PUTRA SANG FAJAR
(bagi Soekarno)

Dia lahir dari bayang-bayang pajar
yang menyorot dengan sinar jingga
api dan semangat telah membakar
jalan di atas komitmen yang berpendar
di jagat nusantara.

Dia berani menentang badai
dalam tirani yang melemahkan jiwa bangsa
lalu, dia tampil dalam ledakan semangat
yang menggila di atas penjajahan
kebodohan

Lalu berkata: “Akulah putra Sang Pajar
Yang sombong atas polah tingkah penjajah
Akulah meredam kekejian atas nama demokrasi
Yang diimpikan dengan darah dan airmata,
tanah ini.”

Dia menghunus pedang
untuk menguak kekejian atas jatidiri
bangsa yang ratusan tahun didekap
penguasaan.

Mati adalah nikmat
Mati adalah syurga bagi cita-cita kita
Mati adalah perlawanan atas
Harga diri yang tak bisa ditawar-tawar

Sebab, kemerdekaan dan demokrasi
menjadi darah yang mengaliri air muka
bangsa ini.

Lantas, kemerdekaan apa ketika
kita bicarakan negeri kaya
yang kaya hanya orang-orang
miskin?

Puih,
dia meludahi wajah-wajah belang
yang duduk di kursi dewan
sembari tidur panjang dan minta
kemewahan

Puiihh,
dia melaknati wajah-wajah khianat
yang bicara atas nama rakyat
lalu menggerogoti perjuangan
lewat perampokan uang rakyat

Dia lahir dari bayang-bayang pajar
yang menyorot dengan sinar jingga
dan api semangat telah membakar
segala kebohongan.

Sebab, demokrasi yang dibangun
dengan darah, nyawa dan airmata
telah melahirkan orang-orang palsu
yang hanya berpikir mencari celah
untuk merampok demokrasi rakyat
di atas kekayaan negara yang melahirkan
kemelaratan jiwa kita.

Oktober 2014

MERAH-PUTIH DALAM
KERUDUNG JIWAMU
(Ibu Fatmawati)

ibunda,
kibar bendera yang melambai di
antara mesin jahit itu
derunya mengundang wajah-wajah
bening di seantero lorong
pertempuran

jahitan tegas di atas kain itu
menggarisi semangat dalam
pertempuran

ibunda,
bendera yang dikibarkan ke
langit lepas,
membara dalam merahnya
perlawanan

sedangkan fatwa kesucian
di antara putihnya hatimu
melukiskan keberanian sejati
menerobos desingan peluru
yang berasap hitam bagi riwayat
penjajahan

atas kecintaan itulah pada
akhirnya barak-barak
pertempuran itu membakar
semangat pemuda menelantarkan
ketakutan di barisan
paling belakang

ibunda,
kibar bendara di hatimu menyatu
dalam perbedaan warna
maka Indonesialah yang berkibar
gagah di langit lepas.

Desember 2017

DI HARI KEBEBASAN ITU
(Soekarno-Hatta)

bung,
kau tegak sebelum kata-kata
itu melaju kencang ke langit,
ke awang-awang

pagi suci yang mendebarkan
rasa takut,
kau dan sahabat mendayung
perahu itu ke tengah samudera
lepas

tak gentar prahara di hadapan
akan menampar cita-cita
kemerdekaan yang membara
bersama mimpi panjang

-lalu kau serukan;
kami bangsa yang benci
kekejian,
jika itu bergelayut dari tanah
jajahanmu
keris, badik, rencong dan kudhuk
akan melampiaskan petak-petak
kekejaman yang dihimpun
dalam politik penguasaan

di hari kebebasan itu,
kau dan sahabat melangkah dari
laut ke laut
dari pulau ke pulau
dari rona ke warna tradisi
berlenggok di bawah kibaran
bendera itu

bung, suaramu adalah badai
mengobrak-abrik keterkejutan
dunia,
dari tiang pancang pelantang
suara anak-anak negerimu.

Desember 2017

Anto Narasoma
Lahir di Palembang
16 Juni 1960

Hobi membaca dan menulis. Karya-karyanya berupa esai budaya (seni), cerita pendek dan puisi sudah dimuat di berbagai media lokal dan ibukota. Antara lain, Buletin Sastra Sayap (Komunitas Sastra Nusantra) bersama Putu Arya Tirtawirya, Herry Lamongan, Bontjel Putra Dewa di Surabaya (edisi ke-VII 1986).

Selain itu, cerpen dan puisinya pernah dimuat di Suara Rakyat Semesta (Palembang), Sriwijaya Post (Palembang), Sumatera Ekspres (Palembang), Lampung Pos (Lampung), Singgalang (Padang), Riau Pos (Riua), dan Mingguan Swadesi (Jakarta).

Kumpulan puisi tunggal ‘’Jejak’’ (manuskrip tahun 1984), Buletin Sayap Surabaya (1986), kumpulan puisi bersama ‘’Bahasa Angin’’ (1994), ‘’Ghirah’’ (1996), ‘’Mernghitung Duka’’ (2000), ‘’Empat Wajah’’ (2002), ‘’Maha Duka Aceh’’ (terbitan Pusat Sstra HB Jassin Jakarta, September 2005), ‘’Semangkuk Embun’’ (Cakrawala Sastra Indonesia di Jakarta, September 2005), ‘’dan Syair Tsunami’’ (terbitan Balai Pustaka Jakarta, Mei 2006).

Sedangkan hingga saat ini selalu menjadi pembicara dalam hal seni sastra, teater, musikalisasi puisi, serta juri puisi di Balai Bahasa Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Nasional Sumsel, di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Saat ini, ada sekitar 250 puisi yang belum dipublikasi. Sedangkan cerita pendek masih tersisa 20 judul yang belum dikorankan.

Sementara saya, menggeluti dunia jurnalistik dimulai sejak Februari 1984. Saat itu bergabung dengan Mingguan Media Guru Palembang yang diterbitkan Yayasan PGRI Sumsel. Langkah selanjutnya, Maret 1988 diminta Amir Daud dari Lembaga Pers Budi Oetomo Jakarta dan Makmur Hendrik (redaktur eksekutif) Sumatera Express (dikelola PT Surya Persindo penerbit Media Indonesia) untuk meramaikan redaksi hingga 1993.
1 Juni 1995 diminta kembali bekerja sebagai wartawan Sumatera Ekspres versi Jawa Pos. Sebagai perintis Sumatera Ekspres versi Jawa Pos, saya banyak digojlok pengalaman yang diperoleh dari kawan-kawan Jawa Pos hingga saat ini. (*)