Yusufachmad Bilintention
Di halaman terakhir sebelum memasuki tubuh utama buku Sun-Shattering Mythology of Tanimbar, saya menemukan satu paragraf yang tidak hanya menutup pengantar, tetapi membuka ruang batin. Ia bukan sekadar kalimat, melainkan pengakuan yang menyentuh inti penciptaan: bahwa pengetahuan sejati lahir dari keberanian untuk mendengarkan.
Jejak Para Penjaga Makna
Di halaman terakhir sebelum memasuki tubuh utama buku ini, saya menemukan satu paragraf yang terasa seperti doa penutup. Bukan sekadar kalimat, tetapi pengakuan yang menyentuh inti dari proses penciptaan: bahwa pengetahuan sejati lahir dari keberanian untuk mendengarkan.
Prof. Pangemanan menyebut para pemimpin adat, tetua, pemikir tradisional, bahkan imam dan uskup emeritus dari Keuskupan Amboina sebagai sumber utama dari narasi ini. Mereka bukan hanya informan, tetapi penjaga makna, para pelintas waktu yang membawa warisan spiritual dan budaya dalam tubuh mereka. Dalam perjumpaan dengan mereka, penulis tidak hanya memperoleh data, tetapi mengalami transformasi.
Saya tertegun pada frasa “Heroic Journey to numinous transformation.” Di sana, saya melihat bahwa perjalanan mereka bukan sekadar antropologis, tetapi sakral. Mereka telah menempuh jalan sunyi, penuh luka dan cahaya, untuk mencapai bentuk keberadaan yang utuh. Dan dalam keberanian mereka untuk berbagi, mereka telah membuka pintu bagi kita semua untuk ikut mengalami penyembuhan.
Bagian ini menjadi penutup yang sempurna sebelum kita masuk ke Bab I. Ia adalah titik hening, tempat kita berhenti sejenak untuk menyadari bahwa setiap narasi yang akan kita baca selanjutnya bukanlah fiksi, tetapi pantulan jiwa dari mereka yang telah hidup dalam mitos, dalam ritual, dalam spiritualitas yang tak terucapkan.
Halaman kanan hanya menampilkan simbol dan kata “The Author.” Namun bagi saya, itu bukan sekadar identifikasi. Ia adalah penegasan bahwa penulis telah menjadi saksi, bukan penguasa narasi. Bahwa dalam proses menulis, ia telah membiarkan dirinya dibentuk oleh kisah orang lain, oleh kebijaksanaan yang lahir dari tanah, dari laut, dari nyanyian leluhur.
Sebagai penulis yang juga sedang menapaki jalan ini, saya merasa bahwa bagian ini adalah undangan untuk menulis dengan rendah hati. Bahwa dalam setiap kata, kita membawa tanggung jawab untuk menjaga makna, untuk merawat luka, dan untuk menyambung harapan.
Sebagai penulis yang juga sedang menapaki jalan ini, saya merasa bahwa bagian ini bukan hanya penutup pengantar, tetapi undangan spiritual. Ia mengajak kita menulis dengan rendah hati, membaca dengan jiwa terbuka, dan menyadari bahwa setiap narasi adalah warisan luka dan cahaya. Dalam setiap kata, kita membawa tanggung jawab untuk menjaga makna, merawat luka, dan menyambung harapan.
Untuk tulisan lain silahkan buka:https://yusufachmad-bilintention.blogspot.com https://www.kompasiana.com/yusufachmad7283/dashboard/write dan https://www.instagram.com/yusufachmad2018/?hl=en juga https://web.facebook.com/profile.php?id=61559794614211






