Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd.
(Kasi PAPKI Kantor Kemenag Kabupaten Tanggamus)

Hari Santri 2025 telah berlalu, namun gema semangatnya masih terasa hingga kini. Dari pesantren hingga ruang publik, peringatan Hari Santri bukan sekadar upacara tahunan, tetapi momentum moral dan intelektual bagi bangsa untuk meneguhkan kembali peran santri dalam menjaga kemerdekaan serta membangun peradaban dunia yang damai dan berkeadaban.

Tema Hari Santri tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” mengandung pesan mendalam bahwa santri bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi penggerak masa depan bangsa. Dalam amanatnya pada Apel Hari Santri 2025 lalu, Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, menegaskan bahwa “santri bukan hanya penjaga surau, tetapi penjaga moral, nilai, dan peradaban bangsa.” Kalimat itu menjadi penegas bahwa peran santri hari ini melampaui batas pesantren. Mereka dituntut hadir di ruang digital, sosial, dan global sebagai pembawa cahaya ilmu dan akhlak.

Sejarah mengajarkan, perjuangan santri adalah bagian dari denyut nadi kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti nyata bagaimana nilai keagamaan berpadu dengan semangat kebangsaan. Prof. KH. Agus Sunyoto (2019) menjelaskan, Resolusi Jihad bukan hanya seruan perang, tetapi fatwa keagamaan yang menegaskan bahwa membela tanah air adalah kewajiban agama. Dari sinilah kita memahami bahwa jihad adalah wujud cinta yang menuntun tanggung jawab sosial dan moral.

Pandangan itu diperkuat Dr. Ahmad Baso (2020) dalam Islam Nusantara dan Kedaulatan Indonesia, yang menegaskan bahwa Resolusi Jihad merupakan sintesis khas ulama Nusantara—memadukan iman, nasionalisme, dan kemanusiaan. Santri tidak memisahkan cinta kepada Allah dari cinta kepada tanah air. Inilah spiritualitas kebangsaan yang menjadi fondasi berdirinya Republik Indonesia: iman yang melahirkan keberanian dan kasih sayang kepada sesama.

Kini, setelah delapan dekade kemerdekaan, medan perjuangan telah berubah. Kolonialisme fisik berganti menjadi kolonialisme moral dan digital. Musuh bangsa bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan arus kebencian, hoaks, intoleransi, dan kesenjangan sosial. Gus Mus (2018) mengingatkan, “jihad terbesar hari ini bukan melawan orang lain, tetapi melawan kebencian dalam diri sendiri.” Pesan itu seakan mengingatkan kita bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari hati yang merdeka—bebas dari iri, benci, dan keangkuhan.

Spirit Hari Santri 2025 telah membuka mata kita bahwa mengawal kemerdekaan bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi panggilan nurani setiap insan beriman. Mengawal Indonesia merdeka berarti menjaga nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebersamaan. Menuju peradaban dunia berarti membawa nilai-nilai Islam Nusantara ke panggung global—dengan semangat demokratis, egaliter, dan inklusif. Dunia yang dilanda krisis moral membutuhkan teladan dari pesantren: wajah Islam yang damai, ramah, dan penuh kasih.

Santri masa kini tidak cukup hanya cakap membaca kitab, tetapi juga harus tangkas membaca zaman. Dalam amanatnya, Menteri Agama berpesan, “Rawatlah tradisi pesantren, tetapi peluklah inovasi zaman. Tanamlah ilmu, jaga akhlak, hormati guru, cintai Tanah Air. Karena dari tangan para santrilah masa depan Indonesia akan ditulis.” Pesan ini menjadi panggilan agar santri aktif di berbagai bidang—pendidikan, riset, teknologi, seni, hingga pemberdayaan masyarakat. Dari ruang-ruang ilmu itulah masa depan bangsa dibangun.

Kini, setelah hiruk pikuk peringatan usai, semangatnya tak boleh padam. Hari Santri bukan titik akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang menyalakan pelita peradaban. Santri hari ini ditantang untuk menjadi penerjemah nilai Islam yang membebaskan dan mencerahkan. Dari ruang pesantren hingga dunia maya, dari desa kecil hingga panggung global, santri harus hadir membawa wajah Indonesia yang teduh, berilmu, dan beradab.

Sebab, di tangan santri yang berilmu lahir ketenangan, di lidah santri yang santun tumbuh kedamaian, dan di hati santri yang ikhlas menyala cahaya peradaban. Dari pesantren-pesantren yang sederhana, cahaya itu akan terus merambat—menerangi Indonesia, bahkan dunia.