/1/

OMBAK TAK PERNAH BERTANYA ASALMU

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Di ujung bumi,
pantai ini tak tahu bendera,
ia hanya tahu kaki-kaki
yang lelah berjalan
mencari arti rumah
tanpa pagar dan senjata.

Langit membentang seperti surat kuno,
yang belum sempat dikirim oleh angin—
isinya tentang perdamaian
yang tumbuh di dada ikan paus biru,
dan dibisikkan ke dalam buih
setiap kali ia menyentuh daratan.

Ombak tak pernah bertanya
apakah engkau dari Timur,
atau Barat,
ia hanya tahu caramu menangis
diam-diam
di antara semilir dan kesunyian garam.

Pasir menampung jejak
seperti hati seorang ibu—
tak pernah memilih,
hanya merawat.

Batu karang
adalah penjaga
yang tidak menuding,
ia hanya diam memeluk
karang lain
yang dihantam badai
dengan kesetiaan mineral.

Sinar mentari yang runtuh ke laut
adalah jabat tangan sejati
antara pagi dan senja,
antara perbedaan dan pengertian.

Burung camar
adalah puisi yang terus mekar di angkasa,
menuliskan pesan pada langit:
“Tak satu pun anak manusia
harus ditenggelamkan oleh benci.”

Dan ketika langit menggantungkan pelangi,
itu bukan pamer warna,
tapi pertanda
bahwa luka pun bisa membentuk
keindahan yang menjembatani.

Aku menulis puisi ini
bukan dengan tinta,
melainkan dengan air mata yang dipinjam
dari kisah-kisah
yang nyaris dilupakan dunia—
kisah para anak kecil
yang memeluk sosok yang telah menghilangkan nyawa keluarganya
dan berkata,
“Apakah kau juga suka bermain pasir?”

Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat, 2025

/2/

Surat dari Awan ke Puncak Bukit

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wahai puncak bukit yang dahulu menantang langit,
kini engkau mulai koyak oleh kesombongan.
Aku—awan pengembara—tak tinggal di satu tempat,
tapi kubawa berita:
pemberian maaf lebih tinggi dari pendakian.

Aku tak bertanya suku apa pohonmu,
aku tak mempersoalkan akar sejarahmu.
Kubasahi setiap tebing
dengan gerimis kesadaran:
bahwa mereka yang merunduk untuk menolong,
lebih tinggi dari yang hanya menatap langit.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/3/

Kubayangkan Gema Suara Ikan Paus

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Memandang aku ke di tepi pantai,
Memandang ke laut lepas,
Samudera pasifik terbayang di pelupuk mata,
Seolah aku mendengar nada-nada rendah dari dasar laut,
ada nama-nama yang tak tercatat di paspor.
Namun mereka disimpan dalam gema tubuh ikan paus,
sebagai anak-anak bumi yang sah.

Tak ada negara di dalam kuatnya suara paus—
hanya kasih yang mengalir seperti arus.
Ketika daratan menutup pelukan,
lautan membuka dadanya.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/4/

Kabut di Perbatasan

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Kabut turun perlahan,
tanpa izin dari penjaga pos,
tanpa paspor,
tanpa stempel.

Ia memeluk dua sisi dengan kelembutan
seperti ibu tua yang melerai anak-anak bertikai.
Ia tak menyuruh siapa pun pulang,
hanya mengingatkan:
bahwa rumah bukan batas,
tapi tempat kita saling mendekap dalam kebaikan.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/5/

Langit yang Tak Pernah Meninggalkan Siapa Pun

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Jika langit masih bersedia menaungi kita semua
tanpa menagih warna kulit atau bahasa,
mengapa manusia begitu pelit dengan belas kasih?

Bintang tak pernah bertanya agama siapa yang memandangnya,
Bulan tak pernah heran dengan beragam doa dalam bahasa asing.

Tuhan menciptakan kita dengan beragam warna, ras suku, bahasa, bangsa,
Bukan untuk kita saling berlomba menunjukan siapa yang paling berkuasa merusak dan merampas lautan, daratan dang angkasa,
Tapi untuk saling mengenal dan bersaudara untuk kemanusian dan perdamaian di bumi bersama,
hingga dunia ini pun sampai ajalnya suatu masa.

Masihkah kita mampu berjuang,
belajar dari langit—
sebab ia tetap tinggal,
sekalipun kita saling meninggalkan.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/6/

Doa Terakhir di Telapak Angin

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Angin,
jika kau bertemu jiwa yang lelah,
bisikkan padanya:
masih ada tempat di dunia ini
yang percaya pada cinta tanpa syarat.

Peluklah mereka
yang kehilangan arah,
yang ditikam sejarah,
sebab engkau satu-satunya
yang bisa mengantar harapan
tanpa dikenali,
tanpa dicurigai,
tanpa disakiti.

