Oleh Anto Narasoma)*
–
SEBAGIAN besar orang terasa ngeri ketika membicarakan ikhwal kematian. Meski usia mereka sudah bertengger di level lima (puluh) atau enam (puluh), mereka merasa takut membicarakan soal mati. Kenapa begitu?
———————
Secara tak sadar, bagi orang-orang itu, suasana alam dunia merupakan ruang kehidupan yang menyajikan segalanya.
Sebab mereka telah menikmati rezeki Allah SWT berupa finansial yang berlimpah, sehingga mereka takut ditinggal limpahan harta yang telah membuat mereka hidup nyaman, tenang, dan bahagia.
Apa yang mereka inginkan, semua akan tercukupi. Bahkan apa yang mereka harapkan di luar kemampuan orang lain, mereka mampu memenuhinya. Ah, pokoknya semua itu menghadirkan suasana surga (dunia) yang sayang untuk ditinggalkan.
Karena itu mereka enggan dan takut berbicara soal kematian. Sebab setiap napas dan detak jantung mereka yang berdetak adalah harta.
Tatkala mata mereka menatap ilustrasi harta yang melilit suasana kehidupannya, serasa membangkitkan kenyamanan dan kesenangan yang tiada tara
Padahal mobil mewah sekelas Roll-Royce Phantom jam rolex termahal, serta sepatu passion diamond shoe seharga Rp 20 miliar itu hanyalah bentuk privasi yang akan hilang setelah nyawa kita dicengkeram ajal. Lantas kenapa takut membicarakan perkara mati?
Dalam sastra prinsip paling mendalam soal pemahaman kata, prinsip dasar isi, pemahaman membaca, serta pokok pengemasan ide perlu dibahas secara intrinsik dan ekstrinsik?
Maka lewat pemahaman interpretasi itulah akhirnya kita menemukan inti pemahaman yang menjadi sentral bahasan secara keseluruhan.
Perkara mati pun harus dibahas dan dibicarakan secara esensi. Sebab seperkasa dan sehebat apapun kita, batas usia akan menggarisbawahi soal kematian makhluk hidup
Karena itu tak perlu takut dan ngeri membicarakan kematian. Apalagi pada akhirnya semua kita akan takluk dan tunduk kepada ajal.
Badan sebatang yang kelak menjadi bangkai setelah ditinggal ruh akan dipendam ke dalam tanah. Maka untuk mempersiapkan diri menghadapi persoalan mati perlu dibicarakan dari sekarang.
Perlu kita renungkan bahwa mati tidak memandang seberapa lama kita hidup, sekaya apa limpahan harta kita, serta jabatan raja atau presiden, pasti mati !
Karena itu bisa kita catat bahwa mereka yang risih membicarakan mati atau hak ajal yang bakal kita alami itu merupakan “kesombongan” privasi diri kita sendiri.
Padahal ketika kita membicarakan kematian merupakan bentuk pengolahan pokok pikiran yang cerdas. Sebab nilai paling dekat kepada diri kita itu adalah kematian.
Seorang penyair Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun pun, hidupnya hanya sekejap. Bahkan Chairil Anwar tak mampu memberontak seperti yang ia ungkap lewat puisi Aku, ..tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Manusia itu hidup hanya sebatas simbol untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Sebab pada hakikatnya, perbuatan baik buruk itulah yang akan kita bawa ke yaumil mahsar menghadap Sangmaha Perkasa.
Terkait Ikhwal kematian, Imam Ghazali pernah menanyakan kepada para santrinya di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, “Apa yang paling dekat dengan kita?”.
Meski banyak jawaban dari muridnya tentang ayah-ibu, saudara kandung, teman terdekat, serta hal lain terkait eksistensi diri kita.
Meski jawaban itu tidak disalahkan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali (nama asli Imam Al Ghazali), sebenarnya Ikhwal paling dekat dengan manusia itu adalah kematian (mati).
Dalam surah Ali Imran ayat 185, Allah SWT berfirman bahwa semua makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Karena itu tidak ada tawar-menawar lagi, ketika batas usia sudah sampai ke ajal, siapa pun pasti mati.
Karena itu, untuk memberikan kebahagiaan sejati bagi kita bahwa sebelum mati, yuk banyak-banyaklah melakukan kebaikan.
Sebab secara interpretasi, kehidupan paling panjang dalam peradaban kehidupan adalah kematian. Karena itu seperti dikatakan Imam Al Ghazali, sesuatu yang paling dekat dengan kedekatan kita ialah mati !
Terkait tentang kehidupan, banyak orang yang mengutamakan kesombongan ketika berhadapan dengan strata sosialnya.
Apalagi ketika keluar rumah, mereka mengendarai Roll-Royce Phantom, mengenakan jam rolex termahal, serta memakai sepatu paling mahal, mereka berulah seperti raja.
Dadanya membusung seolah dunia kehidupan ini berada dalam cengkeramannya. Cara bertutur kata dan melakukan sosialisasi antarsesama, ada kesan angkuh dan sombong.
Duh, sebegitu hebatnya dia. Padahal harta yang mereka miliki itu hanya berada di lapisan rasa dan perasaan, serta penglihatan semata.
Andaikan datang kematian pada dirinya, semua itu menyingkir dan tak ikut dipendam dalam tanah. Hanya tiga lapis kain kafan dan amal salih saja yang dibawa.
Yang mengerubungi mereka hanya tangisan keluarga terdekat. Sedangkan kawan-kawan hanya merasa kehilangan kita, yang sekarang hanya jasad ditinggal ruh kehidupan.
Air mata dalam tangisan itu hanya sesaat menitik ke pipi, setelah jasad dikubur, hanya badan sebatang yang menantikan sosok jasad sebau bangkai.
Sedangkan rekan-rekan terdekat hanya merasa kehilangan sesaat, setelah itu lupa dan jarang membicarakan kita.
Kita yang sombong dan angkuh, hanya sendirian di dalam tanah keabadian tempat kita beristirahat di sepanjang catatan hidup dan mati. Sedangkan malam tempat kita bernaung, akan tersembunyi di balik rimbunnya semak belukar. (*)
Palembang
6 Februari 2023
)*Penulis adalah sastrawan dan wartawan






