/1/

HAPUSLAH AIR MATAMU, HUTANKU

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC-SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Di balik kabut asap yang memunggungi mentari,
hutan ini membuka luka—bukan hanya batang rebah,
tetapi jiwa yang kehilangan udara warisan nenek moyang.
Rimba ini tak lagi diam,
ia merintih,
dalam suara-suara yang tak pernah masuk siaran berita.

Kami dengar bisikan akar
yang ditarik paksa dari tanah kelahiran,
ia bukan sekadar tumbuhan,
melainkan ibu bagi ribuan makhluk
yang kehilangan nama sebelum dikenali manusia.

Hapuslah air matamu, hutanku—
karena puisi ini suara gugus dedaunan
yang gagal gugur dengan kehormatan musim.
Kami menulismu kembali,
bukan sebagai lanskap eksotis di kalender hotel,
tetapi sebagai makhluk hidup
yang punya hak setara dengan nyawa manusia.

Kini, kami tak sekadar mengenangmu dalam bait,
kami menjelma tindakan—
membangun sekolah dari kayu dan bambu sisa ladang terbakar,
menanam kembali benih cinta
di telapak tangan anak-anak
yang lebih paham arti air bersih
daripada algoritma iklan.

Hapuslah air matamu, Hutanku—
warga hutan sedang menulis ulang takdirmu
dengan tinta perlawanan
dan cinta yang tak lagi bisa ditebus
oleh bursa karbon.

Dan jika suatu hari dunia kehilangan kompas nurani,
biarlah puisimu menjadi arah:
hutan bukan warisan,
tetapi darah yang mengalirkan hidup
bagi siapa saja yang masih pantas disebut manusia.

NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
2025

/2/

DI UJUNG NAFAS DAUN

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC-SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Burung-burung memanggil daun
yang tak sempat jatuh dengan damai—
tertahan di jaring musim
yang digerakkan deru logam:
tajam, dingin, tanpa jeda.

Langit luka memar, bewarna tembaga,
menyimpan tangis akar
yang dicabut tanpa pamit,
tanpa sehelai doa pengantar pagi.

Di bawah kanopi yang koyak,
seorang anak menggambar hutan
dengan arang sisa bara,
dan sebutir harapan
yang hanyut ke dasar longsor,
ditemani bayang yang kehilangan
tempat untuk pulang.

NKRI, 2025

/2/

KEMBALILAH HUJAN BERAROMA DAUN

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC-SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Dulu,
hujan datang beraroma daun
seperti syair dari rempah
dan bisik cemara.
Kini,
hujan memanggul debu tambang,
dan keluhan yang mengendap
di liang bumi.

Hutan ibu pertiwi tak lagi halaman puisi—
melainkan neraca laba rugi
yang menghapus akar
dan menyekap napas tanah air sendiri.

Satwa dan fauna berseru pada rembulan,
yang tersesat dari puncak mahoni
ke hutan gundul, kering, tandus,
yang tak mengenalnya lagi.

Kami tak menuntut simpati.
Hanya sepotong keadilan
yang mengerti
bagaimana tanah
seharusnya dipeluk akar,
dan kita
belajar mendengar
sebelum menambang dan membangun,
agar kembali hujan beraroma daun.

NKRI, 2025

/3/

RINTIH POHON YANG TUMBANG

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC-SHILA, ASM, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Pernahkah kalian dengar—
dalam mimpi anak rimba—
rintih pohon yang tumbang
tanpa pencatatan,
tanpa upacara?

Di dada kami, damar menyala—
bukan lilin duka,
tapi cahaya yang tak letih
menunjukkan jalan pulang.

Kami, yang tak tercantum di peta,
masih menyanyikan sunyi
dari jantung hutan dan napas angin,
mengirim doa
dalam tiap helaian daun.

Jangan ajari kami arti kemajuan
jika harganya adalah
padang perpisahan
yang bahkan tak sempat
kita wariskan
kepada sunyi malam.

