Oleh: Rizal Tanjung
–
I
Firdaus yang Retak: Raja Ampat, Warisan Tuhan yang Diserahkan ke Kantor Tambang
> “Tuhan menanam surga di ujung timur, tapi manusia menukar keindahan dengan kilauan palsu logam yang mengarat dalam hati mereka sendiri.”
Di suatu titik mata angin, Tuhan pernah mencelupkan jari-Nya ke samudra biru dan menciptakan Raja Ampat—tempat di mana karang bernyanyi, ikan menari dalam cahaya surga, dan langit mencium laut tanpa malu. Di sinilah angin bukan sekadar angin, tetapi bisikan leluhur yang tak pernah lelah menjaga bumi.
Namun kini, di tempat di mana cahaya matahari pernah jatuh seperti sutra dari langit, kita menyaksikan retakan pertama pada cermin keabadian. Retakan itu tidak datang dari badai, bukan pula dari gempa bumi, melainkan dari manusia—makhluk yang mengaku cerdas, tapi tak tahu kapan harus berhenti menggali tanah tempat dirinya berdiri.
Bayangkan: di antara pulau-pulau karang yang seharusnya menjadi altar suci bagi perenungan, telah berdiri tiang-tiang besi dengan mulut mesin yang rakus. Mereka tidak mengenal puisi, tidak paham nyanyian paus, tak peduli dengan aroma garam atau kelembutan lumba-lumba. Yang mereka kenal hanyalah nikel, kontrak, dan angka-angka pertumbuhan yang sekarat.
Kapankah Surga Dijual ke Pasar Global?
Raja Ampat dulu adalah destinasi wisata yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga menyucikan batin. Tapi dalam ironi zaman, tempat ziarah jiwa ini kini ditawarkan sebagai tambang oleh para pedagang langit palsu. Mereka yang datang dengan jas rapi dan senyum investasi, menyodorkan rencana penyelamatan planet lewat penghancuran tempat paling hidup di planet ini.
Raja Ampat bukan cuma destinasi wisata—ia adalah tubuh Tuhan yang terbentang. Dan kini, tubuh itu dilubangi. Dikeruk. Dilukai. Hanya untuk memasok bahan baku bagi mobil listrik yang katanya menyelamatkan masa depan, tapi menghancurkan masa kini.
Oh, betapa mudahnya manusia mengganti keheningan karang dengan deru eskavator. Mereka menyebutnya “pembangunan hijau”. Tapi daun yang tumbuh dari uang tambang itu ternyata beracun. Ia tak lagi menghasilkan oksigen, tapi berita-berita bohong tentang keberlanjutan.
Ketika Karang Tak Lagi Menyanyi
Di malam hari, jika engkau duduk cukup hening di tepi pantai, engkau bisa mendengar suara karang menangis. Tangisan itu halus, seperti desir air mata yang tak pernah dilihat manusia karena terlalu sibuk menatap layar saham dan berita ekonomi.
Cendrawasih pun mulai jarang menari. Mereka tahu: hutan-hutan yang dulu menjadi altar tarian mereka, kini mulai diganti dengan jalan-jalan logistik, dan ladang-ladang berdebu yang tak mengenal musim.
Socrates dan Batu Karang: Sebuah Percakapan Imajinatif
Andai Socrates berdiri di sini, di atas karang paling tua di Waigeo, barangkali ia akan berkata:
> “Alam tak butuh manusia. Tapi manusia takkan pernah bisa hidup tanpa alam. Ketika engkau mengebor laut demi mengisi baterai ponselmu, tidakkah engkau sadar, engkau sedang mengebor jantungmu sendiri?”
Tapi tak ada yang mendengar. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan upacara peresmian tambang baru. Dengan spanduk, drone, dan pidato para pejabat yang wajahnya dilapisi bedak dan ketidaktahuan.
Kesimpulan:
Penghianatan yang Dilakukan dengan Wajah Tersenyum
Maka kita harus bertanya: siapa yang menjual firdaus ini? Siapa yang mengizinkan kereta kematian melintas di atas surga karang?
Jawabannya bisa ditemukan dalam hati yang sudah lama tidak mengingat langit. Hati yang mengukur nilai tanah dengan dolar, bukan doa. Mereka bukan hanya penghianat alam, tapi juga pembunuh puisi yang diciptakan Tuhan
I I
Di Ujung Bor Mesin dan Ketiadaan Doa
> “Di tempat doa seharusnya dinaikkan untuk langit dan laut, kini hanya terdengar deru mesin dan kalkulasi keuntungan.”
Ada masa di mana manusia duduk bersila di tepi pantai Raja Ampat dan menyanyikan doa-doa kepada laut. Doa yang bukan sekadar permintaan, melainkan bentuk pujian kepada semesta—bahwa laut adalah ibu, karang adalah dada, dan ikan-ikan adalah anak-anak cahaya yang berenang dari rahim waktu.
