Yusufachmad Bilintention

Tiga versi puisi reflektif karya Opa Paulus Laratmase, disertai apresiasi naratif oleh Yusuf Achmad dan Anto Narasoma. Sebuah penghormatan terhadap sastra yang jujur dan bernurani.

Dalam dunia sastra yang kerap terjebak dalam sorotan dan gengsi, puisi-puisi Paulus Laratmase hadir sebagai ajakan untuk kembali ke ruang senyap: tempat di mana kata tumbuh dari kejujuran, bukan dari ambisi. Sebagai CEO Suara Anak Negeri News, Mas Paulus tidak hanya mengelola media, dan menyuarajan yang tak bersuara, tapi juga merawat nurani sastra Indonesia. Puisi “Menjadi Cahaya yang Dicari” adalah manifestasi dari panggilan batin itu.

Tulisan ini menampilkan tiga versi puisi tersebut:

  • Versi asli yang penuh refleksi filsafat dan kritik sosial
  • Versi pemendekan yang dirancang bersama untuk publikasi
  • Versi kurasi oleh Anto Narasoma, penyair dan jurnalis senior, yang memberi sentuhan estetik dan naratif

Ketiganya membentuk satu kesatuan: sebuah perjalanan kata yang menyentuh, menggugah, dan mengajak kita menulis untuk menyala, bukan untuk disanjung.

1. Menjadi Cahaya yang Dicari

Oleh Opa Paulus Laratmase

Mereka lebih cepat memuja nama besar
daripada mendengar suara kecil yang jujur
dan pada akhirnya, semua itu
menjadi cermin kegelisahan diri yang tak terelakkan.

Fenomena itu menyingkap luka lama di tubuh sastra:
ketika karya kehilangan kemurnian
karena terjerat gengsi, jaringan, dan kekuasaan simbolik.
Ketika pengakuan menjadi candu,
dan kebaikan sejati tenggelam
dalam lomba saling memuja diri.

Sastra…
sejatinya adalah perjalanan sunyi mencari makna,
bukan sorotan lampu di panggung penghargaan.

Namun kini banyak yang ingin disebut
“baik,” “berprestasi,” “berpengaruh.”

Kita berlari mengejar sorotan,
mengatur langkah agar tampak indah di mata dunia

Dan dalam perjalanan itu,
kita sering lupa:
cahaya sejati tak pernah berlari ke arah keramaian.
Ia tumbuh dari dalam.

Ketika penghargaan menjadi pusat gravitasi,
kebaikan dan ketulusan
menjadi bayangan di pinggir panggung.

Di sanalah kita kehilangan arah moral
saat penghargaan lebih penting dari kejujuran berkarya.
Padahal dunia sastra yang seharusnya menyembuhkan,
justru ikut terluka.

Jadilah orang baik yang dicari
Sebuah ajakan untuk menata ulang
cara kita memahami nilai.

Jangan menulis untuk disanjung,
tulislah untuk menyala.
Jangan menanti pujian,
jadilah karya yang membuat orang berhenti sejenak dan merenung.

Kebaikan tak memerlukan sertifikat.
Ia tumbuh di ruang senyap,
di hati yang terus belajar jujur,
di pikiran yang tak berhenti mengolah Nurani

Karena keberadaannya sendiri
sudah menjadi pengakuan yang paling murni.

Luka, betapa pun menyakitkan,
selalu punya fungsi mulia:
mengajarkan kita peka terhadap kebaikan.

Kita tak perlu menutup luka dengan pujian
biarlah ia terbuka,
agar udara kejujuran bisa masuk.

Dari luka itulah
sastra Indonesia dapat bernapas kembali,
menjadi perahu kecil
yang menyeberangi samudra kebohongan
menuju pantai kebenaran.

Menjadi orang baik yang dicari
bukan berarti menjadi sempurna.

Ia mengajarkan kita menulis, berkarya, dan hidup
dengan kesadaran
bahwa setiap tindakan memiliki gema moral.

Sastra, seperti manusia,
hidup dan tumbuh dari ruang kecil
dari tangan yang menulis dengan hati jernih.

Karena di sanalah penghargaan sejati tumbuh,
bukan di plakat yang dingin,
melainkan di hati
yang nyaris kehilangan harapan, lalu disentuh oleh kata.

Kita tak perlu berlari mengejar siapa pun.
Kebaikan yang tulus selalu tahu jalan pulang.
Ia akan menemukan kita,
seperti cahaya yang perlahan
datang ke ruang gelap.

