/1/
PERJALANAN MENUJU RUMAH KESETIAAN

Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Sebelum pesta digelar di bumi,
pesta telah lebih dulu disiapkan di langit.
Bulan menata peraknya di wajah malam,
bintang menyalakan lentera rahasia,
angin melatih sayap doa,
air menyimpan embun sebagai persembahan,
api menyalakan bara kasih,
dan bumi menunduk hening,
menyambut sebuah janji suci.
Pernikahanmu, wahai Nona dan Abang,
bukan sekadar temu dua insan,
melainkan pertemuan dua samudra:
satu membawa asin air mata perjalanan,
satu membawa manis harapan yang dijaga.
Ketika keduanya berpadu,
lahirlah gelombang sejati—
ombak cinta yang setia mengantar
perahu kehidupanmu
menuju muara cahaya.
Hari ini, kursi pesta mungkin masih kosong,
lampu belum menyala,
kerabat belum datang dari penjuru negeri.
Namun di taman batin keluarga,
kebahagiaan telah lebih dahulu mekar—
bagai seribu bunga tak kasat mata,
aromanya dihirup jiwa-jiwa
yang sedang berdoa dalam diam.
Di langit, doa leluhur ikut bergetar,
malaikat menebarkan cahaya restu;
sementara di bumi,
genggaman tangan orang tua
menjadi saksi pertama:
bahwa cinta tak pernah lahir sendiri,
melainkan tumbuh dari rahim pengorbanan
dan doa tanpa henti.
Selamat menapaki janji suci—
ucapan ini bukan sekadar kata,
melainkan doa yang dititipkan
pada burung yang melintas langit,
pada hujan yang menyusup bumi,
pada api yang menghangatkan hati,
pada matahari yang menoreh pagi.
Semoga kesehatan menjadi gunung
yang tak terguncang badai,
bahagia menjadi sungai
yang mengalir jernih, tenang, dan damai,
dan cita-cita bersama menjadi bintang
yang setia di cakrawala.
Sungguh, sebelum pesta di bumi bergema,
alam semesta telah lebih dulu merayakannya:
daun-daun menari,
ombak bernyanyi,
langit menyalakan ribuan pelita.
Sebab pernikahan bukan sekadar pesta,
melainkan kitab rahasia
yang ditulis dengan tinta kasih
dan ridha Ilahi.
Dan semoga perjalanan ini
menuju rumah kesetiaan,
menjadi jalan yang bercahaya,
menjadi cinta yang tak berkesudahan—
seperti langit
yang tak habis dipandang mata manusia.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/2/
RUMAH PERNIKAHANMU
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Pernikahanmu bukan sekedar pesta—
ia hanyalah roti pertama
yang dibagi di meja sunyi,
gerbang kecil menuju rumah
yang selalu menunggu untuk tumbuh dibangun.
Di atas meja kopi yang berbekas,
detak jam berbicara
lebih lantang daripada nafasmu:
bahwa waktu bukan musuh,
melainkan guru yang mengajarkan
bagaimana retak bisa menjadi jendela,
bagaimana bocor bisa menjadi hujan rahmat,
bagaimana lantai rapuh
masih sanggup menahan langkah.
Bangunlah rumah pernikahanmu setiap hari:
dengan paku sabar yang dalam,
semen pengertian yang kokoh,
dan cat maaf berlapis-lapis
seperti kulit bawang yang dikupas—
menangis, namun sekaligus menyegarkan udara.
Rumah ini akan terus tumbuh,
karena ia bukan hanya tempat dua hati berdiam,
tetapi meja panjang kemanusiaan,
di mana sepotong roti kecil kehidupan
dibagi menjadi cahaya,
dan dunia belajar bahwa perdamaian
selalu dimulai dari sebuah rumah
yang kecil, retak, rapuh,
namun terus bangkit berdiri
untuk tumbuh lebih kuat dan lebih setia.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/3/
API YANG BERDIALOG DENGAN ANGIN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Cinta itu api.
Ia bukan hanya bara,
melainkan nyala sunyi
yang mendidihkan periuk tanah—
memanggil angin agar tidak padam,
namun juga memohon kelembutan
agar tidak melahap habis.
Terlalu sedikit hembusan,
ia mengecil jadi abu tak berasa.
Terlalu deras angin,
ia membakar meja perjamuan
dan meninggalkan arang pahit.
Di situlah rahasia pernikahan:
menakar napas,
menimbang hembusan,
menjaga keseimbangan
antara rempah panas dan kesejukan air,
antara keberanian yang menyalakan
dan kelembutan yang menenangkan.
Cinta adalah dialog:
api yang mau mendengar angin,
angin yang mau merangkul api.
Dan dunia pun demikian.
Jika manusia lalai,
nyala kasih berubah jadi kobaran perang,
atau padam dalam kesepian beku.
Hanya mereka yang menjaga keseimbangan
yang tahu:
api bisa menjadi cahaya,
bisa menjadi jamuan,
bisa menjadi kehidupan.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/4/
BERJALAN BERSAMA MENGIKUTI PETA KEHIDUPAN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Pernikahan bukan jalan lurus—
ia labirin panjang,
seperti taplak penuh noda
setelah perjamuan manusia.