Namun masa itu kini tinggal endapan sejarah yang digilas pelan-pelan oleh tapak sepatu proyek. Di ujung bor mesin yang haus, kita menyaksikan peralihan ziarah spiritual menjadi parade industri. Tak ada lagi wangi dupa dari kayu hutan, yang ada hanyalah bau solar dan aspal panas.
Ketika Doa Tak Lagi Laku di Bursa Investasi
Doa-doa para nelayan kini dianggap kuno. Terlalu “tradisional” untuk dunia yang mengagungkan AI dan energi hijau yang dihasilkan dari penghancuran warna hijau itu sendiri. Ketika masyarakat adat mengangkat suara, yang datang bukan peluk, melainkan laporan feasibility study.
Doa adalah suara alam, tapi manusia modern telah menggantinya dengan lembaran power point dan cetak biru pabrik nikel. Suku-suku penjaga laut tak lagi dilihat sebagai pemilik warisan, melainkan penghalang kemajuan. Maka dibujuk lah mereka dengan sembako dan janji infrastruktur, agar kelak, ketika air tanah mereka berwarna merah, tidak ada lagi yang bisa bertanya: siapa yang bersalah?
Wisata yang Berubah Jadi Wisata Kuburan
Raja Ampat dahulu didatangi peziarah keindahan. Mereka datang bukan untuk mengambil, tapi untuk menyatu. Kini, para turis berswafoto di dermaga sementara kapal tambang mengantarkan maut di sisi lain pulau. Ironis, bukan? Kamera mereka menangkap keindahan, tapi tak satu pun menangkap ancaman yang sedang menari di bawah perahu.
Raja Ampat bukan hanya sedang dijual, ia sedang dirampok dengan izin lengkap, dan ironinya: difoto dari drone pariwisata yang diunggah dengan caption, “heaven on earth.”
Mereka tidak tahu bahwa surga tak bisa diunggah. Surga hanya bisa dirasakan, dan yang sekarang mereka abadikan bukanlah surga—melainkan sisa-sisa dari tubuh Tuhan yang mulai membiru karena luka.
Filsafat Tanpa Alam adalah Keheningan Kosong
Andai Plato hidup hari ini, ia akan menulis bukan tentang dunia ide, tetapi dunia yang telah kehilangan idealnya. Socrates, jika ia berjalan di dermaga Yenbuba, mungkin akan berhenti dan berbisik:
> “Kebodohan paling sempurna adalah ketika manusia merasa pintar karena bisa merusak dengan teknologi, lalu menyebutnya ‘inovasi’.”
Tapi kata-kata para filsuf kini dianggap usang, karena tak bisa dikapitalisasi. Sementara itu, mereka yang menghancurkan karang diundang ke konferensi perubahan iklim dan menerima standing ovation.
Ironis, di dunia modern ini, perusak bumi disebut visioner, dan penjaga bumi disebut pengganggu investasi.
Kesimpulan:
Dunia yang Tak Lagi Berdoa, Maka Laut Pun Diam
Saat manusia berhenti berdoa untuk alam, alam berhenti memberikan jawabannya. Laut tak lagi tenang, cuaca menjadi gelisah, dan tanah mulai menyimpan dendam. Karena di mana doa berhenti, di situ mesin mulai menggali.
Dan mesin tak tahu kata cukup. Mesin tak pernah menulis puisi. Mesin tak mengenal air mata ikan.
> “Raja Ampat hari ini tak hanya kehilangan terumbu, tapi kehilangan makna. Ia bukan lagi tempat untuk mencintai bumi, melainkan untuk mencintai modal.”
III
Ketika Socrates Menangis di Atas Terumbu Karang
> “Manusia bukan penguasa alam, kita adalah bagian dari alam. Tapi saat kita lupa akan itu, kehancuran pun dimulai.” — Socrates
Bayangkan Socrates berdiri di atas dermaga Arborek, mengenakan jubah putih tipis yang dihembus angin Pasifik, dan matanya menatap jauh ke dalam laut Raja Ampat yang dulu jernih bagai cermin hati. Ia melihat bukan sekadar air, melainkan fragmen-fragmen jiwa bumi yang sedang sekarat dalam diam.
Lautan tidak menjawab. Ikan-ikan tak menari seperti biasa. Karang-karang memucat seperti orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Socrates pun menunduk dan menangis, bukan karena ia kalah dalam debat, tetapi karena ia kalah dalam menyampaikan kesadaran.
Kebodohan dalam Wujud Kemajuan
Di zaman Socrates, orang-orang disesatkan oleh para sofis. Kini, kita disesatkan oleh para teknokrat. Mereka membawa peta dan laporan, bukan cinta dan empati. Mereka datang bukan untuk menyatu dengan alam, tapi untuk menghitungnya.