Sampaikan doa-doa yang naik dari pengharapan itu
kepada siapa pun yang masih punya hati.
Sebab dunia tak butuh lebih banyak senjata—
melainkan lebih banyak cinta dan aksi untuk menyuarakan mereka yang tertindas karena begitu lama dirampas hak hidupnya.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/7/

Padang Rumput Tak Bertanya Nama

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Padang rumput menghampar,
tak bertanya siapa yang duduk di atasnya,
tak peduli apakah engkau pengembara,
atau penguasa yang kehilangan arah.

Ia hanya menyentuhkan kesejukan
ke telapak kaki siapa pun
yang berani menanggalkan sepatu ego.

Bunga liar bergoyang ditiup angin,
tanpa koreografi,
tak diatur warna,
tak ditanya asal benih.

Langit menggelar biru seperti permadani,
dan daun-daun mengangkat wajah mereka,
menerima cahaya dengan kesetaraan.

Maka mari kita duduk bersama
di padang ini—tanpa pangkat, tanpa prasangka—
dan biarkan angin memanggil kita
dengan nama paling jujur: sahabat.

Padang, Sumatera Barat, 2025

/8/

Dalam Napas Ombak yang Saling Mendoakan

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Di dermaga waktu yang tak menuntut pulang,
angin dan ombak saling belajar mengucap maaf
tanpa pernah meminta kembali luka.
Burung camar mengabarkan langit:
tak ada jarak sejauh dendam,
hanya hati yang lupa jalan pulang ke dada saudaranya.

Kita duduk di atas butiran pasir yang menyambut senja,
menyulam kata dari sunyi yang tak saling menghakimi.
Di antara desir dan desir,
ada bahasa yang lebih kuno dari perang
dan lebih mulia dari bendera—
namanya: saling mendoakan meski tak saling memahami.

Pohon-pohon hijau di tepi jurang
menunduk dalam doanya yang lirih—
mengharap manusia kembali jadi sungai
yang mengalir tanpa membelah siapa pun.
Bukan palung,
bukan jerat,
bukan sekat bernama “kami” dan “mereka.”

Aku merasakan nafas ombak yang saling berkejaran,
dan menghempaskan satu bisikan:
“Peluklah kebaikan sesamamu seperti langit memeluk laut—
tanpa syarat, tanpa batas,
dengan cinta yang tak mengenal geografi.”

Pantai Air Manis, Padang Sumatera Barat, 2025

/9/

Langit yang Tak Pernah Berperang

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Tak pernah ada langit yang saling tembak—
hanya manusia yang melupakan
bagaimana cahaya bisa menyeberang
tanpa menanyai paspor angin.

Di Warnambool, senja menuruni altar laut
dengan langkah seperti rahim
yang siap melahirkan perdamaian.
Dan ombak—ya, ombak—
ia mencium pasir
seperti meminta ampun atas nama umat manusia
yang menyemai kebencian dari sejarah yang dipelintir.

Burung-burung tak pernah membawa granat,
mereka hanya menulis surat damai
dari bulu-bulunya yang luruh ke angin.
Tapi kita—
kita, yang mengaku cerdas dan bermartabat,
kadang lebih ganas dari badai
dan lebih tajam dari sabit kemarau.

Oh manusia,
mengapa tak belajar dari gugusan bintang?
Mereka berdampingan jutaan tahun
tanpa perlu menaklukkan satu sama lain.

Mari,
tunduklah pada cahaya,
sebelum kita semua jadi kabut
yang dilupakan bumi.

Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat, 2025

/10/

Sepucuk Doa untuk Harapan Dunia yang Damai

Puisi Karya Leni Marlina

[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, Satu Pena Sumbar, KEAI, ASM, Penyala Literasi, ACC SHILA, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Mari pejamkan kelopak mata, dan buka mata hati kita,
Engkau akan melihat,
Aku menulis di atas angin pantai nusantara,
dengan pena dari tulang pelikan tua,
dan tinta yang diteteskan dari embun di dahi semesta.
Bukan untuk mencatat siapa kalah siapa menang,
tetapi untuk mengirim sepucuk doa,
kepada dunia yang terlalu sering lupa cara memeluk saudara dan merangkul sesama.

Lihatlah tebing di belakangmu,
rumput dan batu duduk berdampingan,
tanpa perlu tahu siapa penjajah,
siapa pengungsi,
siapa leluhur yang dulu dikubur dengan air mata.

Langit menabur pelangi tak bersuara—
ia tahu, yang paling suci bukan bendera,
tetapi hati yang tak pernah dibelah peta.