Kau bawa pena—
bukan tinta,
melainkan darahmu sendiri.
Langkah-langkahmu menggores garis,
kadang indah, kadang keliru.
Tangis jadi asin biru laut,
tawa jadi emas manis madu,
amarah jadi pahit hitam cokelat.
Dan dari warna-warna itulah
peta dibentangkan—
tak pernah rapi,
namun justru di situlah kebenaran.
Sebab peta sejati
bukan sekadar menemukan tujuan,
melainkan kesaksian
bahwa kau pernah berjalan bersama,
melewati hutan lapar,
melewati badai amarah,
melewati senja penuh sunyi,
namun tetap menggenggam tangan mereka yang kau kasihi.
Dan dari peta-peta kecil itu,
manusia belajar menggambar peta besar:
peta dunia yang dipenuhi jejak,
peta perdamaian yang ditulis
dengan darah, air mata,
dan kerinduan tak habis-habisnya
akan rumah,
akan kasih,
akan damai.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/5/
PERJALANAN CINTA SEJATI
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Sebelum manusia menyalakan lampu pesta,
langit telah menuliskan halaman pertama:
bulan dijadikan lampu gantung,
bintang dijadikan aksara,
awan menggelar tirai putih,
dan angin mengantar doa
yang tak terbaca oleh mata,
namun terasa oleh jiwa.
Pernikahanmu bukan sekadar temu,
ia adalah pertautan dua garis takdir:
yang satu membawa asin perjalanan,
yang lain membawa manis harapan.
Ketika keduanya bersatu,
lahirlah samudra baru
yang ombaknya mengantar
perahu kehidupanmu
ke muara cahaya.
Ingatlah, rumah tangga bukan riuh pesta,
ia adalah waktu yang harus kalian isi.
Ada pagi yang harum,
ada malam yang berat,
ada kursi yang sepi,
ada meja yang penuh.
Bahagia tidak selalu bersorak;
bahagia adalah kesanggupan
menemukan pelukan dalam diam,
menemukan doa dalam gelap,
menemukan cahaya dalam luka.
Belajarlah dari alam:
dari batu yang menahan hujan,
dari sungai yang mengalir membawa beban
namun tetap kembali jernih di muara,
dari pohon yang akarnya tersembunyi
namun menopang seluruh kehidupan.
Belajarlah dari waktu:
detik yang berlari,
jam yang menunggu,
musim yang datang dan pergi.
Sebab cinta bukan hanya hari ini;
ia adalah keberanian mengiringi langkah
hingga pintu terakhir keheningan.
Dengarlah bisikan leluhur:
“Kami menitipkan tabah di darahmu,
kami menitipkan setia di nadimu.
Bangunlah rumah teduhmu,
seperti kami membangun sejarah
dengan air mata dan doa.”
Maka genggamlah pasanganmu
seperti menggenggam subuh—
lembut, indah, menjanjikan cahaya baru.
Rawatlah cintamu
seperti kau merawat doa—
tak terlihat,
namun menjadi nafas yang menjaga hidup.
Dan semoga perjalanan ini
menjadi kitab cinta sejati,
yang takkan habis dibaca
karena setiap langkahmu dan pasanganmu
adalah halaman baru
yang direkam oleh bumi,
disaksikan oleh langit,
dan dicatat dengan tinta ridha Ilahi.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/6/
PERJALANAN ENGKAU BERDUA
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Wahai sang suami,
Pagi ini engkau mengantarkan istrimu bekerja;
bukan tubuhnya yang kau hantarkan,
tetapi takdir kecil
yang engkau letakkan ke arus besar kehidupan.
Setir di tanganmu
ibarat roda waktu yang terus berputar,
menggerakkan kalian dari rumah yang fana
ke rumah yang tak terlihat—
di mana setiap insan
adalah penumpang dalam kendaraan semesta.
Kantor hanyalah nama singkat,
persinggahan sementara;
namun cinta yang menuntun langkahmu
adalah nama panjang
yang diukir pada catatan kemanusiaan.
Ah, wahai sang suami
ketika engkau membuka jalan bagi istrimu,
Dengarlah gema:
bukankah seluruh manusia pun saling mengantar—
dari gelap menuju terang,
dari sepi menuju pertemuan,
dari asing menuju pengertian?
Perjalanan ini,
yang tampak sederhana bagi mata,
sebenarnya doa panjang yang kau bisikkan pada dunia:
agar kasih yang menggerakkan kalian
tak cukup berhenti di kursi penumpang,
tetapi meresap ke setiap jalan
yang dilalui umat manusia.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/7/
IA MENGANTARMU, KEHIDUPAN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Ia mengantarmu pagi ini,
bukan hanya engkau, teman hidupnya,
tetapi juga pasangan hidup
yang berangkat membawa cahaya
ke ruang-ruang dunia
yang kerap lupa akan kasih.
Di kursi sampingnya
engkau duduk, tenang, teduh dan kuat.