“Berapa ton nikel di bawah pasir surgawi ini?” tanya mereka, sembari menjilat pena, tanpa menyadari bahwa pena mereka sedang menandatangani eksekusi mati bagi pohon mangrove, ikan napoleon, dan karang berumur ribuan tahun.
Lalu mereka menciptakan narasi baru, menyebut tambang sebagai “peradaban”, dan menyebut penolakan masyarakat adat sebagai “anti-kemajuan”. Mereka mengukir monumen batu bata di atas tulang-tulang karang, dan menyebutnya pembangunan.
> “Apa gunanya gedung tinggi, jika udara tak bisa dihirup?”
> “Apa gunanya kendaraan listrik, jika laut untuk mendapatkannya harus diracun?”
Tapi suara-suara itu hanya menjadi gema di pertemuan-pertemuan yang didominasi statistik. Karena di zaman ini, kata “bijak” kalah oleh kata “cuan”.
Metafora dari Karang yang Patah
Raja Ampat adalah puisi yang ditulis oleh Tuhan saat Ia sedang jatuh cinta pada bumi. Tetapi hari ini, puisi itu dirobek satu bait demi satu bait, lalu dijual kiloan.
Karang tak lagi menjadi taman laut, melainkan tambang darurat. Ikan-ikan dilihat sebagai protein ekspor, bukan sebagai makhluk roh yang harus dihormati. Dan manusia, tak ubahnya predator bersertifikat.
Jika karang bisa bicara, ia mungkin akan berkata:
> “Aku bukan batu biasa. Aku adalah penjaga waktu. Tapi kalian menjadikanku reruntuhan.”
Di mata pengusaha, karang hanyalah batu. Di mata filsuf, karang adalah riwayat bumi yang bersajak. Tapi suara filsuf dibungkam, karena tak mendatangkan investor.
Socrates akhirnya duduk, mengusap air matanya dengan pasir, dan berkata:
> “Ketika manusia berhenti merenung, maka ia tak lagi layak menjadi manusia. Ia hanya menjadi mesin yang dilumuri darah bumi.”
Krisis Kesadaran, Krisis Jiwa
Inilah krisis terbesar umat manusia: krisis kesadaran.
Manusia lupa bahwa ia berasal dari tanah, bernapas dari udara, dan minum dari hujan. Lupa bahwa kemuliaannya bergantung pada sejauh mana ia bersyukur dan menjaga, bukan sejauh mana ia menghancurkan untuk naik pangkat.
Raja Ampat bukan sekadar pulau-pulau indah. Ia adalah kitab alam, yang menunggu untuk dibaca dengan hati. Tetapi kini, halaman-halamannya dibakar oleh logika ekonomi yang tanpa belas kasih.
Ketika alam diperas seperti sapi industri, maka yang tersisa hanyalah tulang. Dan kita akan duduk di atas tulang itu, menyanyikan lagu “kemajuan” dengan irama deru mesin.
> “Alam tidak pernah memerlukan manusia. Tetapi manusia, selalu membutuhkan alam.”
Namun manusia terlalu sombong untuk mengakuinya. Dan ketika laut naik, tanah retak, dan langit mulai marah, barulah manusia berlutut—terlambat.
Tangisan Terakhir dari Terumbu
Socrates, dalam imajinasi filsafat yang getir, berlutut di atas pasir Raja Ampat dan memandang laut yang mulai keruh.
> “Kita mengira kematian datang dari waktu. Padahal, ia datang dari ketamakan kita sendiri.”
Dan karang pun memucat, bukan karena usia, tapi karena dikhianati oleh makhluk yang paling diberkati namun paling kejam: manusia.
IV
Sajak yang Tersesat di Antara Cangkang-Cangkang Mati
Di kedalaman laut yang dulu memantulkan langit, kini hanyalah kaca buram yang retak. Di antara cangkang-cangkang mati, puisi alam tersesat. Ia pernah mengalun dalam arus lembut, menari bersama bintang laut dan nyanyian paus. Kini, ia berguguran seperti daun yang tak sempat musim gugur.
> “Kita pernah hidup dalam sajak, kini kita mati dalam spreadsheet.”
Ketika Bahasa Alam Tak Lagi Dipahami
Manusia dulu menulis dengan bulu ayam di atas kulit kayu. Kini menulis di atas batu karang, dengan mesin bor sebagai pena, dan darah laut sebagai tinta. Lalu mereka menyebut itu ‘kemajuan infrastruktur hijau’.
Ikan-ikan tak mengerti bahasa manusia. Tapi mereka tahu kapan harus pergi. Terumbu-terumbu tahu kapan harus memucat. Karang tahu kapan tak bisa lagi tumbuh. Mereka semua diam, tapi kepergian mereka adalah bahasa yang paling lantang.
