Oleh CBI, Penerbit

“Energi bukan sekadar bahan bakar. Ia adalah akar peradaban. Karena itu, agar Indonesia cepat mandiri di bidang energi, namun juga sesuai dengan trend dunia, ia harus berani melangkah out of the box, dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan kepedulian pada ekologi.”

Demikian ungkap Denny JA dalam peluncuran buku terbarunya berjudul Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi.

Ini buku yang ke-102 ditulisnya. Ia sengaja menuliskannya sebagai refleksi intelektual sekaligus dasar pemikiran dari langkah-langkah yang kini ia emban sebagai Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE).

Momentum peluncuran buku dilakukan di ADIPEC 2025, pameran dan konferensi minyak internasional terbesar di dunia yang digelar di Abu Dhabi pada awal November ini, di hari terakhir.

Namun, peluncuran buku tersebut tidak di acara resmi.
Dengan cara yang khas, Denny JA memilih meluncurkan bukunya secara digital.

Dari lokasi konferensi, ia menyebarkannya dalam format PDF ke berbagai media nasional, media sosial, dan jaringan profesional di dalam maupun luar negeri.

Ini sebuah peluncuran tanpa panggung, namun dengan jangkauan global.

-000-

Buku Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi (Cerah Budaya International, 2025) adalah karya yang memadukan analisis geopolitik, bisnis energi, dan refleksi moral-spiritual bangsa.

Terdiri dari dua puluh dua esai dalam lima bagian besar, buku ini menelusuri sejarah panjang industri minyak. Ia mulai dari Ibnu Sutowo dan Pertamina hingga era kecerdasan buatan (AI).

Buku ini mengajak Indonesia menulis ulang takdirnya menuju kemandirian energi dan transisi hijau.

Denny membuka buku ini dengan kisah nyata tentang seorang ibu di Sri Lanka yang berjalan jauh mencari bensin demi bertahan hidup. Itu sebuah metafora tentang rapuhnya sebuah bangsa tanpa energi.

Dari kisah itu ia menelusuri perjalanan peradaban manusia melalui empat era energi: kayu, batubara, minyak, dan energi baru. Ia menegaskan bahwa tidak ada peradaban besar yang lahir tanpa kemandirian energi.

Bagian pertama buku ini, Pertamina, Riwayatmu Dulu dan Kini, menyoroti sejarah dan dilema moral BUMN energi Indonesia.

Bagian kedua, Big Oil: Ketika Perusahaan Lebih Kuat dari Negara, mengurai analisis global tentang kekuasaan raksasa minyak dunia dari Rockefeller hingga OPEC.

Dalam bagian ketiga, Peralihan ke Energi Hijau, Denny mengajak pembaca melihat transisi energi bukan semata dari sudut pandang teknologi, melainkan juga dari sisi moral dan ekologi.

Bagian keempat, Minyak, Politik, dan Harapan, membahas bagaimana petrodollar membentuk geopolitik energi abad ke-21.

Sementara bagian kelima, Lampiran Pidato dan Refleksi, menghimpun orasi Denny JA sebagai Komisaris Utama PHE tentang “1 Juta Barrel per Day 2029” serta refleksi tentang energi hijau sebagai mandat peradaban.

Setiap bab dirancang seperti mosaik: memadukan data ekonomi, narasi sejarah, dan renungan filosofis.

Di dalamnya, pembaca akan menemukan foto, infografik, dan kutipan dari tokoh, pemikir dan penulis besar bidang energi, seperti Vaclav Smil, Daniel Yergin, Naomi Klein, dan Kai-Fu Lee.

Hal itu menjadikan buku ini bukan hanya laporan kebijakan, tetapi juga karya literasi yang menggugah nurani.

-000-

Salah satu gagasan utama buku ini adalah pandangan bahwa kemandirian energi merupakan syarat mutlak bagi berdirinya sebuah peradaban besar.

“Energi adalah darah bangsa. Tanpa kemandirian energi, kita hanyalah penonton di panggung global,” tulisnya.

Bagi Denny JA, bangsa yang besar adalah bangsa yang menguasai sumber energinya sendiri, bukan yang bergantung pada impor.

Kemandirian ini, menurutnya, bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga moral dan spiritual. Bangsa yang mandiri energi adalah bangsa yang bermartabat.

Ketahanan energi, dalam pandangannya, identik dengan ketahanan politik dan ekonomi. Tanpa kemandirian energi, arah kebijakan nasional akan mudah didikte pasar global.

-000-

Gagasan kedua berpusat pada tanggung jawab moral terhadap bumi dalam masa transisi energi. Dalam bagian Peralihan ke Energi Hijau dan Bumi yang Terluka, Denny menyingkap sisi ekologis industri minyak, dari Delta Niger hingga Kalimantan.