Wahai jiwa yang masih percaya damai,
jangan biarkan dendammu tumbuh akar.
Biarkan ia gugur di tanah,
jadi pupuk bagi taman nama-nama yang terlupakan
oleh perang, oleh bias, oleh berita.

Kita bisa menjadi manusia yang baru:
yang menjahit luka orang lain
seperti laut menjahit langit di cakrawala.
Tanpa menjual nama Tuhan,
tanpa menukar cinta dengan dogma.

Dunia tak butuh lebih banyak suara keras—
ia butuh satu bisik lembut
yang mengabarkan:
“Aku di sini, saudaraku. Mari pulang bersama.”

Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat, 2025

———————————–

Leni Marlina – Melangkah Bersama Sastra dari Ranah Minang ke Dunia

Leni Marlina adalah seorang penulis, penyair, dan dosen asal Sumatera Barat. Ia tumbuh dengan kecintaan pada kata dan keyakinan bahwa sastra bisa menjadi jembatan kebaikan antar manusia. Sejak lama, ia melibatkan diri dalam kegiatan literasi, baik di lingkungan sekitar maupun di berbagai komunitas yang lebih luas.

Sejak tahun 2022, Leni bergabung dalam keluarga besar SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat, yang dipimpin oleh Ibu Sastri Bakry dan Bapak Armaidi Tanjung. Dalam lingkungan inilah ia banyak belajar dan tumbuh bersama rekan-rekan penulis lainnya.

Pada Mei 2025, Leni diberi kehormatan sebagai Penulis Terbaik Tahun Ini oleh SATU PENA Sumatera Barat dalam acara Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3. Penghargaan ini ia terima dengan penuh rasa syukur, sebagai bentuk dukungan bagi semangat gotong royong dalam membangun budaya baca dan tulis di tanah air.

Di luar negeri, Leni menjadi bagian dari ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA) yang dipimpin oleh penyair dunia Anna Keiko. Sejak 2024, ia dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC SHILA, dan pada 2025 diberi amanah sebagai Ketua Perwakilan Asia dalam kelompok duta puisi ACC SHILA—sebuah kesempatan untuk mempererat jalinan budaya melalui puisi.

Tahun yang sama, ia juga bergabung dengan World Poetry Movement (WPM) Indonesia, yang dikordinasikan oleh Ibu Sastri Bakry, sebagai bagian dari gerakan puisi dunia yang berpusat di Kolombia.

Perjalanan Leni di dunia sastra internasional bermula saat menempuh studi S2 Menulis dan Sastra di Australia pada 2011–2013. Saat itu, ia menjadi anggota komunitas penulis di Victoria dan belajar dari banyak penulis lintas budaya.

Pada 31 Mei 2025, Leni dengan sejumlah komunitas yang dipimpinnya, bersama Achmad Yusuf (sebagai ketua), turut menyelenggarakan kegiatan Poetry BLaD (Peluncuran & Diskusi Buku Puisi) dan IOSoP (Seminar Internasional Online tentang Puisi) 2025, diamananahkan oleh Media Suara Anak Negeri News (di bawah pimpinan Paulus Laratmase) berkolaborasi dengan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Kegiatan ini adalah ruang bersama untuk berbagi semangat dan cinta terhadap literasi, kemanusian dan perdmaaian melalui karya saatra, puisi.

Sejak 2006, Leni mengabdi sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di bidang bahasa, sastra, dan penulisan. Ia percaya bahwa pendidikan dan karya tulis dan karya kreatif adalah bagian dari pengabdian kepada masyarakat.

Di luar aktivitas kampus, Leni juga menulis sebagai jurnalis lepas, editor, dan kontributor digital. Sejumlah karyanya dapat dibaca di: 🔗 https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa/.

Sebagai bagian dari niat untuk berbagi, Leni juga mendirikan dan mendampingi sejumlah komunitas literasi, sastra dan sosial berbasis digital, antara lain:

1. World Children’s Literature Community (WCLC): https://shorturl.at/acFv1
2. Poetry-Pen International Community (PPIC)
3. PPIPM Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat): https://shorturl.at/2eTSB
https://shorturl.at/tHjRI
4. Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur): https://rb.gy/5c1b02
5. Linguistic Talk Community (Ling-TC)
6. Literature Talk Community (Littalk-C)
7. Translation Practice Community (Trans-PC)
8. English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C)

Melalui puisi, tulisan, dan kegiatan bersama, Leni berusaha untuk terus belajar, berbagi, dan menginspirasi—dengan keyakinan bahwa dari hal-hal kecil, makna besar bisa tumbuh. Ia melangkah tak sendiri, tapi bersama para guru, mentor, tutor, motivator, sahabat, komunitas dan pembaca budiman, Leni turut serta menyalakan lentera literasi dan sastra dari ranah Minang, Nusantara, menuju dunia.