> “Apa arti sebuah sajak jika dunia yang mengilhaminya telah musnah?”
Raja Ampat adalah puisi yang terlalu suci untuk dibacakan dalam rapat perusahaan. Ia bukan untuk dihitung, melainkan untuk direnungi. Tapi puisi itu kini terperangkap dalam power point dan skema investasi.
Sajak itu memanggil, tapi tak ada yang mendengar. Karena telinga manusia telah ditutup dengan logam nikel, dan mata mereka buta oleh cahaya palsu kemajuan.
Cangkang Mati: Monumen Keserakahan
Berjalanlah di pesisir Pulau Misool hari ini. Di sana, cangkang-cangkang mati berserakan seperti prasasti. Setiap cangkang adalah makam kecil dari kehidupan yang tak pernah kembali.
> “Inilah sisa-sisa kerajaan laut, yang dihancurkan bukan oleh waktu, tetapi oleh arogansi.”
Cangkang-cangkang itu dulu dihuni oleh makhluk yang tak pernah meminta lebih dari yang mereka butuhkan. Mereka tak pernah menggelar konferensi tentang lingkungan, tapi mereka menjaga ekosistem lebih baik dari menteri-menteri kita.
Kini manusia berdiri di atas makam itu, berfoto dengan pose bangga, lalu memberi keterangan: #EcoTourism.
Ironi paling halus adalah ketika sang pembunuh datang dengan spanduk bertuliskan “Penyelamat”.
Sajak yang Tak Selesai
Di antara cangkang-cangkang itu, Socrates membungkuk. Ia mengambil satu kerang kecil dan mendekatkannya ke telinga, seolah ingin mendengar laut bernyanyi lagi. Tapi yang terdengar hanya gema kesunyian.
> “Puisi ini belum selesai,” katanya, “tapi pena kita telah menghancurkannya sebelum titik.”
Ia melempar kerang itu ke laut, bukan sebagai amarah, tapi sebagai doa. Doa terakhir dari karang.
Dan laut pun diam, terlalu lelah untuk menanggapi, terlalu sering disakiti untuk percaya.
Epitaf Laut yang Terlupakan
Sajak Raja Ampat kini adalah sajak patah, hilang rima dan nadanya. Tercecer di antara reklamasi, tergilas di antara truk-truk tambang, dan terkubur dalam presentasi investor yang penuh senyum palsu.
Jika laut punya batu nisan, maka akan tertulis:
> “Di sini pernah hidup simfoni biru. Mati oleh tangan yang menyebut dirinya tuan.”
V
“Doa-doa yang Tak Lagi Naik ke Langit, Karena Langit Telah Dipenuhi Asap Tambang.
Langit dulu adalah kanvas tempat para nelayan menuliskan harap. Setiap fajar adalah janji baru. Setiap senja, tempat beristirahatnya doa-doa. Tapi kini langit itu keruh, bukan karena mendung, melainkan karena mesin. Langit telah digantikan oleh awan hitam buatan manusia—hasil dari tungku-tungku tambang yang membakar perut bumi tanpa ampun.
> “Doa tidak pernah gagal. Tapi langit kini penuh sesak. Tertutup debu ambisi dan laporan laba.”
Katedral Alam yang Dijadikan Gudang Material
Pulau-pulau Raja Ampat dulu seperti altar suci. Karang-karangnya seperti doa beku yang dijaga waktu. Setiap riak ombak adalah zikir. Tapi kini, katedral itu telah disulap menjadi gudang material. Batuan suci yang menyimpan sejarah ribuan tahun dikuliti paksa oleh alat berat.
Orang-orang yang datang tak lagi menunduk untuk bersyukur. Mereka mendongak, bukan untuk merenung, tapi untuk memastikan drone mereka menangkap gambar terbaik. Foto mereka akan viral, sementara tanah yang diinjaknya akan tinggal debu.
> “Mereka menyebutnya destinasi wisata dunia. Tapi dunia macam apa yang didambakan bila isinya hanya sisa-sisa dunia yang telah dirusak?”
Langit Telah Tertutup, Doa Tersesat
Seorang ibu tua di pesisir Kampung Sauwandarek masih berdoa. Tapi tak ada angin yang membawa ucapannya ke awan. Asap dari tambang di sebelah timur mengubur suara hatinya. Ia bertanya dalam hati: “Apakah Tuhan masih tinggal di langit, atau sudah hengkang karena jemu melihat ulah ciptaan-Nya?”
Burung cendrawasih, sang penari surgawi, kini lebih banyak sembunyi. Mereka dulu adalah penjaga langit, mengawasi dengan mata bening dan sayap yang memancarkan cahaya. Kini mereka menjadi siluet yang lenyap, digantikan oleh bayang-bayang helikopter dan mesin bor.
> “Burung surga tak bisa hidup di dunia neraka.”
