Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Kisah Om Jay, Guru Blogger Indonesia

Bulan November ini menjadi bulan yang istimewa bagi dunia pendidikan Indonesia. Selain karena kita memperingati Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-80, dua isu besar juga sedang ramai diperbincangkan di kalangan pendidik: program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Tunjangan Profesi Guru (TPG).

Keduanya sama-sama berkaitan dengan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, meski dari sisi yang berbeda. MBG menyentuh sisi peserta didik agar tumbuh sehat dan siap belajar, sedangkan TPG menyentuh sisi guru agar dapat bekerja dengan tenang dan profesional. Dua program ini ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Makan Bergizi Gratis: Harapan Baru Bagi Anak Indonesia

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pemerintah yang mulai disosialisasikan secara luas pada akhir 2025. Gagasan ini lahir dari kepedulian terhadap kondisi gizi anak-anak Indonesia, terutama di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar.

Kita tahu, tidak sedikit siswa datang ke sekolah dengan perut kosong. Ada yang hanya minum teh manis atau bahkan tidak sarapan sama sekali. Akibatnya, mereka sulit berkonsentrasi di kelas dan mudah lelah. Di sinilah pentingnya MBG. Program ini tidak sekadar memberi makan, tapi memberi energi untuk belajar dan harapan untuk masa depan.

Bayangkan jika setiap anak sekolah dasar dan menengah mendapatkan satu porsi makan bergizi setiap hari sekolah. Bukan hanya meningkatkan angka kehadiran siswa, tetapi juga membantu mengurangi stunting dan memperkuat karakter gotong royong. Sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua, koperasi sekolah, hingga UMKM lokal untuk menyediakan bahan pangan segar.

Program ini akan berdampak ekonomi ganda. Petani, nelayan, dan pedagang kecil akan ikut merasakan manfaatnya karena bahan pangan untuk MBG diserap dari hasil bumi lokal. Maka, MBG bukan hanya program pendidikan, tetapi juga gerakan sosial dan ekonomi rakyat.

Tunjangan Profesi Guru (TPG): Bentuk Penghargaan dan Keadilan

Di sisi lain, kabar menggembirakan juga datang untuk para pendidik di seluruh Indonesia. Pada awal November ini, banyak guru melaporkan bahwa dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) sudah cair dan masuk ke rekening masing-masing.

Bagi sebagian guru, TPG adalah “napas tambahan” yang sangat dinanti. Namun lebih dari sekadar insentif, TPG merupakan pengakuan terhadap profesionalisme guru. Untuk bisa menerima TPG, seorang guru harus memenuhi berbagai persyaratan administrasi dan kompetensi. Artinya, tunjangan ini bukan hadiah, tetapi hak yang diperoleh karena kerja keras dan dedikasi.

Saya sendiri, Omjay, merasa bersyukur karena TPG bulan ini akhirnya cair setelah melalui proses validasi yang cukup panjang di laman info.gtk.dikdasmen.go.id. Prosesnya memang tidak mudah, tapi dengan kesabaran dan komunikasi yang baik antara guru, operator sekolah, dan dinas pendidikan, akhirnya dana tersebut bisa diterima tepat waktu.

Namun, di balik rasa syukur itu, masih ada banyak guru yang mengeluh karena TPG mereka belum cair. Ada yang terkendala validasi data, ada pula yang masih menunggu SK Dirjen. Inilah tantangan yang harus terus dibenahi oleh pemerintah agar semua guru yang memenuhi syarat mendapatkan haknya tanpa hambatan administratif yang berbelit-belit.

Keduanya Harus Berjalan Beriringan

Jika MBG ditujukan untuk meningkatkan gizi dan semangat belajar siswa, maka TPG ditujukan untuk meningkatkan motivasi dan kinerja guru. Keduanya harus berjalan beriringan. Tidak akan ada pendidikan yang bermutu jika murid lapar, dan tidak akan ada pembelajaran yang bermakna jika guru tidak sejahtera.

Guru dan siswa adalah dua pilar utama pendidikan. Guru mengajar dengan hati, siswa belajar dengan semangat. Pemerintah harus memastikan keduanya mendapat perhatian yang seimbang. MBG menyiapkan masa depan anak-anak Indonesia yang sehat dan cerdas, sementara TPG memastikan guru-guru tetap profesional dan berdedikasi tinggi.

Komentar Omjay: Menyentuh Hati dan Pikiran

Sebagai seorang guru dan penulis yang telah lebih dari 25 tahun berkecimpung di dunia pendidikan, saya (Omjay) melihat bahwa dua program ini tidak boleh hanya menjadi slogan politik atau proyek jangka pendek. Harus ada sistem pengawasan, evaluasi, dan kolaborasi nyata agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat.

> “Makan Bergizi Gratis bukan sekadar memberi makan, tapi memberi masa depan.
Tunjangan Profesi Guru bukan sekadar uang, tapi bentuk penghormatan terhadap ilmu dan pengabdian.”

Saya berharap ke depan, pelaksanaan MBG dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat sekolah. Sedangkan untuk TPG, pemerintah perlu mempercepat digitalisasi sistem validasi agar proses pencairan lebih efisien dan adil.

Selain itu, guru juga perlu introspeksi. Sudahkah kita mengajar dengan sungguh-sungguh setelah menerima tunjangan profesi? TPG seharusnya menjadi motivasi untuk lebih berinovasi, bukan sekadar rutinitas administratif. Guru harus menulis, meneliti, dan berbagi praktik baik agar tunjangan itu benar-benar mencerminkan profesionalisme sejati.

Penutup: Pendidikan yang Berkeadilan dan Berkeadaban

MBG dan TPG adalah dua kebijakan yang berpihak kepada kemanusiaan. Satu memberi makan, satu memberi penghargaan. Satu menyentuh perut anak-anak bangsa, satu menyentuh hati para pendidik. Jika dijalankan dengan hati, keduanya akan menjadi pondasi emas menuju Indonesia Emas 2045.

Semoga para siswa tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia.
Semoga para guru terus berkarya, bersemangat, dan sejahtera.
Karena bangsa besar lahir dari anak-anak yang bergizi dan guru-guru yang dihargai.

Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia | Penulis Kompasiana
Blog https://wijayalabs.com