Lintas Opini Publik
Oleh Tb Mhd Arief Hendrawan

Padang, Suaraanaknegerinews.com,- Dalam lintasan sejarah Minangkabau yang panjang, selalu lahir tokoh-tokoh besar yang memadukan nilai adat, agama, dan intelektualisme. Salah satu di antaranya adalah Prof. Dr. H. Masri Mansoer, M.Ag, sosok ulama dan akademisi yang dikenal luas sebagai pencetus dan pendiri gagasan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Beliau adalah figur yang menyalakan kembali bara semangat adat dan filosofi Minangkabau di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang kian deras.

Latar Belakang dan Pendidikan

Prof.Dr.H.Masri Mansoer lahir dari keluarga yang taat agama dan berakar kuat dalam tradisi Minangkabau. Sejak kecil beliau sudah mengenal nilai-nilai adat dan syarak melalui pendidikan surau dan pengajaran keluarga. Pendidikan formalnya ditempuh hingga ke jenjang doktoral dan kemudian meraih gelar Profesor di bidang Agama dan Kebudayaan Islam.

Kedalaman ilmu agama dan pemahamannya terhadap tatanan adat membuat beliau menjadi sosok yang disegani di kalangan akademisi, ulama, dan ninik mamak. Dalam berbagai forum ilmiah dan adat, Prof. Masri Mansoer dikenal sebagai tokoh yang mampu menjembatani pemikiran modern dengan filosofi klasik Minangkabau:
“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Lahirnya Gagasan DIM

Gagasan tentang Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) muncul dari keprihatinan beliau terhadap mulai luntur dan terpinggirkannya peran adat serta falsafah kehidupan Minang dalam kebijakan pemerintahan modern.
Beliau melihat bahwa banyak aspek adat dan nilai-nilai luhur yang terabaikan. Padahal Minangkabau memiliki sistem sosial dan hukum adat yang teruji sejak ratusan tahun, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.

Dari situlah, lahir pemikiran mendasar bahwa Minangkabau layak diberi status “Daerah Istimewa” sebagaimana daerah lain yang memiliki keistimewaan sejarah dan budaya, seperti Yogyakarta dan Aceh.

Namun, keistimewaan yang dimaksud Prof. Masri Mansoer bukan untuk menuntut kekuasaan, melainkan untuk mengakui dan melindungi sistem adat Minangkabau, agar tetap menjadi dasar kehidupan sosial dan moral masyarakat Sumatera Barat.

Beliau menegaskan bahwa DIM adalah perjuangan kultural, bukan politik.
Tujuannya ialah menjaga eksistensi filosofi Minangkabau yang berbunyi:

“Alam takambang jadi guru, adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.”
Falsafah ini menjadi roh dari perjuangan beliau agar masyarakat Minang tidak tercerabut dari akar budayanya.

Perjuangan dan Dukungan Tokoh Adat

Dalam memperjuangkan gagasan DIM, Masri Mansoer tidak berjalan sendiri.
Beliau mendapat dukungan luas dari para tokoh Adat, Ulama, dan Akademisi Minangkabau.

Sejumlah tokoh yang sepemikiran di antaranya adalah Anton Pratama, pelopor gerakan sosial budaya yang pertama kali menggemakan istilah Daerah Istimewa Minangkabau di kalangan generasi muda dan Azwar Siri, SH, MH, CPL, yang melalui LAKAM (Lembaga Advokasi Kebudayaan Adat Minangkabau) terus mengawal perjuangan adat di ranah hukum dan sosial.

Sinergi antara pemikiran Prof. Masri Mansoer dan semangat para pejuang adat ini melahirkan gerakan moral dan intelektual yang berlandaskan filosofi Minangkabau sejati.
Mereka meyakini bahwa keistimewaan bukan hanya gelar administratif, melainkan pengakuan atas jati diri bangsa dan akar budaya.

DIM Sebagai Jalan Tengah Antara Adat dan Pemerintahan

Prof.Masri Mansoer dengan ketajaman ilmunya berupaya mempertemukan dua dunia, yaitu dunia adat yang berbasis kearifan lokal dan dunia pemerintahan modern yang diatur oleh hukum nasional.
Baginya, adat dan pemerintahan tidak boleh berseberangan, melainkan saling menopang.

Dalam beberapa pidato dan tulisan akademiknya, beliau menekankan:

“Kalau adat hilang, maka bangsa kehilangan arah.
Kalau agama ditinggalkan, maka hidup kehilangan makna.
Maka DIM adalah rumah tempat keduanya bersanding dalam kehormatan.”

Dengan konsep ini, DIM diharapkan mampu mengembalikan martabat Minangkabau sebagai pusat ilmu, moral, dan budaya yang pernah berjaya di masa lampau.

Pandangan Filosofis dan Nilai Kepemimpinan

Sebagai seorang cendekiawan Muslim, Prof. Masri Mansoer meyakini bahwa, adat Minang bukan sekadar tradisi, melainkan manifestasi dari ajaran Islam yang hidup di tengah masyarakat.
Beliau menafsirkan bahwa pepatah adat seperti “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” adalah simbol demokrasi lokal Minangkabau yang selaras dengan prinsip musyawarah dalam Islam.

Kepemimpinan, menurutnya harus dilandasi oleh amanah, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap marwah adat.
Ia mengingatkan bahwa, banyak persoalan sosial muncul karena hilangnya pemimpin yang berpegang teguh pada nilai adat dan syarak.

Melalui DIM, beliau ingin mengembalikan struktur sosial Minangkabau yang berlandaskan nilai-nilai moral dan spiritual, bukan semata kekuasaan duniawi.

Warisan Pemikiran dan Harapan

Pemikiran besar Prof. Dr. H. Masri Mansoer kini menjadi warisan intelektual yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau.
Gagasannya tentang DIM bukan sekadar ide teoritis, tetapi sebuah gerakan pembaharuan sosial dan budaya.
Banyak kalangan generasi muda Minang kini mulai kembali menggali filosofi adat, memperkuat organisasi budaya, dan menegakkan kembali prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Lembaga seperti LAKAM, Bundo Kanduang, LKAAM, dan berbagai komunitas adat di Sumatera Barat dan rantau turut menjadikan gagasan DIM sebagai inspirasi perjuangan.
Mereka menyadari bahwa keistimewaan sejati Minangkabau terletak pada kesatuan antara adat, agama, dan moral sosial.

Prof. Dr. H. Masri Mansoer, M.Ag akan selalu dikenang sebagai pencetus dan pejuang Daerah Istimewa Minangkabau, sosok yang membangunkan kesadaran kolektif masyarakat Minang untuk menghormati warisan leluhur dan menjadikannya dasar pembangunan masa depan.
Beliau bukan sekadar akademisi atau ulama, tetapi pembaharu pemikiran adat Minangkabau yang memandang masa depan dengan pandangan yang berakar pada masa lalu.

Warisan perjuangannya mengajarkan bahwa keistimewaan sejati bukanlah status administratif, melainkan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri bangsa.
Dan bagi Minangkabau, keistimewaan itu telah hidup sejak dulu, tinggal bagaimana generasi kini meneruskan perjuangan beliau agar DIM bukan hanya cita-cita, tetapi kenyataan yang berpihak pada marwah dan kesejahteraan anak nagari.