Surat Terbuka kepada Langit
Jika langit bisa membaca, mungkin ia akan menerima surat begini dari seorang anak kampung:
> “Langit yang dulu biru,
aku tahu kau tak pergi,
tapi mengapa kau tak lagi menjawab?”
“Kami di sini sesak,
bukan hanya karena udara,
tapi karena kehilangan makna.”
“Jika kelak aku mati,
tolong beri tahu awan—
bahwa kami tak pernah ingin membunuhmu.”
Langit Adalah Cermin Jiwa
Langit adalah cermin dari jiwa kita. Saat ia muram, itu bukan karena ia marah. Tapi karena ia sedang memantulkan kebusukan dalam hati manusia.
Langit Raja Ampat dulu adalah tempat terakhir bagi doa-doa yang tak sempat dikabulkan. Kini ia seperti gudang penyesalan yang penuh sesak. Di sana, gema doa bersaing dengan bunyi dinamit, dan kadang kalah.
> “Doa-doa kini bukan tak didengar. Tapi terlalu banyak dusta yang mengikutinya.”
Langit Tak Lagi Biru, Tapi Kita Tetap Buta
Ketika langit tak lagi biru, sebagian manusia membeli filter kamera. Mereka tak mencoba memperbaiki dunia, mereka hanya ingin dunia tetap terlihat indah, walau busuk di dalam. Doa-doa kini dijadikan konten, dipaketkan dalam promosi pariwisata spiritual yang tak punya ruh.
Dan langit pun, lelah menerima kebohongan dari bumi.
VI
“Dan Karang pun Bersaksi di Hadapan Para Dewa Laut yang Telah Dibuang”
Pada zaman purba, ketika manusia belum mahir membangun pelabuhan, para karang adalah penjaga pertama yang mengajarkan arti keseimbangan. Mereka tumbuh pelan-pelan, seperti doa yang sabar, seperti cinta yang tidak rakus. Dalam keheningan mereka memahat istana bagi ribuan makhluk kecil, mempersembahkan keindahan yang tak pernah meminta tepuk tangan.
Kini, karang-karang itu menjadi reruntuhan sunyi. Dan dalam sunyi itu, mereka bersaksi—bukan di pengadilan manusia, tapi di hadapan para dewa laut yang telah diusir dari samudra mereka sendiri.
> _”Kami tidak mati karena waktu,” kata Karang Raja Ampat,
“Kami dibunuh oleh anak-anak tanah yang kehilangan ibunya.”
Dewa Laut Telah Diusir ke Kedalaman
Dulu, laut punya penguasa. Bukan dalam arti kekuasaan, tapi dalam bentuk penjaga. Para dewa laut: Tuan Gelombang, Putri Alga, Nenek Pasang Surut, mereka menjaga harmoni tak tertulis antara karang dan awan, antara paus dan plankton, antara nelayan dan doa.
Kini para dewa laut diusir oleh kapal-kapal pengeruk yang datang dengan seragam korporasi dan senyum investasi. Mereka datang bukan membawa persembahan, tapi membawa kontrak, ekskavator, dan janji-janji kotor. Dan dewa-dewa itu pun turun ke dasar, mengasingkan diri dalam gua-gua gelap yang tak lagi dikunjungi oleh doa.
> “Kami tak lagi ditakuti. Kami tak lagi dipercaya. Kini laut dipuja seperti mesin uang, bukan seperti ibu kandung.”
Karang Menjadi Notulen Kehancuran
Karang-karang di Raja Ampat tidak pernah berteriak. Tapi mereka mencatat. Dalam sunyi mereka menyimpan cerita: tentang sirip-sirip yang patah, tentang bayi penyu yang gagal menetas, tentang nelayan yang kini menjadi pemandu turis—dengan wajah yang dipoles untuk menyembunyikan kegundahan.
> “Mereka datang dengan kamera bawah laut,
mencari estetika dari luka yang mereka buat sendiri.”
Karang tahu bahwa tubuh mereka kini menjadi mozaik kepunahan yang difoto dari atas oleh drone pariwisata. Karang tahu bahwa mereka sedang mati, tapi tetap berusaha menjaga hidup lain. Mereka menulis kesaksian mereka dalam warna yang pudar, dalam simfoni karang yang tak sempat didengar.
Simposium Sunyi di Dasar Samudra
Malam hari, saat manusia sibuk memesan tiket wisata dan menonton video promosi “Surganya Raja Ampat,” laut menggelar simposium sunyi. Para karang berbicara kepada paus, ikan-ikan kecil menyimak, dan seekor duyung tua menangis tanpa suara.
> _”Kami tidak iri pada daratan,” ujar karang,
“Tapi mengapa daratan selalu ingin mencuri kami?”
