Oleh Anto Narasoma

SEBAGAI akademisi, Dafril Tuanku Bandaro tampak senang berbincang dengan kami. Terutama berbincang tentang sastra.
——-

Entah apa yang Dafril perbincangkan dengan Mas Paulus Laratmase dan Yusuf. Sebab dari sikap dan gaya bicaranya, ia tampak senang sekali. Seperti kata pepatah, panci bertemu tutupnya. Pas banget !

Dalam perbincangan sebelumnya, tak ragu-ragu Dafril bertanya tentang proses penulisan puisi serta unsur apa saja yang melungkupi keindahan bahasa puisi.

Saya tersenyum. Dengan senang hati saya menjelaskan segala unsur yang ada di dalam lapisan kalimat puisi. Saya yakin, pengetahuan ini akan ia sampaikan ke mahasiswanya nanti. Tak apa, untuk pengembangan sastra Indonesia, saya akan melengkapi ilmu pengetahuannya.

Dalam teori dikotomi, dapat dipandang dari dua sisi. Dari dua pandangan itu antara lain, sudut bentuk dan isi. “Karya sastra itu merupakan bentuk dalam struktur norma,” jelas saya.

Unsur norma tersebut, terdiri dari berbagai unsur dari lapis-lapis norma. Artinya, lapis norma yang berada di atasnya menyebabkan timbulnya lapisan norma di bawahnya.

Lapisan norma paling permulaan adalah lapis bunyi, yang menimbulkan lapis kedua yaitu lapis arti. Sebab setiap kata mempunyai artinya sendiri.

“Jika kata-kata tunggal itu bergabung dalam konteksnya, maka timbullah frase-frase yang melahirkan pola kalimat,” ujar saya.

Dari satuan sintaksis, akan muncul lapis ketiga, yakni obyek intensi yang akan dikemukakan kepada pembaca.

Menurut Drs BP Situmorang, cipta sastra itu dapat dialisis melalui unsur efonis, stilistis, dan tematis. Apa uraian dari ketiganya?

Dalam setiap menciptakan sastra (puisi), penyair berusaha memahami dan menjelaskan lapisan bunyi. “Ini yang kita sebut sebagai unsur efonik (efonis),” kata saya menguraikan unsur estetik di dalam cipta karya sastra.

Melalui analisis ini (efonis), didapati kenyataan bahwa lapis bunyi dikembangkan dalam unsur puisi yang sangat berbeda dalam unsur prosa.

Sedangkan stilistis, merupakan upaya untuk memahami lapis arti dengan gaya (corak puisi) yang timbul dari gejala ungkapan.

Ternyata, dari segala unsur yang dikembangkan, unsur ketatabahasaan memegang peranan penting dalam memunculkan gaya (corak) pribadi masing-masing penyair.

Sedangkan dari unsur tematik, merupakan analisis yang dilakukan untuk memahami dengan cara menjelaskan lapisan tema, sehingga muncul warna pribadi setiap penyair.

“Oh, begitu ya Bang. Karena itu saya jadi mengerti bagaimana upaya seorang penyair untuk menciptakan puisinya,” tulas Dafril.

Saya menganggukkan kepala. Terutama melihat keseriusan Dafril untuk memahami sastra, terutama cara untuk menciptakan puisi yang menarik.

Setelah kami selesai ngopi dan mengobrol banyak tentang sastra di warung tersebut, kami pun pamit untuk istirahat di penginapan. Karena hari Sabtu, 30 Mei 2025 acara belum dimulai. Berarti hari ini kami diajak Jaka untuk berkeliling Kota Padang. Wuih, senang sekali !

Apalagi baru kali pertama saya dan kawan-kawan hadir di Kota Rendang ini. Maka, ketika Jaka menjalankan kendaraan yang kami tumpangi dengan kecepatan sedang, suasana Kota Padang begitu menyejukkan.

Apalagi gedung perkantoran, tempat usaha, dan rumah-rumah penduduk berjajar rapi. Memang, kota Padang dikenal sangat bersih dan tertib.

“Meski tak ada gedung yang menjulang tinggi, tapi suasana kota ini sangat tertib dan menyenangkan, Bang Anto,” ujar Paulus memecah keheningan.

Suasana di mobil pun begitu hangat. Kemudian, mata saya menyapu segenap panorama kota yang begitu nyaman indah.

Kendaraan kami langsung tancap gas ke kawasan lokasi Siti Nurbaya yang fenomenal. Dari tanjakan perbukitan hingga ruang luas muara laut Siti Nurbaya.

Sebagai pemandu sekaligus mengemudi kendaraan kami, Jaka menjelaskan tentang kisah Siti Nurbaya yang terpaksa harus menikah dengan Datuk Maringgi. Padahal lelaki tua ini berusia setarap ayahnya.
(bersambung)