“Jika bumi adalah tubuh, maka ladang minyak adalah lukanya,” tulisnya dengan nada reflektif. Transisi menuju energi hijau — surya, angin, dan hidrogen.

Ini bukan sekadar tuntutan teknologi, melainkan ujian nurani manusia: sanggupkah kita meninggalkan keserakahan energi fosil yang selama ini menjadi candu kemajuan?

Bagi Denny, krisis iklim bukan ancaman masa depan, melainkan kenyataan masa kini. Karena itu, transisi energi harus dilakukan dengan keadilan dan inklusivitas.

Ini tidak boleh berhenti pada citra “hijau di permukaan” sementara praktiknya tetap eksploitatif.

Denny menekankan pentingnya memberi keseimbangan dan perhatian pada diversifikasi energi: energi fosil, nuklir, juga energi hijau.

-000-

Gagasan ketiga, yang menjadi puncak refleksi buku ini, menyoroti simbiosis antara minyak, AI, dan energi hijau sebagai jalan emas Indonesia abad ke-21.

Dalam bab “Indonesia dan Jalan Emas Abad 21” serta berbagai pidato di lingkungan PHE, Denny menggambarkan masa depan energi Indonesia sebagai integrasi antara sumber daya alam dan teknologi kecerdasan buatan.

“Di era ketika energi tak lagi sekadar logistik, tapi logika zaman, Indonesia tak boleh hanya jadi produsen. Ia harus jadi perumus, pemimpin, dan pemilik masa depan,” tulisnya.

Ia memperkenalkan Roadmap 1 Juta Barrel per Day 2029 (1M29), bukan sekadar target produksi, tetapi strategi nasional berbasis enam pilar.

Itu soal eksplorasi agresif, merger dan akuisisi global, pemanfaatan teknologi enhanced oil recovery berbasis AI, pengembangan CCS, efisiensi finansial. Juga soal pembangunan energi rendah karbon.

Konsep “Make Pertamina Great Again!” dalam bab dua puluh menjadi simbol tekad untuk membangun kembali Pertamina sebagai gerakan nasional energi yang berlandaskan integritas, inovasi, dan keberlanjutan.

Denny JA sendiri dikenal sebagai figur lintas disiplin. Lahir di Palembang pada 4 Januari 1963, ia menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Indonesia.

Ia kemudian meraih gelar Master of Public Administration di University of Pittsburgh (1994), dan gelar doktor di bidang Comparative Politics & Business History dari Ohio State University (2001).

Ia dikenal sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang ikut memenangkan lima pemilihan presiden berturut-turut.

Majalah TIME pada 2015 memasukkannya ke dalam daftar “30 Most Influential People on the Internet,” bersama Barack Obama dan Perdana Menteri India: Narendra Modi.

Sebagai sastrawan, ia menggagas genre puisi esai, meraih ASEAN Literature Award pada 2020 dan Satupena Lifetime Achievement Award pada 2021.

Ia sastawan kedua Indonesia yang secara resmi dicalonkan hadiah nobel sastra. Di tahun 2025, Denny JA terpilih sebagai top 10 sastrawan dunia untuk nominasi penghargaan BRICS Literature Award 2025.

Kini, di usia yang matang, ia menjabat Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi. Ia membawa pandangan lintas bidang yang memadukan politik, bisnis, sastra, dan spiritualitas.

Dalam buku ini, ia membaca energi bukan sekadar sebagai isu ekonomi, tetapi sebagai narasi moral bangsa.

-000-

Kekuatan buku ini terletak pada perpaduan antara visi lintas disiplin dan bahasa yang reflektif sekaligus puitis. Setiap bab mengalir seperti esai sastra, bukan laporan teknokratik.

Denny menulis dengan kesadaran ganda: bahwa energi adalah persoalan global, tetapi juga soal hati nurani bangsa.

Perlu pula diberi catatan. Akan lebih lengkap jika buku ini menawarkan cara pandang baru tentang energi sebagai ruh kolektif bangsa. Ini sumber daya yang bukan hanya soal mesin dan minyak, tetapi tentang jiwa yang menghidupi peradaban.

Melalui gagasan “ekosofi energi”, Denny JA dapat memadukan kearifan lokal, etika lingkungan, dan inovasi AI menjadi satu gerakan budaya menuju Indonesia yang merdeka dan berkelanjutan.

Kemajuan sejati bukan hanya ketika mesin bekerja lebih cepat, tetapi ketika hati manusia bekerja lebih dalam.*

Abu Dhabi, 7 November 2025

*Buku Denny JA dapat diakses, dibaca dan bebas disebarkan dari link:

https://drive.google.com/file/d/1JIIw1SGeBsAcEkZ_1hpMOzYfq6qrtvoC/view?usp=drivesdk DARI ADIPEC, ABU DHABI, DENNY JA MELUNCURKAN BUKU SOAL MINYAK

– Minyak, Bisnis dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi

Oleh CBI, Penerbit

“Energi bukan sekadar bahan bakar. Ia adalah akar peradaban. Karena itu, agar Indonesia cepat mandiri di bidang energi, namun juga sesuai dengan trend dunia, ia harus berani melangkah out of the box, dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan kepedulian pada ekologi.”