Lalu muncullah bayangan Socrates, turun ke laut dalam wujud cahaya yang patah dari bulan. Ia duduk di atas karang yang sudah terkelupas dan berkata pelan:
> “Ketika manusia mengganti kesadaran dengan keserakahan,
bahkan karang pun harus menjadi filsuf.”
Deklarasi Karang Terakhir
Di akhir malam itu, sebelum gelombang pasang naik dan menelan bisu segalanya, karang-karang mengucapkan deklarasi terakhir:
> “Kami tidak bisa melawan.
Tapi kami bisa mati dengan martabat.
Dan saat laut ini menjadi kuburan massal,
biarlah tubuh kami menjadi prasasti:
Bahwa dulu pernah ada surga,
yang dihancurkan oleh tangan manusia sendiri.”
Kepunahan yang Di syair kan, Bukan Dicegah
Di dunia ini, kehancuran sering kali tidak dicegah. Ia hanya di syair kan, difilmkan, dan dijadikan dokumenter. Raja Ampat tak butuh puisi ratapan. Ia butuh kesadaran. Tapi manusia lebih senang menulis elegi ketimbang mengubah sistem.
> Karang yang bisu lebih jujur daripada manusia yang pandai berkata-kata.
VII
Wisatawan Terakhir dan Kamera yang Tak Bisa Merekam Nurani
Pada suatu pagi yang dibaptis cahaya emas, seorang wisatawan berdiri di ujung dermaga Raja Ampat, membawa kamera lensa panjang dan sepatu petualang bermerk mahal. Ia ingin merekam “momen terakhir” sebelum tempat ini berubah menjadi ladang industri. Ia memotret matahari terbit dari balik gugusan karst yang kini dicekam bisikan bor dan rencana tambang nikel.
> Tapi kamera itu tak bisa merekam jeritan sunyi dari plankton.
Tak bisa menangkap hening di hati seekor burung cendrawasih yang kehilangan pohon tempatnya menari.
Pariwisata yang Berkabung dalam Brosur Berwarna-Warni
Ironisnya, keindahan yang dikhianati justru dipoles lebih licin. Brosur-brosur pariwisata masih menyebut Raja Ampat sebagai “surga terakhir,” walau surga itu kini memiliki fondasi beton dan kesepakatan bisnis dalam folder berjilid emas.
> “Datanglah dan lihat sebelum terlambat,” tulis salah satu paket wisata.
Padahal mereka tahu: keterlambatan bukanlah soal waktu, tapi soal kesadaran yang tak kunjung lahir.
Wisatawan terakhir itu merekam ikan-ikan yang berenang seperti puisi air. Tapi ia tak tahu bahwa tak lama lagi, laut ini akan keruh oleh tumpahan logistik industri. Ia mengambil gambar karang, padahal karang itu sudah mati, dicat ulang oleh penyelam lokal untuk mempertahankan “daya tarik visual.”
> Kamera mencintai warna, tapi tidak bisa mencium bau kematian.
Panggung Palsu di Atas Laut Asli
Pemerintah daerah, yang dulunya menjanjikan konservasi, kini tampil dalam forum internasional mengenakan batik laut dan senyum diplomatis. Mereka bicara tentang “keberlanjutan,” sambil menandatangani MoU yang meresmikan tambang di belakang layar.
> “Kami tak menjual alam, hanya memanfaatkannya demi pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Tapi di balik kata “berkelanjutan” tersembunyi kata “pemusnahan yang dijadwalkan.”
Di pulau yang dulunya hanya dihuni oleh nyanyian nelayan dan mantra nenek moyang, kini berdiri resort eksklusif yang memagar laut dengan garis privatisasi. Sementara anak-anak lokal hanya bisa menonton dari kejauhan, dijadikan figuran eksotik dalam film dokumenter luar negeri.
> Raja Ampat tidak sedang dijaga. Ia sedang dijadikan latar belakang untuk pesta-pesta sains dan bisnis yang berkedok pelestarian.
Nurani yang Tak Bisa Direkam
Wisatawan terakhir menulis di caption-nya:
> “Raja Ampat, you healed my soul.”
Tapi tak satu pun dari itu menyentuh dasar laut yang sedang mengelupas. Ia tak mendengar tangis seekor dugong yang kehilangan laguna. Ia tak tahu bahwa camar yang ia potret sedang mencari bangkai untuk bertahan hidup, karena rantai makanan kini diatur oleh spreadsheet perusahaan tambang.
> Nurani tidak bisa disimpan dalam kartu memori.
Ia hanya hidup bila manusia rela melepaskan keinginannya untuk menjadi tuhan atas bumi.
Dan dalam detik terakhirnya, sebelum kapal cepat membawanya kembali ke kota penuh lampu, wisatawan itu bertanya dalam hatinya:
> “Mengapa keindahan harus selalu dijadikan komoditas?”