NKRI, 2025

/4/

TAK ADA HUTAN YANG SUDI MATI SENDIRI

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC SHILA, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kami bukan duri yang mencakar,
melainkan akar yang mencinta, setia bersimpuh di dada bumi—
menolak berpindah meski rimba diseret pergi
tanpa pamit, tanpa salam.

Kami adalah gema sejarah,
suara yang gugur sebelum sempat menjadi kabar,
jejak dari tanah basah yang menyimpan peradaban
dalam sunyi yang menggenang dan mengandung luka.

Dengarlah—
rintih keladi di sela lengang,
hela napas satwa yang tercerabut dari sarangnya,
teriakan fauna yang terusir dari rumah pusaka.

Lihatlah—
tangis kayu di rimbun hutan,
air mata sagu dan matoa yang tertahan
di ujung musim yang tak sempat pulang.

Kami tidak membawa dendam—
yang kami bawa adalah rindu yang lirih,
rindu pada masa ketika tanah disebut “ibu,”
bukan angka-angka beku dalam kontrak yang membatu,
yang menuliskan luka dalam bahasa logam dan ambisi.

Langit kami masih menyimpan awan
dalam napas cenderawasih dan kasuari,
namun tubuh bumi telah disayat—
diiris perlahan seperti daging
di atas timbangan bisu,
yang tak pernah peduli pada denyut kehidupan.

Kami menyaksikan sungai mencari dirinya sendiri,
peta-peta kehilangan ingatan,
sementara korporasi hafal luar kepala
jalur eksploitasi menuju jantung hutan
yang kini tinggal luka terbuka.

Tak ada hutan yang sudi mati sendiri.
Ia tak menyerah—
ia hanya merunduk, menanti cinta
datang dengan mata hati, bukan dengan senjata.
Ia membuka tangan,
bukan untuk tunduk,
tapi untuk diajak bicara
dalam bahasa bunga
yang belum sempat mekar.

Kami belajar dari semut yang sabar,
dari akar yang tak pernah mengingkari bumi,
dari bayangan yang tetap setia
meski cahaya perlahan menghilang.
Kami belajar dari embun
yang tak pernah meninggalkan dedaunan
meski pagi datang dengan gemetar.

Dan jika kau bertanya:
“Siapa yang kalian lawan?”
Kami akan menjawab:
kami berdiri bersama yang hidup,
bagi mereka yang lupa
bahwa bumi pun punya hak—
untuk bicara,
untuk bernapas,
untuk merayakan pagi
tanpa deru mesin
atau bekas luka tambang.

Kami hanya satu suara
di antara berjuta yang tenggelam
dalam lumpur izin dan kesepakatan gelap.
Namun kami terus menulis:
dengan aksara batu dan kabut,
dengan daun gugur dan air yang sabar,
dengan udara dan luka
yang memilih diam—
namun tak pernah absen
menyuarakan cinta.

Hingga dunia mengerti—
bahwa mencintai bukanlah mengambil tanpa tanya,
bukan memaksa tanpa dengar,
bukan menguasai tanpa hormat.

Sebab cinta,
kadang hadir dalam rupa penjaga:
jujur, setia, tabah,
meski tak disambut,
meski hanya berdiri
di tepi hutan
yang tak sudi mati—
sendiri.

NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
2025

/5/

WAHAI DUNIA, MARI DUDUK SEJENAK

Puisi: Leni Marlina

[UNP Padang, PPIM-Indonesia, PPIC, Satu Pena, KEAI, ACC SHILA, Penyala Literasi, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Bukan untuk menggugat,
hanya ingin mengingat:
ada nyawa yang tak bersuara
saat pohon tumbang
atau sungai kehilangan arus sujudnya.

Kami menulis,
seperti akar yang menyusup ke celah batu—
bukan untuk mengguncang,
melainkan menghidupkan
yang nyaris dilupakan.