Demikian ungkap Denny JA dalam peluncuran buku terbarunya berjudul Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi.

Ini buku yang ke-102 ditulisnya. Ia sengaja menuliskannya sebagai refleksi intelektual sekaligus dasar pemikiran dari langkah-langkah yang kini ia emban sebagai Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE).

Momentum peluncuran buku dilakukan di ADIPEC 2025, pameran dan konferensi minyak internasional terbesar di dunia yang digelar di Abu Dhabi pada awal November ini, di hari terakhir.

Namun, peluncuran buku tersebut tidak di acara resmi.
Dengan cara yang khas, Denny JA memilih meluncurkan bukunya secara digital.

Dari lokasi konferensi, ia menyebarkannya dalam format PDF ke berbagai media nasional, media sosial, dan jaringan profesional di dalam maupun luar negeri.

Ini sebuah peluncuran tanpa panggung, namun dengan jangkauan global.

-000-

Buku Minyak, Bisnis, dan Politik: Indonesia Menuju Kemandirian Energi (Cerah Budaya International, 2025) adalah karya yang memadukan analisis geopolitik, bisnis energi, dan refleksi moral-spiritual bangsa.

Terdiri dari dua puluh dua esai dalam lima bagian besar, buku ini menelusuri sejarah panjang industri minyak. Ia mulai dari Ibnu Sutowo dan Pertamina hingga era kecerdasan buatan (AI).

Buku ini mengajak Indonesia menulis ulang takdirnya menuju kemandirian energi dan transisi hijau.

Denny membuka buku ini dengan kisah nyata tentang seorang ibu di Sri Lanka yang berjalan jauh mencari bensin demi bertahan hidup. Itu sebuah metafora tentang rapuhnya sebuah bangsa tanpa energi.

Dari kisah itu ia menelusuri perjalanan peradaban manusia melalui empat era energi: kayu, batubara, minyak, dan energi baru. Ia menegaskan bahwa tidak ada peradaban besar yang lahir tanpa kemandirian energi.

Bagian pertama buku ini, Pertamina, Riwayatmu Dulu dan Kini, menyoroti sejarah dan dilema moral BUMN energi Indonesia.

Bagian kedua, Big Oil: Ketika Perusahaan Lebih Kuat dari Negara, mengurai analisis global tentang kekuasaan raksasa minyak dunia dari Rockefeller hingga OPEC.

Dalam bagian ketiga, Peralihan ke Energi Hijau, Denny mengajak pembaca melihat transisi energi bukan semata dari sudut pandang teknologi, melainkan juga dari sisi moral dan ekologi.

Bagian keempat, Minyak, Politik, dan Harapan, membahas bagaimana petrodollar membentuk geopolitik energi abad ke-21.

Sementara bagian kelima, Lampiran Pidato dan Refleksi, menghimpun orasi Denny JA sebagai Komisaris Utama PHE tentang “1 Juta Barrel per Day 2029” serta refleksi tentang energi hijau sebagai mandat peradaban.

Setiap bab dirancang seperti mosaik: memadukan data ekonomi, narasi sejarah, dan renungan filosofis.

Di dalamnya, pembaca akan menemukan foto, infografik, dan kutipan dari tokoh, pemikir dan penulis besar bidang energi, seperti Vaclav Smil, Daniel Yergin, Naomi Klein, dan Kai-Fu Lee.

Hal itu menjadikan buku ini bukan hanya laporan kebijakan, tetapi juga karya literasi yang menggugah nurani.

-000-

Salah satu gagasan utama buku ini adalah pandangan bahwa kemandirian energi merupakan syarat mutlak bagi berdirinya sebuah peradaban besar.

“Energi adalah darah bangsa. Tanpa kemandirian energi, kita hanyalah penonton di panggung global,” tulisnya.

Bagi Denny JA, bangsa yang besar adalah bangsa yang menguasai sumber energinya sendiri, bukan yang bergantung pada impor.

Kemandirian ini, menurutnya, bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga moral dan spiritual. Bangsa yang mandiri energi adalah bangsa yang bermartabat.

Ketahanan energi, dalam pandangannya, identik dengan ketahanan politik dan ekonomi. Tanpa kemandirian energi, arah kebijakan nasional akan mudah didikte pasar global.

-000-

Gagasan kedua berpusat pada tanggung jawab moral terhadap bumi dalam masa transisi energi. Dalam bagian Peralihan ke Energi Hijau dan Bumi yang Terluka, Denny menyingkap sisi ekologis industri minyak, dari Delta Niger hingga Kalimantan.