Tapi ia tak menjawab.Berikut adalah Bab I dari e-book “Doa Terakhir dari Karang: Elegi Satir untuk Raja Ampat yang Terancam”, disusun dalam gaya sastra filsafat, metafora puitis, dan satire elegi lingkungan.
—
Bab I – Firdaus yang Retak: Raja Ampat, Warisan Tuhan yang Diserahkan ke Kantor Tambang
> “Tuhan menanam surga di ujung timur, tapi manusia menukar keindahan dengan kilauan palsu logam yang mengarat dalam hati mereka sendiri.”
Di suatu titik mata angin, Tuhan pernah mencelupkan jari-Nya ke samudra biru dan menciptakan Raja Ampat—tempat di mana karang bernyanyi, ikan menari dalam cahaya surga, dan langit mencium laut tanpa malu. Di sinilah angin bukan sekadar angin, tetapi bisikan leluhur yang tak pernah lelah menjaga bumi.
Namun kini, di tempat di mana cahaya matahari pernah jatuh seperti sutra dari langit, kita menyaksikan retakan pertama pada cermin keabadian. Retakan itu tidak datang dari badai, bukan pula dari gempa bumi, melainkan dari manusia—makhluk yang mengaku cerdas, tapi tak tahu kapan harus berhenti menggali tanah tempat dirinya berdiri.
Bayangkan: di antara pulau-pulau karang yang seharusnya menjadi altar suci bagi perenungan, telah berdiri tiang-tiang besi dengan mulut mesin yang rakus. Mereka tidak mengenal puisi, tidak paham nyanyian paus, tak peduli dengan aroma garam atau kelembutan lumba-lumba. Yang mereka kenal hanyalah nikel, kontrak, dan angka-angka pertumbuhan yang sekarat.
Kapankah Surga Dijual ke Pasar Global?
Raja Ampat dulu adalah destinasi wisata yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga menyucikan batin. Tapi dalam ironi zaman, tempat ziarah jiwa ini kini ditawarkan sebagai tambang oleh para pedagang langit palsu. Mereka yang datang dengan jas rapi dan senyum investasi, menyodorkan rencana penyelamatan planet lewat penghancuran tempat paling hidup di planet ini.
Raja Ampat bukan cuma destinasi wisata—ia adalah tubuh Tuhan yang terbentang. Dan kini, tubuh itu dilubangi. Dikeruk. Dilukai. Hanya untuk memasok bahan baku bagi mobil listrik yang katanya menyelamatkan masa depan, tapi menghancurkan masa kini.
Oh, betapa mudahnya manusia mengganti keheningan karang dengan deru eskavator. Mereka menyebutnya “pembangunan hijau”. Tapi daun yang tumbuh dari uang tambang itu ternyata beracun. Ia tak lagi menghasilkan oksigen, tapi berita-berita bohong tentang keberlanjutan.
Ketika Karang Tak Lagi Menyanyi
Di malam hari, jika engkau duduk cukup hening di tepi pantai, engkau bisa mendengar suara karang menangis. Tangisan itu halus, seperti desir air mata yang tak pernah dilihat manusia karena terlalu sibuk menatap layar saham dan berita ekonomi.
Cendrawasih pun mulai jarang menari. Mereka tahu: hutan-hutan yang dulu menjadi altar tarian mereka, kini mulai diganti dengan jalan-jalan logistik, dan ladang-ladang berdebu yang tak mengenal musim.
Socrates dan Batu Karang: Sebuah Percakapan Imajinatif
Andai Socrates berdiri di sini, di atas karang paling tua di Waigeo, barangkali ia akan berkata:
> “Alam tak butuh manusia. Tapi manusia takkan pernah bisa hidup tanpa alam. Ketika engkau mengebor laut demi mengisi baterai ponselmu, tidakkah engkau sadar, engkau sedang mengebor jantungmu sendiri?”
Tapi tak ada yang mendengar. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan upacara peresmian tambang baru. Dengan spanduk, drone, dan pidato para pejabat yang wajahnya dilapisi bedak dan ketidaktahuan.
Kesimpulan Bab I: Penghianatan yang Dilakukan dengan Wajah Tersenyum
Maka kita harus bertanya: siapa yang menjual firdaus ini? Siapa yang mengizinkan kereta kematian melintas di atas surga karang?
Jawabannya bisa ditemukan dalam hati yang sudah lama tidak mengingat langit. Hati yang mengukur nilai tanah dengan dolar, bukan doa. Mereka bukan hanya penghianat alam, tapi juga pembunuh puisi yang ditulis Tuhan sendiri.
—
> “Jika Raja Ampat adalah kitab alam, maka kita sedang menghapus halamannya satu per satu, demi mencetak brosur pariwisata palsu yang didanai oleh perusahaan tambang.”
