Politisi tetap berambisi, meski ada yang gantung diri.
Tak siap tak terpilih, tergantung di depan poster sendiri.
Tetap tak sadar, tak berubah diri.
Mereka bukan penyembuh, hanya berjualan obat.

Mereka bukan peduli, hanya berpura-pura cinta.
Mereka bukan martabat, hanya bermain uang dan tahta.
Membalutnya untuk calon pembeli, yang menderita kurap.

Pengemis tak tertipu, dengan kayu mengetuk.
Baginya cinta dan peduli bukan sulap, atau obat sesaat.
Kakinya buntung butuh sembuh, nasibnya menggelantung tak ada obat.

Berlalu tak hirau, hanya kayu penopang, pada debu bertebaran di jalan panjang.
Kulihat para ibu membawa poster, tertulis, “Kami janda merdeka kuat, dari paksa dan perbudakan pria perkasa.”

Mereka lupa cinta tak berat.
Di seberang itu kuberpapasan muda-mudi, sejoli bak Khais Laila bergandengan erat.
Kuragu mereka melirik pemimpin atau pengemis, atau memandang para perempuan pantang menangis.

Mereka sepakat berjanji sehidup semati, rohaniawan berorasi, “Cinta-mati adalah sejoli diikat janji”.
Kutanya si tua, jawabnya, “Itu benar tapi pada cinta ada mati”.

Ini memusingkan, gelap, pekat, melampaui kampanye asal politisi.
Juga poster janda, makna bisa sebaliknya, lemah tak berenergi.
Mahasiswa mengkritisi, “Itu berdimensi metafisika sekarang”.

Kulihat lagi poster para wanita mandiri tanpa suami, yang mereka bawa sambil berteriak seperti penjual obat atau politisi.
Terbaca, “Uang tahta pasti kini atau na