Oleh Yusuf Achmad

Jika suatu saat aku bertutur tentang benar dan salah,
Kupastikan kebenaran tak akan berpaling,
Walau takdir bernyanyi dengan nada sumbang,
Meskipun rasa kenyataan ini pahit—sepahit mahkota dewa,
Atau getirnya nimba yang enggan disentuh makhluk dunia.

Namun, bukankah kepahitan itu serpihan keindahan?
Bukankah nada sumbang tetap bisa menjadi melodi,
Jika hati mendengar dengan segenap ketulusan?

Guruku pernah berbisik dalam hikayat perjalanan:
“Lihatlah seorang penumpang yang gelisah, marah-marah,
Mengutuk kelambanan, mencerca sopir yang tak tergesa.”
Tapi diamlah sang pengemudi, tak gentar dicaci.
Dan di depan sana, di persimpangan ajal,
Mobil-mobil bertubrukan, nyawa berguguran.
“Beruntung kita melangkah tanpa buru-buru,” ucap yang lain,
Takdir telah menulis puisi dengan tinta kehati-hatian.

Lalu kisahku berkelana, menyusuri lorong pemikiran,
Berlabuh dalam dialog antara Doktor dan professor:
“Prof, manusia ternyata tak hanya punya satu otak?”
Benar, jawabnya, karena itulah ada kecerdasan yang berlipat.
Namun aku dibuat pening oleh teori yang bersilangan,
Karena satu hal yang kupahami lebih dari akademisi,
Bahwa keyakinan, seperti langit yang menjulang,
Tak tunduk pada rumus dan logika terkurung.

Dan saat mereka meragukan kebenaran takdir,
Aku tetap berjalan, mendengar nada semesta,
Karena aku tahu—takdir tak pernah keliru.

Surabaya, 7 Juni 2025