Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd.
(Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus)

Persahabatan adalah kebutuhan dasar setiap manusia, termasuk bagi anak-anak. Namun dalam realitas sosial hari ini, nilai ini kian terpinggirkan. Anak-anak bukan hanya menghadapi tekanan akademik, tetapi juga harus bertahan di tengah budaya perundungan, kekerasan, dan diskriminasi—baik di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan umum, maupun pendidikan keagamaan.

Laporan Tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2024 mencatat sebanyak 2.057 pengaduan pelanggaran hak anak. Dari jumlah itu, 954 kasus telah ditindaklanjuti. Masalah terbesar justru berasal dari pengasuhan keluarga, dengan 1.097 kasus bermasalah. Kekerasan seksual menyumbang 265 kasus, sementara kekerasan digital termasuk perundungan daring mencapai 41 kasus. Tak sedikit dari kasus tersebut terjadi di lingkungan pendidikan—ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya nilai kasih dan persahabatan.

Dalam Islam, persahabatan bukan sekadar hubungan emosional, tetapi cerminan akhlak dan tanggung jawab sosial. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya” (HR. Abu Dawud). Sayangnya, banyak lembaga pendidikan lebih menekankan persaingan daripada kolaborasi. Anak diajarkan untuk unggul, tetapi tidak dibekali kepekaan untuk menghargai dan merangkul yang tertinggal. Praktik senioritas pun kadang berubah menjadi warisan kekerasan yang dilanggengkan.

Dalam bukunya Pendidikan Anak dalam Islam (2016), Abdullah Nasih Ulwan menekankan pentingnya membiasakan anak mencintai sesama, menolong yang lemah, dan menjauhi sikap egois. Orang tua, kata Ulwan, harus menanamkan pada anak “cinta kepada orang lain… serta menjauhkan diri dari sikap egois dan individualistis.” Pendidikan moral semacam ini menjadi fondasi penting dalam membentuk pribadi yang ramah, terbuka, dan siap menjalin persahabatan sejati.

Senada dengan itu, dalam bukunya Agar Anak Kita Tidak Menjadi Korban Zaman (2017), Mohammad Fauzil Adhim menekankan bahwa anak yang tidak tumbuh dalam suasana kasih sayang dan kepedulian berisiko kehilangan arah hidup saat dewasa. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh cinta cenderung tumbuh menjadi pribadi yang ramah, peduli, dan tidak mudah menyakiti sesama. Ini menunjukkan bahwa suasana emosional yang sehat dan hangat menjadi pondasi kokoh dalam membentuk karakter sosial anak.

Namun, tanggung jawab membentuk karakter bersahabat tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada lembaga pendidikan. Keluarga adalah madrasah pertama. Sering kali, anak belajar membenci sebelum mengenal. Ia menyaksikan orang tuanya mencaci yang berbeda agama, merendahkan yang miskin, atau memusuhi lawan politik. Semua itu direkam dalam jiwa anak, lalu dipraktikkan dalam bentuk kekerasan terhadap teman sebaya.

Pendidikan persahabatan harus dimulai dari rumah, diperkuat di lembaga pendidikan, dan ditegaskan di ruang publik. Anak perlu dikenalkan pada nilai empati, kesetaraan, dan keberanian membela yang lemah. Al-Qur’an mengingatkan, “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok” (QS. Al-Hujurat: 11).

Pesan moral juga datang dari dunia sastra anak. Dr. Seuss dalam Horton Hears a Who! (1954) menulis, “A person’s a person, no matter how small.” Kalimat sederhana ini menyentuh: setiap anak—sekecil dan setak terlihat apa pun dirinya—berhak dihargai dan diperlakukan sebagai sahabat.

Di tengah dunia yang makin keras dan individualistis, anak-anak perlu belajar bahwa mereka tidak harus tumbuh dengan saling menjatuhkan. Persahabatan mengajarkan mereka untuk menghargai perbedaan, mengulurkan tangan saat yang lain terjatuh, dan tumbuh bersama tanpa saling meninggalkan. Menanamkan nilai ini sejak dini bukan hanya membentuk karakter yang kuat, tapi juga membangun masa depan yang lebih hangat, adil, dan penuh kepedulian.