“Jika bumi adalah tubuh, maka ladang minyak adalah lukanya,” tulisnya dengan nada reflektif. Transisi menuju energi hijau — surya, angin, dan hidrogen.

Ini bukan sekadar tuntutan teknologi, melainkan ujian nurani manusia: sanggupkah kita meninggalkan keserakahan energi fosil yang selama ini menjadi candu kemajuan?

Bagi Denny, krisis iklim bukan ancaman masa depan, melainkan kenyataan masa kini. Karena itu, transisi energi harus dilakukan dengan keadilan dan inklusivitas.

Ini tidak boleh berhenti pada citra “hijau di permukaan” sementara praktiknya tetap eksploitatif.

Denny menekankan pentingnya memberi keseimbangan dan perhatian pada diversifikasi energi: energi fosil, nuklir, juga energi hijau.

-000-

Gagasan ketiga, yang menjadi puncak refleksi buku ini, menyoroti simbiosis antara minyak, AI, dan energi hijau sebagai jalan emas Indonesia abad ke-21.

Dalam bab “Indonesia dan Jalan Emas Abad 21” serta berbagai pidato di lingkungan PHE, Denny menggambarkan masa depan energi Indonesia sebagai integrasi antara sumber daya alam dan teknologi kecerdasan buatan.

“Di era ketika energi tak lagi sekadar logistik, tapi logika zaman, Indonesia tak boleh hanya jadi produsen. Ia harus jadi perumus, pemimpin, dan pemilik masa depan,” tulisnya.

Ia memperkenalkan Roadmap 1 Juta Barrel per Day 2029 (1M29), bukan sekadar target produksi, tetapi strategi nasional berbasis enam pilar.

Itu soal eksplorasi agresif, merger dan akuisisi global, pemanfaatan teknologi enhanced oil recovery berbasis AI, pengembangan CCS, efisiensi finansial. Juga soal pembangunan energi rendah karbon.

Konsep “Make Pertamina Great Again!” dalam bab dua puluh menjadi simbol tekad untuk membangun kembali Pertamina sebagai gerakan nasional energi yang berlandaskan integritas, inovasi, dan keberlanjutan.

Denny JA sendiri dikenal sebagai figur lintas disiplin. Lahir di Palembang pada 4 Januari 1963, ia menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Indonesia.

Ia kemudian meraih gelar Master of Public Administration di University of Pittsburgh (1994), dan gelar doktor di bidang Comparative Politics & Business History dari Ohio State University (2001).

Ia dikenal sebagai pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang ikut memenangkan lima pemilihan presiden berturut-turut.

Majalah TIME pada 2015 memasukkannya ke dalam daftar “30 Most Influential People on the Internet,” bersama Barack Obama dan Perdana Menteri India: Narendra Modi.

Sebagai sastrawan, ia menggagas genre puisi esai, meraih ASEAN Literature Award pada 2020 dan Satupena Lifetime Achievement Award pada 2021.

Ia sastawan kedua Indonesia yang secara resmi dicalonkan hadiah nobel sastra. Di tahun 2025, Denny JA terpilih sebagai top 10 sastrawan dunia untuk nominasi penghargaan BRICS Literature Award 2025.

Kini, di usia yang matang, ia menjabat Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi. Ia membawa pandangan lintas bidang yang memadukan politik, bisnis, sastra, dan spiritualitas.

Dalam buku ini, ia membaca energi bukan sekadar sebagai isu ekonomi, tetapi sebagai narasi moral bangsa.

-000-

Kekuatan buku ini terletak pada perpaduan antara visi lintas disiplin dan bahasa yang reflektif sekaligus puitis. Setiap bab mengalir seperti esai sastra, bukan laporan teknokratik.

Denny menulis dengan kesadaran ganda: bahwa energi adalah persoalan global, tetapi juga soal hati nurani bangsa.

Perlu pula diberi catatan. Akan lebih lengkap jika buku ini menawarkan cara pandang baru tentang energi sebagai ruh kolektif bangsa. Ini sumber daya yang bukan hanya soal mesin dan minyak, tetapi tentang jiwa yang menghidupi peradaban.

Melalui gagasan “ekosofi energi”, Denny JA dapat memadukan kearifan lokal, etika lingkungan, dan inovasi AI menjadi satu gerakan budaya menuju Indonesia yang merdeka dan berkelanjutan.

Kemajuan sejati bukan hanya ketika mesin bekerja lebih cepat, tetapi ketika hati manusia bekerja lebih dalam.*

Abu Dhabi, 7 November 2025

*Buku Denny JA dapat diakses, dibaca dan bebas disebarkan dari link:

https://drive.google.com/file/d/1JIIw1SGeBsAcEkZ_1hpMOzYfq6qrtvoC/view?usp=drivesdk