Kau melihat wajahnya berubah menjadi wajah semesta:
wajah mereka yang menyiapkan kehidupan,
wajah pekerja yang memeluk kelelahan,
wajah kemanusiaan yang tidak pernah menyerah.
Jalan yang kalian lalui
bukan sekadar aspal dan lampu lalu lintas,
tetapi jalan panjang sejarah
yang menuntut setiap insan
untuk saling mengantar—
dari keraguan menuju pengharapan,
dari keterasingan menuju perjumpaan.
Maka ketika kau melepasnya di depan pintu,
Kau tahu, cintamu kepadanya
telah menjelma cinta yang lebih luas:
cinta bagi sesama,
cinta bagi bumi yang berputar,
cinta bagi manusia
yang terus mencari rumah di tengah dunia.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
/8/
KESETIAAN
Puisi: Leni Marlina
[UNP Padang, PPIPM-Indonesia, PPIC, SatuPena Sumbar, KEAI, ACC SHILA, PLS, ASM, WPM-Indonesia]
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Kesetiaan tidak dilahirkan oleh cincin,
tidak hidup dari pesta,
tidak bergantung pada saksi.
Ia tumbuh justru di celah yang tak terlihat:
sendok nasi yang kau letakkan tanpa suara,
doa yang tak pernah kau lafalkan,
tatapanmu dalam gelap
saat dunia menyangka kita sedang tidur.
Kesetiaan adalah kesunyian yang mengakar
di antara dua jiwa yang saling menunggu.
Kita tidak selalu bicara,
tidak selalu mengerti,
namun ada ruang bening di antara kita
yang lebih kuat dari sumpah,
lebih dalam dari pengakuan.
Kesetiaan adalah cahaya samar,
tetesan kecil dari lilin doa,
nyala yang hampir tak terlihat,
namun cukup untuk membuat malam
tidak sepenuhnya buta.
Jam berdetak.
Bukan musuh, melainkan saksi.
Ia melihat kita menua,
rambut memutih, kulit berkerut—
namun jiwa kita tetap
mencari tangan yang sama
untuk digenggam dalam gelap.
Kesetiaan adalah hukum tak tertulis:
laut selalu kembali ke pantai,
planet tetap di orbitnya,
bintang memegang langit,
dan aku, meski dunia menawarkan
kursi emas di tempat lain,
tetap memilih kursi sederhana di sisimu.
Kesetiaan tidak mati bersama tubuh.
Ia menyeberang, melampaui pintu waktu.
Akan ada rumah lain,
meja lain,
mata yang kembali saling menatap.
Karena kesetiaan adalah cahaya—
ia tidak butuh api untuk hidup,
ia tidak butuh mata untuk dilihat,
ia hanya butuh dua jiwa
yang percaya:
setelah semua usai,
kita tetap pulang
kepada diri kita,
lalu pulang bersama,
saat kelak kita dipanggil menghadap Sang Pencipta.
Padang, Sumatera Barat, NKRI, 2025
—————————
Tentang Penulis:

Leni Marlina merupakan penulis, penyair, dan akademisi kelahiran Baso, Agam, Sumatera Barat, yang kini menetap di Padang, Indonesia. Ia aktif sebagai anggota SATU PENA (Asosiasi Penulis Indonesia) cabang Sumatera Barat sejak 2022. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota World Poetry Movement (WPM-Indonesia). Ia juga dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association (ACC SHILA) di bawah kepemimpinan Anna Keiko. Leni juga pernah tercatat sebagai anggota penulis Victoria di Australia.
Kecintaannya pada dunia sastra membawanya menulis buku antologi puisi bilingual “The Beloved Teachers”, “L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity)”, serta sejumlah buku “English Stories for Literacy”. Atas kiprah literernya, ia dianugerahi penghargaan sebagai Penulis Terbaik Tahun 2025 dari SATU PENA Sumatera Barat. Penghargaan tersebut diberikan dalam Gala Dinner Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF-3).
Sejak tahun 2006, Leni mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Hampir dua dekade ia konsisten mendidik dan menginspirasi generasi muda melalui dunia akademik. Di luar kampus, Leni aktif menulis sebagai jurnalis lepas, editor, redaktur, dan kontributor di media lokal, nasional, maupun internasional. Beberapa puisinya juga dipublikasikan secara digital dan umumnya dapat diakses publik melalui laman https://suaraanaknegerinews.com/category/puisi-leni-marlina-bagi-anak-bangsa. Ia percaya bahwa menulis adalah medium untuk berbagi, menginspirasi, dan memperluas cakrawala kemanusiaan. Karena itu, ia mendirikan serta membina berbagai komunitas sosial, sastra dan literasi berbasis digital. Beberapa di antaranya adalah PPIPM-Indonesia (Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat), Poetry-Pen International Community (PPIC), Literature Talk Community (Littalk-C), dan English Language Learning, Literacy, and Literary Community (EL4C). Melalui komunitas-komunitas tersebut, Leni berupaya menjembatani semangat sastra dan literasi lintas generasi.