—
Apakah Anda ingin saya lanjut ke Bab II – “Di Ujung Bor Mesin dan Ketiadaan Doa”? Saya juga bisa melengkapi ilustrasi dan tata letak jika Anda ingin menyusunnya dalam format e-book yang lengkap (PDF/EPUB).
Ia hanya mengganti lensa.
Wisatawan adalah Saksi yang Tak Bersumpah
Dalam dunia yang menyembah visual, kita kehilangan rasa.
Dalam dunia yang mengabadikan keindahan, kita gagal mempertahankannya.
Wisatawan terakhir pun pulang, membawa gambar, tapi meninggalkan kekosongan.
> Dan Raja Ampat? Ia tetap di sana, dipoles, dijual, dihabisi pelan-pelan.
Surga yang difoto tanpa pernah dipahami.
VIII
Doa Terakhir yang Dihapus dari Peta
Di ujung dunia yang dulu bernama Raja Ampat, laut mengirimkan doa terakhirnya — bukan dalam bahasa manusia, tapi dalam riak-riak yang memecah keheningan.
> “Maafkan kami, wahai manusia yang lupa.
Kami telah menjadi pusara bisu,
di peta yang perlahan-lahan dihapuskan.”
Peta yang Menutup Mata
Ketika para kartografer menggambar ulang peta dunia, ada pula peta yang tak pernah mereka buat: peta untuk menandai kepunahan yang diam-diam berlangsung.
Raja Ampat, dengan segala kerlip warna karangnya, kini menjadi noda di balik garis-garis perdagangan dan tambang.
> Dalam peta baru itu, tempat suci itu berubah menjadi titik abu-abu:
tanda tanya untuk generasi yang kehilangan cerita.
Doa Laut dan Tangisan Karang
Laut menyusun doa dalam gelombang:
bukan untuk meminta maaf, tapi untuk mengingatkan.
Bersama karang yang roboh, bersama burung cendrawasih yang terdiam, ia menangis untuk anak cucu yang mungkin tak pernah melihat keindahan ini.
> “Kami menjadi sejarah yang hilang,
untukmu yang memilih tutup mata.”
Memori yang Terhapus, Warisan yang Terjual
Pemusnahan alam bukan hanya kehilangan rupa.
Ia adalah kehilangan memori.
Kenangan nenek moyang yang hidup di balik setiap batu karang, di setiap riak ombak.
Cerita-cerita yang kini hanya tersisa dalam ingatan yang pudar dan foto-foto yang tak mampu menggantikan rasa.
> “Warisan bukanlah barang yang bisa dijual,”
bisik pasir di pantai yang hampir hilang.
Mawar Hitam di Pusara Raja Ampat
Di atas reruntuhan yang dulu hijau, kini tumbuh mawar hitam—simbol kematian yang elegan dan pahit.
Ia mekar dalam sunyi, menantang manusia untuk berhenti dan bertanya:
> “Apa artinya kemajuan jika hanya meninggalkan kuburan?”
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata.
Ia adalah lukisan hidup dari tangan Tuhan, yang perlahan terkoyak oleh kerakusan manusia.
Sebuah panggilan untuk menyadari bahwa ketika kita memusnahkan alam, kita memusnahkan bagian dari diri kita sendiri.
> “Socrates benar:
Manusia bukan penguasa alam,
kita hanyalah bagian dari alam.”
Dalam sunyi terakhirnya, Raja Ampat berdoa agar kita mendengar dan berubah — sebelum doa itu menjadi hanya gema di dalam peta kosong.
Catatan penulis:
Di sana, di hamparan mutiara samudra, Raja Ampat bertahta—bukan sebagai ratu megah yang disembah, tapi sebagai perawan tua yang terluka oleh tangan serakah.
Karang-karangnya, dulu seperti lukisan ilahi, kini terkoyak menjadi goresan dosa manusia yang tak pernah jera.
Air lautnya, yang dulu berbisik syair cinta alam, kini menjerit dalam sunyi yang tak ada yang mendengar.
Raja Ampat bukan sekadar pulau—ia adalah puisi yang tak lagi lengkap,
sebuah simfoni yang terputus oleh dentuman bor dan janji-janji palsu pembangunan.
Ia adalah cermin bagi manusia yang lupa, bahwa bumi bukanlah warisan dari nenek moyang,
tapi pinjaman dari cucu-cucu yang tak pernah kita jumpai.
Dan ketika riak terakhir menyapu pantainya,
akan kah kita mengerti bahwa kita bukan raja, bukan penguasa—
tapi pecundang yang menjarah taman surga sendiri?
Raja Ampat, kau bukan untuk dijual,
kau bukan untuk dihancurkan.
Kau adalah doa yang berbisik pada angin,
agar manusia sadar sebelum terlambat—
bahwa merusak alam sama artinya dengan mengubur masa depan dalam debu nafsu.
Sumatera Barat, 7 Juni 2025.