Menjadi orang baik yang dicari
bukan soal menjadi terkenal,
tetapi tentang memenangkan hati nurani
mereka yang tak mampu bersuara.

Mungkin di situlah makna terdalam
dari sebuah karya sastra:
menanti kejujuran
untuk kembali pulang.

Biak, 29 oktober 2025

2. MENJADI CAHAYA MATAMU

(Versi Yusuf Achmad dan Paulus Laratmase )

dunia yang sibuk menilai,
suara jujur tenggelam
di balik nama besar dan sorotan cahaya matamu

lalu, reputasi pun dipuja
dan integritas dilupakan

sastra pun terluka—
terjerat gengsi, candu pengakuan, serta
panggung yang haus tepuk tangan

padahal ia menjadi
perjalanan sunyi
untuk mencari makna,
bukan parade gelar
dan plakat dingin

engkau pun berlari mengejar sorotan,
lupa pada cahaya sejati
yang tumbuh dari dalam,
bukan dari keramaian

jangan menulis untuk disanjung, tulislah untuk menyala. jangan menanti pujian. jadilah kata
yang membuat orang
berhenti dan merenung

sebab, kebaikan tak butuh sertifikat. ia tumbuh di ruang senyap,
di hati yang jernih,
dan di luka yang tak ditutup, agar udara kejujuran bisa masuk

dari luka itulah sastra bernapas, menjadi perahu kecil yang menyeberangi samudra kebohongan, menuju pantai kebenaran

menjadi orang baik memang dicari,
bukan soal menjadi sempurna,
tapi tentang menulis dan hidup dengan gema nurani

karena penghargaan sejati bukan di podium,
melainkan di hati
yang nyaris padam

lalu disentuh kata kebaikan yang tulus
dan tahu jalan pulang

sebab ia akan menemukan kita,
seperti cahaya yang pelan-pelan datang secara tergesa-gesa,
lalu menyelinap ke ruang gelap

Surabaya, 30 Oktober 2025

3. MENJADI CAHAYA MATAMU

(Versi Anto Narasoma dan Paulus Laratmase )

dunia yang sibuk menilai,
suara jujur tenggelam
di balik nama besar dan sorotan cahaya matamu

lalu, reputasi pun dipuja
dan integritas dilupakan

sastra pun terluka—
terjerat gengsi, candu pengakuan, serta
panggung yang haus tepuk tangan

padahal ia menjadi
perjalanan sunyi
untuk mencari makna,
bukan parade gelar
dan plakat dingin

engkau pun berlari mengejar sorotan,
lupa pada cahaya sejati
yang tumbuh dari dalam,
bukan dari keramaian

jangan menulis untuk disanjung, tulislah untuk menyala. jangan menanti pujian. jadilah kata
yang membuat orang
berhenti dan merenung

sebab, kebaikan tak butuh sertifikat. ia tumbuh di ruang senyap,
di hati yang jernih,
dan di luka yang tak ditutup, agar udara kejujuran bisa masuk

dari luka itulah sastra bernapas, menjadi perahu kecil yang menyeberangi samudra kebohongan, menuju pantai kebenaran

menjadi orang baik memang dicari,
bukan soal menjadi sempurna,
tapi tentang menulis dan hidup dengan gema nurani

karena penghargaan sejati bukan di podium,
melainkan di hati
yang nyaris padam

lalu disentuh kata kebaikan yang tulus
dan tahu jalan pulang

sebab ia akan menemukan kita,
seperti cahaya yang pelan-pelan datang secara tergesa-gesa,
lalu menyelinap ke ruang gelap

Palembang, 31 Oktober 2025

Puisi ini bukan hanya karya sastra, tapi juga cermin kejujuran yang langka. Dalam dunia yang sibuk menilai, Mas Paulus mengingatkan kita bahwa sastra sejati tumbuh dari luka, dari ruang senyap, dan dari hati yang jernih. Ia tidak menulis untuk dipuji, tapi untuk menyentuh. Dan dalam sentuhan itu, kita semua diajak pulang—kepada cahaya yang tumbuh dari dalam.

Terima kasih, Mas Paulus, atas puisi yang bukan hanya indah, tapi juga berani. Semoga tulisan ini menjadi ruang apresiasi yang layak dan membanggakan.

Untuk tulisan lain silahkan buka:

https://yusufachmad-bilintention.blogspot.com https://www.kompasiana.com/yusufachmad7283/dashboard/write  https://www.instagram.com/yusufachmad2018/?hl=en  https://web.facebook.com/profile.php?id=61559794614211