Oleh Anto Narasoma
–
DUDUK dan tidur selama 18 jam di atas sleeper bus terasa melelahkan juga. Hanya kakiku yang terasa pegal. Sedangkan fisikku tetap seperti biasa.
————
Tiba di fullbus Yoanda Prima di Jalan By Pass Padang, saya terasa seperti orang asing. Meski saya sangat paham dengan bahasa Minang, tapi kehadiranku sebagai orang dari luar Sumatera Barat membuat saya benar-benar asing.
Terus terang, setibanya di Kota Padang, saya tidak tahu persis saya akan menuju kemana. Sebab, selain tak memahami lika-liku jalan di Kota Padang, saya hanya dikabarkan oleh panitia, saya harus menunggu jemputan saja.
Maka seturunnya dari bus, saya duduk di bangku panjang di ruang dedan full bus Yoanda Prima. Satu-satu para penumpang pergi meninggalkan tempat itu. Sementara saya masih di tempat semula sembari menantikan jemputan.
Padal sudah dua kali saya menghubungi panita lewat HP agar segera menjemput kedatangan saya di fullbus Yoanda Prima.
Saya melihat ke arlojiku. Wuih, hari sudah menunjukkan pukul 10.20 WIB. Berarti sudah lebih dari sejam saya berada di sana.
Untung ada seorang pengemudi ojek motor yang datang. Ia segera menawarkan jasa untuk mengantar saya ke alamat tujuan.
“Maaf Pak, saya sedang menantikan jemputan dari panitia peluncuran buku antologi puisi. Saya juga tak tahu persis harus ke alamat mana,” ujar saya kepada pengemudi ojek tersebut.
Pengemudi ojek ini baik sekali. Meski saya katakan begitu, ia tidak tersinggung. Ia justru ikut menemani saya sembari menantikan kehadiran panitia acara.
Kami berbincang panjang lebar tentang kehidupan. Ia juga mengutarakan berbagai kesulitannya yang melilit kehiduannya.
“Mencari penumpang saat ini sulit sekali, Pak. Sejak sehabis subuh tadi, saya belum memperoleh satu penumpang pun,” kata pengenudi ojek tersebut dengan wajah memelas.
Ah, hatiku tersentuh mendengar penuturannya. Laki-laki ini tidak mengenakan jaket hijau sebagai identitas pengojek.
Ia hanya memakai t’shirt putih yang terlihat kumal. Tapi pernyataannya itu sungguh cerdas. Dari pembicaraan panjang, saya yakin ia berpendidikan tinggi.
Tak lama setelah itu, ia pun pamit. Tapi sebelum ia pergi, saya mrnyodorkan uang pecahan Rp 50 ribu kepadanya. Tapi ia menolaknya.
Setelah kuajukan uang itu secara halus, akhirnya dia menerimanya juga. “Terima kasih, Pak,” ucap lelaki itu sembari memohon diri.
Aku tersenyum. Lega perasaan di hatiku jika telah membantu seseorang meski bantuan itu tidak seberapa. Yang penting bisa berbagi rasa antarsesama kita.
Suasana pagi semakin panas. Cahaya matahari terasa begitu menggigit kulitku. Ah, panas sekali pagi ini. Kapan penjemputku tiba?
Setelah pukul 10.42 WIB, jemputan tiba. Mas Yusuf Ahmad keluar dari kendaraan dan menyapa saya. “Wuih, maaf Bang Anto. Kita tadi ada kendala sebelum menjemput anda,” tukas penyair ini tersenyum ramah.
Saya tersenyum. Yusuf segera menjabat tangan saya dan memeluk akrab . Ia mempersilakan saya naik ke mobil.
Wuih, ternyata di dalam mobil ada pimpinan media Suara Anak Negeri, Paulus Laratmase. “Silakan naik, Bang. Mohon maaf agak terlambar menjemput abang,” ujar Paulus yang akrab kami sapa dengan sebutan Mas Paul saja.
Tampilan orang Papua ini ternyata jauh dari perkiraan saya. Sebab dalam pandanganku, Paul terkesan intelektual dengan kulit bersih. Ia benar-benar seorang akademisi yang cerdas.
Bersama kami, ada juga seorang pemuda berjanggut bernama Jaka. Dia seorang pekerja teknis di labotatorium UNP Padang.
Kebetulan dia ditugaskan sebagai pemandu jalan dalam perjalanan itu. Saya terkesan dengan kesantunan Jaka sebagai pemandu jalan kami.
Selama dalam perjalanan ke hotel tempat saya diinapkan bersama penyair Yusuf, kami berbincang soal apa saja. Bahkan bicara ke soal persiapan penyelengaraan peluncuran buku dan diskusi tentang sastra puisi. “Wuih, saya bahagia sekali memiliki sahabat seperti mereka,” ucapku dalam hati.
Dalam kebersamaan itu, Paul dan Yusuf juga bertanya tentang esensi sastra dengan sejumlah elemen yang memperkuat puisi.
Saya menjelaskan komponen yang melengkapi hakikat puisi. Dalam komposisi puisi, ada empat komponen antara lain, feeling atau rasa. Rasa ini sangat berperan penting untuk menghadirkan nilai arti bagi uraian puisi.
Sebab, puisi yang baik merupakan wadah untuk memberitahukan ke pembaca tentang hakikat yang akan disampaikan.
Puisi memiliki unsur kata berangkai dengan elemen-elemen yang berkaitan tentang pendekatan kejiwaan dan pendekatan falsafah. Karena itu kedua lapis itu bersentuhan dengan pendekatan ekstrinsik dan intrinsik (unsur luar dan dalam di diri penyair).
Jadi, kesimpulannya bahwa komponen puisi itu terdiri dari sense (arti), feeling (rasa) tone (nada kata), serta intention atau sering kita artikan sebagai tujuan isi puisi.
Kedua sabahat saya itu hanya menganggukan kepala saja. Sebab kali ini mereka mendengar tentang unsur-unsur yang ada di dalam tipografi puisi.
“Apakah cukup dengan unsur-unsur yang Bang Anto sapaikan itu?” tanya Paulus yang juga seorang dosen di Papua.
Tidak, kataku. Itu hanya unsur dasar dari terciptanya puisi. Sebab ketika orang membaca puisi itu, mereka akan merasakan adanya diksi atau kata pilihan di dalam merangkai lapisan kalimat. Diksi inilah yang mengantarkan keindahan puisi dengan sajian isi yang memikat.
Selain itu ada unsur sense (nilai arti). Karena setiap puisi harus mempunyai suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan kepadab pembaca. Karena itu peran rasa di dalam jiwa penyair harus kuat untuk menyajikan puisi yang berkualitas baik. (bersambung)






