujan
yang tak pernah tiba.
Kami bertanya pada angin:
“Di mana tempatmu menetap, wahai awan?”

Namun kau diam,
membiarkan kami menyesali keserakahan kami.
Awan, jika kau kembali,
biarkan aku menulis doa di tubuhmu,
agar hujan turun
membasuh luka yang kami tinggalkan.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/7/

Tanah yang Berbisik Luka

Puisi: Leni Marlina

Tanah ini,
tempat rahasia hujan jatuh dan membeku,
menyimpan bisikan akar yang tak pernah tidur.
Ia berkata,
“Berhentilah melukai, aku lelah menanggung bebatuan
yang kau tancapkan tanpa doa.”

Kami berdiri di atasnya,
memikul janji yang entah kapan terpenuhi.
Tanah tak butuh suara kami yang nyaring,
ia hanya butuh sentuhan lembut
dari tangan-tangan yang tidak menanam duri.

Tanah berbicara dalam diam,
menghidupkan rumput,
menggugurkan daun,
dan mengajari kami:
kehidupan adalah luka yang sembuh perlahan.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/8/

Langit, Penjaga yang Sunyi

Puisi: Leni Marlina

Langit,
penjaga mimpi yang berhembus di antara bayang-bayang.
Kau memandang kami dengan kesunyian,
menawarkan ruang yang tak bertepi
agar kami belajar bertahan tanpa penghakiman.

Kami mengukir janji di tubuhmu:
tak akan menyalahkan awan
saat hujan membasuh harapan kami.
Kami akan berdiri,
meski petir menakut-nakuti langkah kami,
dan badai mencabik-cabik arah.

Langit,
kau bukan sekadar atap bagi bumi,
kau adalah cermin jiwa yang mengajarkan kami
bahwa keteguhan tak perlu berteriak,
cukup menjadi sunyi yang tak tergoyahkan.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/9/

Sungai yang Mengalirkan Janji

Puisi: Leni Marlina

Sungai,
kau adalah ibu yang mengalirkan cerita
dari hulu ke muara, tanpa pernah lupa
untuk membawa pesan:
“Rawatlah aku seperti kau merawat dirimu sendiri.”

Kami melihatmu,
seutas benang air yang tak pernah putus,
menghubungkan kenangan leluhur
dengan mimpi anak cucu.
Namun, sering kali kami lupa,
bahwa kau juga bisa menangis
saat tubuhmu penuh racun
yang kami tumpahkan tanpa ragu.

Kini, di tepi sungaimu,
kami bersumpah akan menjagamu,
agar kau tetap bernyanyi
dan tidak bisu dalam kesedihan.
Sungai,
kau adalah harapan yang tak boleh mati.

Bukittinggi, Sumbar, 2020

/10/

Janji kepada Ibu Pertiwi

Puisi: Leni Marlina

Kawan,
ingatkah kau pada janji yang kita ucapkan,
di bawah rindang pohon tua yang jadi saksi?
Tanah ini adalah ibu yang menumbuhkan kita,
airnya mengalir di nadi, udaranya mengisi paru.
Kita bersumpah menjaga napasnya,
seperti menjaga jiwa sendiri.

Kawan,
jangan biarkan janji itu terkubur dalam kerak keserakahan.
Jangan biarkan akar-akar yang memeluk tanah
tercabut oleh tangan kita sendiri.
Ibu pertiwi bukan sekadar tanah yang diinjak,
dia adalah nyawa yang memberi hidup,
tempat pulang saat dunia lelah mengguncang.

Kawan,
lihatlah hutan yang dulu berbisik lembut,
kini terdiam, kehilangan bahasa purbanya.
Sungai yang dahulu menyanyikan kehidupan,
kini keruh, membawa air mata luka.
Kita adalah anak-anaknya,
dan setiap ingkar pada janji,
adalah luka yang kita ukir di tubuhnya.

Kawan,
cinta kepada ibu pertiwi bukan sekadar kata-kata,
tapi tindakan yang menumbuhkan harapan.
Mari kita genggam tangannya lagi,
menanam kembali pohon-pohon doa,
membasuh tanahnya dengan kesetiaan.
Janji kita adalah denyut nadinya,
dan cinta ini, lebih besar dari ego yang fana.

Kawan,
jangan ingkar pada ibu yang setia memberi,
karena bumi adalah rumah yang tak pernah meninggalkan kita,
meski sering kita abaikan.
Dalam pelukannya, ada masa depan anak-anak kita,
dan di jantungnya, ada doa yang tak pernah berhenti
agar kita kembali mencintainya
seperti mencintai kehidupan itu sendiri.

Bukitinggi, Sumbar, 2020

——
Biografi Singkat

Kumpulan puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2020. Puisi tersebut direvisi kembali serta mulai dipublikasikan secara bertahap untuk pertama kalinya melalui media digital bulan Januari 2025.

Leni sampai saat ini merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATU PENA cabang Sumatera Barat sejak berdiri tahun 2022; Komunitas Kreator Indonesia Era AI. Selain itu, ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair dan Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Leni pernah terlibat dalam Victoria’s Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.

Leni Marlina telah mendirikan sekaligus mengetuai sejumlah kecil komunitas sosial, bahasa, sastra, literasi dengan platform digital meliputi:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community
3. PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat), the Poetry Community of Indonesian Society’s Inspirations: https://shorturl.at/2eTSB; https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia):
https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community
6. Literature Talk Community
7. Translation Practice Community
8. English Languange Learning, Literacy, Literary Community (EL4C)