Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia
–
Seorang guru seharusnya dihormati, bukan dicaci. Dihargai, bukan dikorbankan. Namun, di negeri ini, tak jarang guru justru menjadi korban dari sistem yang kaku dan ulah oknum yang tega menindas mereka dengan dalih penegakan hukum.
Kisah pilu ini datang dari SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebuah kisah nyata yang membuat banyak guru di Indonesia mengelus dada. Hanya karena uang dua puluh ribu rupiah, dua guru ASN yang berdedikasi, Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis, akhirnya harus menerima nasib pahit: dipecat tidak dengan hormat (PTDH).

Awal Cerita dari Sebuah Keikhlasan
Lima tahun lalu, seorang kepala sekolah baru dilantik di SMAN 1 Luwu Utara. Tak lama berselang, sepuluh guru honorer datang mengadu. Mereka belum menerima honor selama sepuluh bulan lamanya.
Sang kepala sekolah, dengan niat tulus, menelusuri masalah itu. Setelah dicek, ternyata nama sepuluh guru honorer itu belum masuk ke sistem Dapodik, sehingga honor mereka tidak bisa dibayarkan dari dana BOS.
Tak ingin membiarkan para guru honorer bekerja tanpa penghargaan, kepala sekolah pun berinisiatif menggelar musyawarah bersama majelis guru dan Komite Sekolah. Dalam rapat itu, dicapai kesepakatan: para wali murid bersedia berdonasi sukarela sebesar Rp 20.000 untuk membantu para guru honorer.
Bukan paksaan. Bukan pungutan liar. Semua atas dasar keikhlasan dan kepedulian bersama.
Para wali murid bahagia bisa membantu, dan para guru honorer bersyukur atas kepedulian itu. Semua berjalan harmonis, penuh rasa kekeluargaan.
Namun, keharmonisan itu tiba-tiba hancur berantakan ketika muncul oknum LSM yang mencium “bau uang” dari kegiatan tersebut. Dengan modal laporan dan semangat pencitraan, mereka menuding adanya tindakan korupsi di SMA 1 Luwu Utara.
Hidung Tajam Pencari Kesalahan
Oknum LSM itu melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum. Polisi pun bergerak, memeriksa empat guru, dan menetapkan dua orang sebagai tersangka — Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis.
Padahal, uang itu bukan untuk pribadi mereka. Uang itu dikumpulkan untuk membayar honor guru honorer yang belum digaji. Semua diketahui oleh komite sekolah, bahkan disetujui oleh para wali murid sendiri.
Kasus ini kemudian bergulir ke Pengadilan Tipikor Makassar. Di pengadilan tingkat pertama, kedua guru itu divonis bebas karena tidak terbukti melakukan korupsi. Keadilan seolah berpihak pada kebenaran. Namun, belum sempat bernapas lega, oknum LSM itu kembali beraksi.
Mereka mendesak jaksa untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Entah dengan alasan apa, MA kemudian memutuskan kedua guru itu bersalah, dan menjatuhkan hukuman penjara satu tahun.
Mereka pun menjalani hukuman itu dengan tabah, meski hati mereka hancur. Mereka bukan koruptor, tapi diperlakukan seperti penjahat.
Setelah Bebas, Justru Dipecat
Selesai menjalani masa hukuman, kedua guru itu berharap bisa kembali mengajar. Mereka ingin menebus waktu yang hilang dengan mengabdi untuk anak-anak bangsa. Namun, harapan tinggal harapan.
Kepala Cabang Dinas (Kacabdin) bersurat ke Dinas Pendidikan Provinsi, lalu surat itu diteruskan ke BKD, dan akhirnya sampai ke tangan Gubernur Sulawesi Selatan.
Beberapa waktu kemudian, keluarlah Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) bagi Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis.
Bayangkan betapa pedihnya hati mereka. Setelah berjuang membela martabat profesinya, mereka justru dipecat dengan label yang tidak pantas.
Padahal, semangat mereka adalah semangat gotong royong pendidikan, bukan untuk memperkaya diri.
PGRI Turun Tangan
Kini, nasib dua guru itu sedang diperjuangkan oleh PGRI Luwu Utara. Aksi demonstrasi telah dilakukan. Aspirasi sudah disampaikan ke berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga Kementerian Pendidikan. Namun, belum ada titik terang.
Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, pernah menegaskan bahwa “PGRI tidak akan tinggal diam ketika ada guru yang dizalimi oleh sistem.”
Beliau menilai kasus seperti ini harus dilihat dari niat dan konteks kemanusiaannya, bukan sekadar hitam-putih hukum yang kaku.
Hal senada juga disampaikan oleh Sumardiansyah Perdana Kusumah, Ketua APKS PGRI, yang menyebut bahwa kejadian seperti ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi guru.
“Guru sering kali menjadi korban dari administrasi yang tidak sempurna. Kita harus membangun sistem yang melindungi, bukan menghukum,” ujarnya dalam wawancara dengan media pendidikan.
Sementara itu, saya pribadi, Omjay, hanya bisa mengelus dada. Betapa mirisnya nasib dua guru yang menjadi korban dari birokrasi yang tak berpihak pada nurani. Di saat mereka berjuang demi guru honorer, justru mereka yang dikorbankan.
Presiden Harus Turun Tangan
Jika birokrasi di tingkat provinsi tidak mampu memberi keadilan, satu-satunya tempat mengadu adalah Presiden Republik Indonesia.
Kita tahu, Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan bangsa. Maka, sudah sepatutnya pemerintah turun tangan meninjau ulang keputusan PTDH yang tidak berpihak pada rasa kemanusiaan ini.
Jangan biarkan guru-guru baik seperti Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis kehilangan semangatnya karena keadilan yang tertunda.
Sungguh ironis jika di negeri yang katanya menjunjung tinggi gotong royong, guru yang membantu rekan sesama guru justru dianggap bersalah.
Pelajaran untuk Kita Semua
Kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi dunia pendidikan Indonesia.
Bahwa kebaikan pun bisa berubah menjadi petaka ketika niat baik tidak dilindungi oleh sistem yang berkeadilan.
Bahwa seorang guru harus berhati-hati bukan hanya dalam mengajar, tetapi juga dalam berbuat baik.
Namun, yang paling penting, kisah ini mengingatkan kita bahwa kemanusiaan seharusnya lebih tinggi dari sekadar aturan.
Guru bukan musuh negara. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Maka jangan biarkan mereka menjadi korban dari oknum dan sistem yang kehilangan nurani.
✍ Artikel ini ditulis sebagai bentuk solidaritas terhadap dua guru ASN di Luwu Utara yang menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil. Semoga keadilan segera berpihak pada kebenaran, dan semoga bangsa ini kembali belajar menghargai mereka yang mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.