Barangkali dunia tak perlu diselamatkan,
hanya diajak duduk sejenak
mendengar suara dan tangis dedaunan
yang tak sempat gugur
karena terbakar terlalu cepat.

Whai dunia,
sudah sangat panjang dan tua perjalananmu,
berhentilah sejenak,
rasakanlah bau tanah yang asing,
ingatlah:
ada cinta hutan yang ingin tetap tinggal,
bertahan tanpa digunduli,
menahan jalur exploitasi, bangkit kembali bersama nurani anak negeri.

NKRI, 2025

——————————–‐———–
Tentang Penulis: Leni Marlina

Leni Marlina merupakan seorang penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam – Sumbar dan berdomisili di Padang. Ia tumbuh dengan kecintaan pada kata dan keyakinan bahwa sastra bisa menjadi jembatan kebaikan antar manusia. Sejak lama, ia melibatkan diri dalam kegiatan literasi dan sastra, baik di lingkungan kampus, sekitar maupun di berbagai komunitas yang lebih luas.

Sejak tahun 2022, Leni Marlina bergabung dalam keluarga besar SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat, yang dipimpin oleh Ibu Sastri Bakry dan Bapak Armaidi Tanjung. Dalam lingkungan inilah ia banyak belajar dan tumbuh bersama rekan-rekan penulis lainnya.

Pada Mei 2025, Leni diberi kehormatan sebagai Penulis Terbaik Tahun Ini oleh SATU PENA Sumatera Barat dalam acara Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3). Penghargaan ini ia terima dengan penuh rasa syukur, sebagai bentuk dukungan bagi semangat gotong royong dalam membangun budaya baca dan tulis di tanah air.

Di luar negeri, Leni menjadi bagian dari ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA) yang dipimpin oleh penyair dunia Anna Keiko. Sejak 2024, ia dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC SHILA, dan pada 2025 diberi amanah sebagai Ketua Perwakilan Asia dalam kelompok duta puisi ACC SHILA—sebuah kesempatan untuk mempererat jalinan budaya melalui puisi.

Tahun yang sama, ia juga bergabung dengan World Poetry Movement (WPM) Indonesia, yang dikordinasikan oleh Ibu Sastri Bakry, sebagai bagian dari gerakan puisi dunia yang berpusat di Kolombia.

Perjalanan Leni di dunia sastra internasional bermula saat menempuh studi S2 Menulis dan Sastra di Australia pada 2011–2013. Saat itu, ia menjadi anggota komunitas penulis di Victoria dan belajar dari banyak penulis lintas budaya.

Pada 31 Mei 2025, Leni dengan sejumlah komunitas yang dipimpinnya, bersama Achmad Yusuf (sebagai ketua), turut menyelenggarakan kegiatan Poetry BLaD (Peluncuran & Diskusi Buku Puisi) dan IOSoP (Seminar Internasional Online tentang Puisi) 2025, diamananahkan oleh Media Suara Anak Negeri News (di bawah pimpinan Paulus Laratmase) berkolaborasi dengan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Kegiatan ini adalah ruang bersama untuk berbagi semangat dan cinta terhadap literasi, kemanusian dan perdamaian melalui karya saatra, puisi.

Sejak 2006, Leni mengabdi sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di bidang bahasa, sastra, dan penulisan. Ia percaya bahwa pendidikan dan karya tulis dan karya kreatif adalah bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Di luar aktivitas kampus, Leni juga menulis sebagai jurnalis lepas, editor, dan kontributor digital. Sejumlah karyanya dapat dibaca di: https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa

Leni juga memulai dan mendampingi sejumlah komunitas literasi dan sosial berbasis digital, antara lain:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community (PPIC)
3. PPIPM Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat):
https://shorturl.at/2eTSB
https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur): https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community (Ling-TC)
6. Literature Talk Community (Littalk-C)
7. Translation Practice Community (Trans-PC)
8. English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C)